Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Jeritan Hati Para Perajin Batik di Sentra Masaran Sragen. Banyak yang Jual Tanah Sampai Gadai Mobil

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Agustina Wiludjeng Pramestuti (kiri) didampingi anggota DPRD Sragen, Sugiyamto (kanan) saat menyaksikan kemahiran Mbah Jalidin (60) salah satu maestro desainer motif batik di Desa Pilang, Masaran, Sragen, Kamis (21/7/2022). Foto/Wardoyo

SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Badai pandemi benar-benar memporak-porandakan sendi ekonomi. Meski sudah berangsur mereda, imbas dua tahun terpuruk akibat pandemi masih sangat dirasakan oleh para pelaku UMKM di Sragen.

Salah satunya, para perajin batik di Desa Wisata Batik Pilang Masaran. Di desa yang mayoritas dihuni para pengusaha dan perajin batik itu, cerita kejayaan batik yang diraih belasan tahun silam, kini berbalik 180 derajat.

Merosotnya ekonomi dan daya beli masyarakat, menjadi pukulan berat bagi produk batik dari wilayah tersebut.

“Banyak anak muda di sini sebenarnya kreatif. Mulai jalan batik lewat medsos. Sayangnya, terkadang mereka jualan dapat untung sedikit dilepas. Mungkin karena merasa tidak membuat. Saat ini, yang perlu dikonsep adalah bagaimana mengangkat harganya. Karena saat ini harga batik dan daya beli benar-benar merosot,” ujar pengusaha batik “Dewa Batik” di Dukuh Jantran, Pilang, Masaran, Sugiyamto, kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Sabtu (23/7/2022).

Pengusaha yang juga anggota DPRD Sragen itu menuturkan, meski situasi berangsur pulih setelah pandemi, tidak demikian pada usaha batik.

Persaingan pemasaran dan merosotnya daya beli konsumen masih belum bisa kembali seperti era kejayaan batik. Meski produksi masih jalan, mayoritas hanya bisa ampet-ampetan dengan keuntungan mepet.

“Batik Pilang ini hanya produksi massal. Sehari memang bisa bikin 50.000 lembar dijual ke Jogja, Solo, Jakarta. Tapi ya itu tadi, kendalanya harga masih hancur. Dulu sepotong keuntungan bisa Rp 25.000, sekarang sepotong hanya Rp 4.000 sampai Rp 6.000 untungnya, itu pun makin berat,” urainya.

Derita itu diperparah dengan merosotnya peminat batik tulis dengan banderol mahal. Batik khas dengan produksi agak lama itu, kini juga makin sepi peminat akibat mahalnya harga dan merosotnya ekonomi.

Karenanya, ia berharap agar pandemi bisa segera berakhir total dan ekonomi bisa pulih kembali. Kondisi sulit selama pandemi hingga sekarang bahkan banyak membuat perajin dan pengusaha batik yang terpaksa berhenti alias gulung tikar.

“Banyak yang jual tanah, ada yang gadaikan mobil dan lain sebagainya. Tiap pagi rumah saya itu hanya untuk ngobrol teman-teman batik yang sudah gulung tikar itu karena covid itu. Mudah-mudahan setelah nanti covid ini selesai, mudah-mudahan segera bangkit lagi. Karena kalau di sini kalau batik itu ramai, semuanya ramai dan sampai lembur tiap malam,” jelasnya.

Pengusaha batik di Pilang lainnya, Hernawan menyampaikan saat ini keluhan mayoritas perajin adalah produksi dan pemasaran.

“Penjualan offline di pasar kayaknya sudah tidak laku. Jual lewat online mau masuk Lazada, Shopee syaratnya begitu rumit nggak semua orang bisa. Jualan manual sepertinya sudah mati,” ujarnya.

Sugiyamto. Foto/Wardoyo

Selain itu, kendala lain adalah soal permodalan. Selain itu, perajin juga membutuhkan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) pembuangan limbah batik yang kadang perajin masih kebingungan.

“Tolong dari pemerintah atas juga ikut memikirkan dan memperhatikan bagaimana membangun IPAL untuk limbah perajin batik. Karena setidaknya dari perajin batik ini juga bantu negara mempekerjakan orang dan mengurangi pengangguran,” tandasnya.

Kades Pilang, Sukisno mengakui Desa Pilang memang mayoritas warganya adalah perajin batik. Ada sekitar 130 KK yang menjalankan usaha batik.

Namun sejak pandemi, produksi banyak terhambat. Setelah pandemi berangsur pulih saat ini kendala yang dihadapi adalah permodalan dan pemasaran.

“Sekarang kendalanya lebih ke pemasaran. Jualan manual ke pasar sudah sepi, jualan online juga nggak mudah karena persaingan banyak. Kita sebenarnya butuh desain ciri khas Batik Pilang. Nanti kami juga berencana akan membuat sentra penjualan batik di balai desa,” imbuhnya. Wardoyo

Exit mobile version