Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Seabad Rosihan Anwar : Wartawan yang Tidak Bisa Dikalahkan  

Rosihan Anwar dan istri bersama dengan anak cucunya. Foto: dok

Ilham Bintang. foto: dok pribadi

Catatan : Ilham Bintang*

Rosihan Anwar lahir di  Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922. Pas di hari kelahiran Begawan Pers Nasional itu tahun ini keluarga akan menggelar peringatan “Seabad Rosihan Anwar”. Putri bungsu almarhum, Dr Naila Karima Anwar Sp.M beberapa  hari lalu mengontak saya. Dokter Nayla memberitahu acara digelar dua hari. Hari pertama, Senin  9 Mei “Ziarah Makam  di Taman Pahlawan Kalibata”. Hari kedua, Selasa malam, 10  Mei diselenggarakan “Doa dan Kenangan Kerabat Sahabat Rosihan Anwar” melalui aplikasi Zoom. Saya diminta ikut menyampaikan kenangan.

 

Peringatan Seabad Rosihan Anwar Anwar hal semestinya, mengingat jasa-jasanya beliau kepada bangsa dan negara. Rosihan memulai karir sebagai wartawan pada usia 20 tahun di masa pendudukan Jepang. Praktis semenjak itu gejolak perjuangannya dimulai untuk membebaskan bangsa Indonesia dari segala bentuk penjajahan dan penindasan bangsa asing maupun bangsa sendiri.

Kiprahnya sebagai wartawan melekat dalam banyak momen sejarah bangsa Indonesia. Seperti ketika berboncengan sepeda dengan Let. Kol Soeharto menemui Jendral Sudirman menyiapkan Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Dalam sejarah pers Nasional, Rosihan ikut mendirikan PWI di Solo 9 Februari 1946.

Kariernya melesat pesat hingga dikenal sebagai begawan pers dan Ayatollah Wartawan Indonesia. Tidak ada yang bisa menghentikan Rosihan menulis kecuali Tuhan. Dia sempat merasakan kurungan besi di zaman Jepang karena perjuangan itu. Rezim pemerintahan Soekarno maupun Soeharto hanya berhasil membunuh surat kabarnya, “Harian Pedoman”, namun kedua pemimpin besar Indonesia itu tak bisa “mengalahkannya”.  Dia tetap melakoni pekerjaannya sebagai wartawan mengkritisi rezim siapapun yang menjalankan pemerintahan di Indonesia.

Rosihan baru bisa dihentikan pada  hari Kamis (14/4/11) pukul 08.23 pagi, karena dipanggil ” pulang” menghadap Allah SWT. Rosihan meninggal dunia kurang dari sebulan  menjelang ulang tahunnya ke 89. Padahal, Pak Rosihan berharap sekali bisa melewati  usia 90 tahun.  Pak Rosihan menghadap Ilahi Rabbi 7 bulan setelah ditinggal Ibu Zuraida pada hari Minggu 5 September 2010 pukul 09.30 WIB.

Saya menulis Obituari ketika Ibu Zuraida dan Pak Rosihan Wafat. Peran Zuraida tidak bisa dilepaskan dalam perjalanan hidup Rosihan. Kisah pasangan belahan jiwa ini memang mengawetkan pandangan “di balik sukses tokoh besar terdapat peran istri yang besar”. Inilah kilas balik  kenangan di hari wafat pasangan Rosihan

 

Di hari wafat Rosihan  

 

Seorang gadis bernama Alma Fannia, Kamis (14/4/2011) pagi sebelas tahun lalu mengirim berita lewat BBM ( Black Berry Messanger). Terus terang, beberapa saat kemudian saya baru “ngeh”, pengirim berita adalah cucu Rosihan Anwar. Isi berita yang dikirimnya pukul 08.23 WIB luar biasa mengguncang dada, dada seluruh bangsa Indonesia : Kakek tercinta, meninggal dunia pukul 08.15 WIB di RS MMC.

Dari dr. Noni, putri Pak Ros – demikian kami kerap menyapa Rosihan Anwar – saya memeroleh konfirmasi. Setelah menjalani operasi bypass jantung, Kamis, 24 Maret di RS Harapan Kita, dan menjalani proses pemulihan, Pak Ros diperbolehkan pulang, Rabu (13/4). Namun, Kamis (14/4) pagi saat menikmati sarapan pagi sambil berjemur matahari, Pak Ros tiba-tiba anfal. Keluarga segera melarikannya ke RS, tapi jiwanya tak tertolong. “Kemungkinan beliau menghembuskan napas terakhir dalam perjalanan ke RS,” kata dr. Noni.

 

Sebaik-Baik Wartawan

Pak Rosihan adalah sebaik-baik wartawan Indonesia. Setia menekuni profesi dan konsisten bersikap kritis sesuai amanat profesi hingga akhir hayat. Ia tak pernah diam menghadapi berbagai ketimpangan.

Dia salah satu dari sedikit tokoh pers Indonesia amat penting. Pak Ros mengawali karier sebagai wartawan pada 1942 dan tak pernah berhenti menulis hingga ajal menjemput. Produktivitasnya tiada tanding.

Tidak banyak yang tahu Rosihan masuk RS MMC, 7 Maret lalu, lantaran bergadang sampai pagi merampungkan memoar kisah cintanya dengan istri tercinta, Hj. Zuraida Sanawi, yang wafat pada 5 September 2010.

Sejak Ibu Zuraida wafat, banyak orang mencemaskan Pak Rosihan melihat kondisinya yang amat terpukul waktu itu. Dalam Obituari Almarhumah Zuraida Sanawi, saya menulis, kematian memang sesuatu yang mutlak dan rutin dalam kehidupan manusia. Namun, kalau  merenggut orang dekat, orang tercinta dalam kehidupan kita, wajar  jika peristiwa itu tetap saja seperti gempa yang mengguncang bumi beberapa saat.

Seperti itu yang dirasakan oleh t Rosihan saat istri tercinta mendadak direnggutkan dari sisinya, Ahad (5/9) pagi pukul 09.30 WIB. Rosihan Anwar sangat terpukul.

Saya merasakan itu ketika menghubungi Pak Ros per telepon beberapa saat setelah Ibu Zuraida berpindah ke pangkuan Allah SWT. “Ibu sudah tiada, Ilham. Mohon maafkan, mohon doakan,” katanya dalam suara setengah sesenggukan. Saya merasakan kedalaman tangisnya.

 

Meninggal saat sarapan

 

Apalagi, Minggu pagi itu, Ibu Zuraida tidak menunjukkan tanda apa-apa, tanda spesifik hendak menghadap Illahi. Sakit pun tidak. Ibu Zuraida malah sedang menikmati sarapan di meja makan di ruang tengah rumahnya.

Rosihan yang berpuasa menemani, kemudian pamit sebentar ke toilet. Saat ditinggal ke kamar mandi itulah Zuraida terjatuh dari kursi rodanya. Posisinya tertelungkup, satu meter jaraknya dari kursi roda. Ibu Zuraida segara dibopong ke tempat tidur, namun jiwanya sudah tak tertolong. “Cuma sekejap itu saja dia sudah hilang, sudah pergi, pergi selama-lamanya,” kenang wartawan kawakan itu di rumah duka.

Ibu Zuraida dipanggil Sang Khalik lima hari sebelum Idul Fitri, lima belas hari sebelum almarhumah berulang tahun ke 87 pada 20 September 2010. Dipercaya banyak orang, kepergiannya di bulan Ramadhan, bulan mulia, pertanda bagus. Insya Allah, almarhumah termasuk yang disucikan Allah SWT, malah lebih dulu lima hari dari seluruh umat Islam yang akan merayakan Idul Fitri.

Rosihan Anwar dan Siti Zuraida bertemu pada masa pendudukan Jepang. Pasangan itu menikah, 25 April 1947, di masa revolusi kemerdekaan. Mereka merupakan satu dari sedikit pasangan yang merasakan pahit getir perjuangan bangsa Indonesia sejak zaman penjajahan, kemerdekaan, Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba) hingga era Reformasi. Maka, ketika pagi itu Tuhan menjemput Ibu Siti Zuraida niscaya itu kehilangan amat besar dan berat bagi Pak Ros.

Lebih 63 tahun pasangan itu mengarungi bahtera perkawinan. Mereka dikaruniai tiga anak, Aida Fatia, Omar Lutfi, dan Naila, serta ada enam cucu. Perjuangan dan cinta seolah ikut berperan dalam perjalanan hidup mereka.

Hubungan cinta kasih pasangan itu memang bersemai di masa revolusi kemerdekaan. Ibu Zuraida masa itu tinggal di Yogyakarta. Pak Ros pernah membuka rahasia, mengapa dulu sering sekali meliput perjalanan Perdana Menteri (PM) Syahrir bolak balik Jakarta-Yogyakarta. Itu karena separuh panggilan tugas, separuh lagi sebab panggilan cinta, guraunya.

Cinta pasangan ini tak pernah luntur. Kebetulan saya ikut mengamati. Setidak-tidaknya tigapuluh tahun terakhir dalam perjalanan ke mana pun dalam rangka tugas apapun, mereka selalu pergi berdua. Puluhan kali saya bertemu dalam perjalanan mengikuti kegiatan festival film di dalam maupun di luar negeri.

Begitu juga dengan perjalanan dalam rangka kegiatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), mereka tak terpisahkan. Di dunia film sekian belas tahun Pak Ros duduk sebagai anggota Dewan Film Nasional, dan juga sebagai anggota Dewan Juri. Begitu halnya di PWI, puluhan tahun Pak Ros menjadi pengurus di organisasi wartawan yang ikut dia dirikan pada tahun 1946.

Saya beruntung karena kaitan tugas di bidang sama, sehingga sering bertemu pasangan ini. Pak Ros dan Ibu Zuraida adalah simbol sebaik-baik pasangan rumah tangga. Kami bersepakat dengan banyak teman menjadikan mereka sebagai pasangan idola. Pasangan itu merupakan nomor bukti dari ungkapan ibarat mangkuk dan tutupnya.

 

Soulmate

Menarik mengulas rumah tangga Ayatollah wartawan Indonesia ini. Sebagai wartawan, Rosihan dikenal garang, tapi sebagai suami ia terbilang lelaki penurut. Beberapa peristiwa penting dalam hidupnya ditentukan oleh kendali Zuraida. Ambil contoh pada 1970 ketika Rosihan ditawari jabatan duta besar Indonesia untuk Vietnam oleh Presiden Soeharto. Begitu tahu, Zuraida langsung bilang tidak. Rosihan tak bisa membantah.

Ia pun mengirim surat penolakan kepada Presiden Soeharto. “Mau bilang apa lagi, putusan ibu seperti itu,” ujar Pak Ros. Gegara mematuhi istri, Pak Harto kabarnya sempat memendam rasa kecewa kepada Pak Ros. Itu diungkap Ibu Tien kepada Pak Ros dalam suatu kesempatan. Malah, santer jadi bahan pembicaraan di kalangan terbatas wartawan, penolakan tersebut diramalkan peluang wartawan jadi duta besar akan tertutup. Syukurlah itu tidak terbukti.

Di masa tua, perhatian Pak Ros terhadap Ibu Zuraida maupun sebaliknya menakjubkan, tidak usang ditelan waktu. Kerika Ibu Zuraida dirawat karena sesuatu penyakit Rosihan menangis sesenggukan. Saya tahu karena Pak Ros secara khusus menelpon saya menginformasikan keadaan menghawatirkan Ibu Zuraida yang sedang opname di Metropolitan Medical Center (MMC). Mereka adalah belahan jiwa (soulmate) satu sama lain.

Di hari wafat Ibu Zuraida, Pak Ros menangis di telepon. Begitu juga ketika saya datang melayat ke rumah duka. Matanya basah ketika memeluk saya. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, di pembaringan, almarhumah Ibu Zuraida seperti hanya tertidur. Wajahnya bersih membersitkan senyum, seakan bahagia karena kembali dengan tenang kepada pemiliknya yang sah, Sang Khalik.Ibu Zuraida di makamkan di TPU Karet di dalam pemakaman keluarga Pahlawan Nasional Mohammad Husni Thamrin.

 

 

Lahir Empat Buku

Tapi Subhanallah, sepeninggal  Ibu Zuraida Pak Ros berhasil merampungkan empat buku, terakhir memoar kisah cinta mereka dengan judul ” Belahan Jiwa “. Semasa hidup Pak Ros menulis sekitar 30 buku.

Waktu saya besuk di ICU RS MMC, Pak Ros bersemangat sekali menceritakan memoar itu. Bukan keluhan mengenai gangguan jantungnya gegara bergadang untuk merampungkan buku tersebut.

Menulis bagaikan tarikan napas sehari-hari bagi Pak Ros. Setiap minggu beliau bisa melayani permintaan artikel dari belasan media, daerah, nasional, dan internasional.  Ribuan tulisannya dimuat berbagai media, di daerah, nasional maupun internasional. Belakang hari, menjelang wafat, Pak Ros mengaku produktivitasnya mulai menurun. Sekarang hanya menulis secara rutin di Tabloid C&R, katanya, waktu itu.

Pak Ros menjadi kolumnis sejak Tabloid C&R berdiri, 24 Agustus 1998, hingga akhir hayatnya. Bahkan, di hari pertama dirawat ruang ICU RS MMC, 7 Maret 2011 beliau sempat menanyakan apakah tulisannya untuk kolom Halo Selebriti edisi 654/9-16 Maret 2011, sudah sampai di tangan redaksi. Dan, ia sudah mengisyaratkan itulah tulisan terakhirnya.

Saya masih ingat ceritanya. Sore hari itu rekan Indro “Warkop” kebetulan berada di RS MMC mengantar anaknya. Secara tak sengaja Indro melihat Pak Ros didorong dengan kereta menuju ruang ICU. Indro menelepon saya menanyakan apakah  mengetahui Pak Ros masuk RS? Segera saya minta Indro membantu menghubungkan saya dengan keluarga yang mengantar.

Di luar dugaan Pak Ros sendirilah yang menyambar telepon. Pertanyaaan pertama, dari mana saya tahu beliau masuk RS? Kedua, apakah tulisannya sudah diterima? “Tolong umumkan, mulai minggu depan saya absen,” katanya. Kenapa? “Karena saya, kan, masuk ICU,” alasannya. “Jangan khawatir, Pak Ros segera sembuh,” sambar saya cepat.

Informasi mengenai Pak Ros masuk RS saya tulis di twitter yang  segera disambung dengan “retweet” oleh berbagai pihak, selanjutnya informasi itu berkembang di berbagai media online. Sejumlah televisi menyiarkan di running text. Keluarga dan pihak RS terkejut karena kurang setengah jam sejak itu, RS MMC diserbu “sejuta umat” insan media.

Keluarga sempat cemas, mereka menghubungi saya. Saya mencoba menenangkan. Itu hal wajar, Pak Ros bukan hanya milik keluarga, bukan hanya milik pers, tetapi milik seluruh bangsa Indonesia. RS memang berhak melarang wartawan masuk, tapi keluarga wajib memberi keterangan kepada wartawan, di luar. Begitu nasihat saya pada keluarga. Ada beberapa  lama RS melarang Pak Ros dibesuk.

Tapi suatu sore, saya dan rekan Marah Sakti bisa “lolos” membesuk beliau di ruang ICU. Dokter yang memergoki saya memeringatkan supaya jangan lama-lama. Pak Ros menyahuti dokter, ” dia anak saya” menunjuk kami. Sore itu ia  bersemangat sekali menceritakan telah berhasil merampungkan buku kisah Pak Ros dengan almarhum istrinya, Ibu Hj. Zuraida.

Dari MMC, Pak Ros dirujuk ke RS Medistra untuk menjalani kateter. Dari Medistra kemudian pindah ke RS Harapan Kita. Di sini proses observasi dilakukan. Saya dan Marah Sakti kembali menjenguk beliau menjelang tindakan bypass.

Wajahnya sumringah menyambut. Tak tampak kesan gentar menghadapi operasi bedah jantung yang menurut dokter sendiri adalah pilihan terakhir karena itu amat berisiko dilakukan pada orang seusia Pak Ros.

Presiden SBY melayat ke rumah duka memberi penghormatan terakhir kepada almarhum.  Sewaktu diberi kesempatan memberi sambutan mewakili sahabat Pak Ros di rumah duka – menjelang penyerahan resmi jenazah almarhum kepada negara untuk pemakaman di TMP Kalibata – saya menyinggung itu.

Bukan hanya kepada dunia pers, film, teater, sastra, Pak Ros punya kontribusi besar. Tetapi juga ternyata kepada dunia kedokteran. Sangat boleh jadi Pak Ros adalah pasien pertama berusia 89 tahun yang menjalani operasi bypass jantung di Indonesia. Kabarnya, pilihan terakhir itu diambil dokter karena kondisi Pak Ros memungkinkan. Tapi sewaktu besoek di RS Harapan kita, saya sempat cemas, ketika Pak Ros meminta perawat pribadinya memotret saya bersama beliau.

Saat Pak Ros menjalani operasi, Kamis (24/3), saya tak sempat melepas beliau masuk ruang bedah. Sebab, di hari-hari itu saya menghadapi rangkaian acara ritual menyongsong pernikahan putra saya.

Esoknya,  Jumat (25/4) pagi, dr. Naila, mengirim pesan dari BBM. “Alhamdulillah ayah mulai pulih. Ayah minta kaca mata, dan mau membaca surat kabar”. Saya minta dr. Naila mengirimi foto kondisi beliau. Tidak lama kemudian ponsel saya berdering. Subhanallah, yang mau bicara Pak Ros sendiri. Dia bercerita tentang keberhasilan operasinya. Pak Ros juga menceritakan kesannya yang mendalam karena mantan Presiden RI B.J. Habibie sempat melepasnya masuk ruang bedah waktu mau operasi. Itu kunjungan ketiga Pak Habibie menengok Pak Rosihan.

 

Bangga menjadi muridnya

Saya mengagumi Pak Rosihan sejak masih kanak-kanak di Makassar, jauh sebelum saya jadi wartawan. Pertemuan sekaligus perkenalan pertama saya dengan beliau terjadi tahun 1977 di Jakarta. Saya baru setahun jadi wartawan di Harian Angkatan Bersenjata ketika diutus untuk mengikuti pendidikan wartawan dalam program Karya Latihan Wartawan PWI yang dipimpin Pak Ros sebagai direktur program tersebut.

Setelah itu, hubungan saya dengan Pak Ros semakin erat. Layaknya sebagai  ayah dan anak, guru dan murid, tempat bertanya. Intensitas pertemuan kami semakin meningkat tak hanya dalam urusan pers, tapi juga dalam dunia film. Ketika saya mendirikan Tabloid C&R, beliau yang pertama menyatakan kesediaan menulis kolom setiap kali terbit.

Tanggal dan bulan kelahiran saya juga sama dengan Pak Ros. Kami sering merayakan ulang tahun bersama. Jika saya menghadapi masalah pribadi, beliaulah orang pertama yang peduli mendengar curahan hati. Begitu pun jika beliau menghadapi hal sama.

Pak Ros telah tiada. Sebelas tahun lalu. Dan Ibu Zuraida dua belas tahun lalu. Semoga Allah SWT senantiasa menjaga kebersamaannya  di tempat yang lapang, nyaman, dan indah di sisi-Nya. Amien.(*)

 

–*Penulis adalah wartawan senior, Ketua DK PWI Pusat–

Exit mobile version