Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Sosok Inspiratif Sragen, Pujono Elli Bayu Effendi. Dari Asongan di Jalanan, Sempat Menggelandang, Kini Duduk di Kursi Dewan (Bag 1)

Pujono Elli Bayu Effendi. Foto/Wardoyo

SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kesuksesan tak hanya monopoli orang yang lahir dengan ketercukupan. Tekad keras dan semangat untuk maju, tak jarang justru menjadi modal utama yang menentukan kesuksesan seseorang.

Setidaknya hal itu sudah ditunjukkan oleh Pujono Elli Bayu Effendi. Lahir dengan kondisi serba keterbatasan, siapa sangka pria yang akrab disapa Bayu itu kini menjelma menjadi salah satu politisi yang disegani di Sragen.

Dua kali terpilih menjadi anggota DPRD sejak 2014 dan kini dipercaya duduk sebagai Wakil Ketua DPRD, menjadi pencapaian yang tak bisa dipandang sebelah mata dari politisi kelahiran Ngawi 26 Maret 1975 silam itu.

Bahkan, Bayu kini juga diamanahi memimpin Partai Golkar, salah satu partai terbesar di Sragen setelah PDIP.

Namun apa yang diraih Bayu itu bukan hadir secara kebetulan. Perjuangan keras penuh liku, harus ia lewati sejak kecil sebelum akhirnya mengantarnya pada posisi saat ini.

Yatim Piatu Sejak Kecil

Saat berbincang dengan JOGLOSEMARNEWS.COM , Minggu (13/3/2022), Bayu menuturkan ia lahir di Ngawi, Jawa Timur dari keluarga sederhana yang jauh dari kata punya.

Sejak kecil, ia sudah ditinggal kedua orangtuanya dan diasuh oleh neneknya. Setelah kakeknya meninggal, Bayu kecil memutuskan hijrah ke Kecamatan Widodaren, Ngawi untuk mengadu peruntungan.

Kondisi neneknya yang miskin membuatnya terjun mengawali kehidupan keras sebagai pengasong sejak duduk di bangku kelas 3 SD.

“Duit nggak punya, apa lagi jajan. Akhirnya sejak SD itu, saya memutuskan ikut jualan. Setiap pulang sekolah saya jualan jajanan ugeti. Paginya di sekolah sambil nenteng tremos jualan es lilin. Dulu saya sekolah duduknya paling depan, bukan karena saya pinter. Tapi supaya pas jam ngaso (istirahat) bisa segera mengeluarkan termos di depan pintu,” ujarnya.

Bayu mengisahkan sejak saat itu, hari-harinya hanya diisi dengan sekolah dan berjualan. Tak hanya di kelas, ia juga berjualan es serta kue keliling.

Indahnya masa kecil yang lazimnya diisi dengan bermain, nyaris tak pernah ia rasakan. Bahkan akhir pekan yang biasanya jadi waktu bermain, justru ia gunakan untuk berjualan dari pagi sampai sore.

“Semua itu saya lakoni karena keadaan. Nenek saya juga miskin, kalau saya nggak nyari uang sendiri, darimana saya bisa hidup dan sekolah,” urainya.

Sekolah Sambil Jualan Asongan

Menamatkan SD dengan penuh perjuangan, Bayu kemudian melanjutkan ke SMP yang sekolahnya berjarak 2,5 kilometer dari rumahnya.

Pujono Elli Bayu Effendi (dua dari kanan) berpose bersama Ketua dan Wakil Ketua DPRD Sragen lainnya. Foto/Wardoyo

Alih-alih naik bus, hampir tiap hari ia terpaksa harus mencari boncengan temannya yang punya sepeda. Seiring tuntutan kebutuhan, Bayu juga meluaskan jualannya.

Tidak lagi keliling dari rumah ke rumah, namun ia mulai banting haluan berjualan di Stasiun Walikukun tiap akhir pekan.

“Saat itu naik bus hanya Rp 50,-. Tapi karena nenek saya enggak punya, saya sering bonceng teman yang punya sepeda. Jadi kalau Sabtu dan Minggu saya jualan di Stasiun. Bertahan 1,5 tahun, lalu saya mulai jualan di keraton, jualan roti 33 dikirimi dari Mas Puro 33, saya jualan sampai ke Keraton Jogja, Gembira Loka, Jogja Kembali. Berangkatnya ikut kereta api. Waktu itu kalau tidur di emperan toko. Sampai sekarang kalau kunjungan kerja di Jogja saya sering napak tilas perjuangan dulu waktu ngasong,” terangnya.

Menggelandang hingga Putus Sekolah

Karena keseringan jualan sampai luar kota dan tidak pulang, Bayu sempat putus sekolah dan tidak pulang ke Walikukun.

Ia akhirnya menggelandang di Sragen. Dalam kelananya itu ia bertemu dengan seseorang bernama Mas Purel. Sosok itulah yang memberinya motivasi hingga akhirnya membangkitkan semangatnya untuk lanjut sekolah SMP di Sragen.

“Saat itu saya ditanya apa nggak pingin sekolah lagi. Akhirnya saya didaftarkan di SMP Al Mu’min di Sragen. Saya sekolah juga sambil ngasong,” kenangnya.

Sejak itulah ia memutuskan tinggal di Sragen tanpa sanak saudara. Sedang neneknya tetap di Ngawi.

Seiring berjalannya waktu, ia kemudian melanjutkan sekolah di SMA Penerbangan di Colomadu. Sama seperti sebelumnya, hari-harinya hanya diisi dengan sekolah dan berjualan mengasong.

Setelah tamat sekolah, ia memutuskan untuk melanjutkan berjualan mengasong. Dari jerih payahnya berjualan, sebagian ia tabung. Dari sedikit, tabungannya akhirnya terkumpul banyak yang kemudian dijadikan modal membeli dagangan.

Selain jualan sendiri, ia juga merekrut beberapa teman untuk ikut mengasong. Sampai akhirnya berkat modal tabungannya, ia mulai berhenti mengasong dan merintis usaha jualan di kios pasar.

Dari satu kios, kemudian terus bertambah sampai akhirnya ia bisa merintis usaha yang lebih besar.

“Tahun 2004, ekonomi mulai mapan. Saya kemudian merintis usaha kios di pasar. Akhirnya berkembang sampai sekarang. Alhamdulilah berkat perjuangan keras, saya kemudian menikah dan bisa membangun rumah dan mengembangkan usaha,” jelasnya. (Wardoyo/Bersambung).

Exit mobile version