JOGLOSEMARNEWS.COM Umum Opini

Menyibak Tabir Kematian Brigadir Joshua dengan Menggunakan Telaah Ajaran Kausalitas dalam Hukum Pidana: Antara Doodslag atau Moord Dalam Teori Hukum Pidana

Brigadir Josua Hutabarat atau Brigadir J (kiri) dan Bharada Eliezer. Foto kolase/Wardoyo
   
Alfendo Yefta Argastya, S.H / Dok Pribadi

JOGLOSEMARNEWS.COM Publik saat ini menaruh perhatian besar terhadap kasus kematian Brigadir Joshua Hutabarat. Kasus tersebut menjadi perbincangan oleh banyak kalangan termasuk masyarakat, karena kematiannya penuh dengan kejanggalan dan misteri.

Mengutip dari CNN, sejak kasus diungkap pada 11 Juli 2022, Polri menyebut Joshua tewas dalam insiden saling tembak dengan Bharada Richard Eliezer atau Bharada E.

Saling tembak itu diklaim terjadi karena Joshua melakukan pelecehan terhadap istri Sambo, Putri Candrawathi. Saat ini, kasus kematian Joshua diusut oleh Mabes Polri melalui Tim Khusus (Timsus) dan Inspektorat Khusus (Irsus) yang dibentuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Selain itu, Komnas HAM juga melakukan penyelidikan secara independen. Sekitar tanggal 8 Juli 2022 Brigadir Joshua dinyatakan tewas dalam insiden saling tembak menembak dengan Bharada E yang terjadi di rumah dinas Ferdy Sambo.

Namun, kasus penembakan baru diungkap ke publik pada tanggal 11 Juli 2022 atau tiga hari setelah kejadian. Menurut keterangan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan, Brigadir Joshua masuk ke kamar istri Sambo dan diduga melakukan pelecehan seksual.

Menurut Ramadhan, istri Ferdy sempat berteriak, sehingga Bharada E yang berada di lantai 2 pun mendengarnya. Lantas Bharada E berjalan menuju kamar, tetapi Brigadir Joshua keluar lebih dahulu.

Brigadir Joshua disebut mengeluarkan tembakan sebanyak tujuh kali dan dibalas oleh Bharada E sebanyak lima kali. Tidak ada tembakan Brigadir Joshua yang mengenai Bharada E, tetapi tembakan Bharada E menewaskan Brigadir Joshua.

Setelah kejadian itu, Putri menelepon Sambo yang disebutkan sedang melakukan tes PCR di luar rumah.

Menurut analisa penulis, berdasarkan uraian kronologi peristiwa tersebut, jika dipikir secara logika menjadi aneh ketika jika memang benar itu terjadi tembak menembak Bharada E tidak terkena tembakan sama sekali, kendatipun itu sangat dimungkinkan.

Kemudian, yang menjadi kejanggalan adalah ketika peristiwa tersebut baru dirilis tiga hari setelah kejadian ditambah lagi ada luka di bagian mata, hidung, mulut, dan kaki yang terdapat pada jenazah Brigadir Joshua.

Setelah melewati perjalanan panjang dan penuh dengan kegelapan, akhirnya kasus kematian Brigadir Joshua menemui titik terang.

Kapolri mengumumkan bahwa tidak ada peristiwa tembak menembak dalam kasus tersebut, kemudian secara teknis disampaikan oleh Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Komjen Agus Andrianto, yang mengungkapkan selama proses penyidikan kasus penembakan Brigadir Joshua, tim khusus Polri menetapkan 4 tersangka.

Agus kemudian membocorkan peran 4 tersangka pada kasus penembakan di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo tersebut. Tersangka di antaranya adalah berinisial Bharada RE, Bripka RR, KM dan terakhir Irjen Pol FS.

Agus mengungkapkan bahwa tersangka pertama, Bharada RE berperan menembak korban. RE menembak atas perintah Irjen Ferdy Sambo.

Sementara tersangka kedua, Bripka RR turut membantu dan menyaksikan penembakan terhadap Brigadir Joshua. Adapun tersangka ketiga, KM turut membantu dan menyaksikan penembakan Brigadir Joshua.

“(Tersangka keempat) FS menyuruh melakukan dan menskenario peristiwa seolah-olah terjadi peristiwa tembak menembak di rumahnya. Terkait apakah FS menyuruh atau terlibat langsung dalam penembakan, saat ini tim masih melakukan pendalaman terhadap saksi-saksi dan pihak-pihak terkait”.

Hubungan Kausalitas

Hubungan kausalitas senantiasa ditemui dalam setiap peristiwa kehidupan manusia sebagai mahkluk sosial.

Namun keanekaragaman hubungan kausalitas ini kadangkala menimbulkan berbagai permasalahan yang tidak pasti, hal ini disebabkan karena tidak mudah dalam menentukan mana yang menjadi sebab dan mana yang menjadi akibat.

Terutama jika ditemukan rantai sebab yang sangat panjang. Menurut John Stuart Mill dalam bukunya Ahmad Sofian yang berjudul System of Logic, sebab (causa) adalah the whole antecedens yang melahirkan suatu keadaan baru.

Syarat-syarat negatif maupun positif (yang harus dipenuhi agar terjadi suatu keadaan tertentu) melahirkan suatu keadaan baru.

John mengatakan, the sum total of the conditions positive and negative taken together. Bahwa seumpama ada sejumlah positive conditions tetapi jumlah dan intensitas negative conditions lebih besar dan kuat (jumlah faktor-faktor yang menghalangi terjadinya suatu akibat yang lebih besar dan intensitas faktor-faktor tersebut lebih kuat), maka sudah tentu akibat yang bersangkutan tidak terjadi.

Baca Juga :  Optimalisasi Penerapan Literasi Digital pada Pendidikan Anak Usia Dini 

Lalu yang harus diperhatikan adalah suatu peristiwa yang terjadi selalu didahului oleh serangkaian tindakan yang berakhir dengan terwujudnya peristiwa tersebut.

Demikian juga peristiwa tindak pidana yang mana dari serangkaian tindakan yang menjadi sebab (causa) terwujudnya suatu pidana, menjadi fokus ajaran kausalitas.

Penulis mengutip pendapat Satochid, bahwa dia mengatakan, tiap-tiap akibat pada kenyataanya dapat ditimbulkan oleh beberapa masalah yang satu sama yang lainnya merupakan serangkaian, sehingga akibat dari itu biasanya tidak ditimbulkan oleh seuatu perbuatan saja, akan tetapi akibat itu dapat ditimbulkan oleh beberapa perbuatan yang merupakan satu rangkaian yang dapat dianggap sebagai sebab (causa).

Dalam hukum pidana, ajaran kausalitas digunakan untuk menentukan tindakan mana dari serangkaian perbuatan yang dipandang sebagai sebab dari munculnya sebuah akibat yang dilarang.

Mengutip pendapat Remmelink, bahwa yang menjadi fokus perhatian para juris hukum pidana adalah apa makna yang dapat dilekatkan pada pengertian kausalitas agar mereka dapat menjawab persoalan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas suatu akibat tertentu.

Kemudian Lamintang dalam pendapatnya mempermasalahkan ajaran kausalitas, khususnya yang berkaitan dengan hingga seberapa jauh sesuatu tindakan dapat dipandang sebagai penyebab dari suatu keadaan atau hingga seberapa jauh sesuatu keadaan itu dapat dipandang sebagai suatu akibat dari sebuah tindakan, dan sampai di mana seseorang yang telah melakukan tindakan tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya menurut hukum pidana.

Bahwa tidak dapat dipungkiri, sering terjadi perselisihan di antara ahli hukum pidana dalam menentukan sebab dari suatu perbuatan, dan menentukan siapa yang bertanggungjawab atas munculnya akibat yang terlarang itu.

Perselisihan pendapat ini disebabkan karena perbedaan perspektif dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang menjadi sebab dalam menentukan kadar pertanggungjawaban pidanannya.

Maka dari itu untuk mengurangi perselisihan tersebut, sebelum menentukan pertanggungjawaban pidana, langkah yang wajib ditempuh adalah mengonstruksi hubungan sebab kausal setiap kasus. Dalam menentukan hubungan kausal ini harus dicari perbuatan yang paling relevan yang menghasilkan akibat yang dilarang.

Bahwa dalam ajaran kausalitas ini menurut hemat penulis sangat penting untuk didalami oleh aparat penegak hukum, sebab ajaran ini memiliki hubungan yang erat dengan suatu tindakan yang bertujuan untuk mengakhiri kehidupan seseorang atau sebab yang menyebabkan kematian seseorang.

Salah satu tindak pidana yang menyebabkan kematian yang menimbulkan kerumitan dalam menentukan hubungan sebab akibatnya adalah tindak pidana pembunuhan.

Tindak pidana pembunuhan merupakan bagian dari materieel delict. Tindak pidana pembunuhan dapat diartikan sebagai tindak pidana menghilangkan nyawa seseorang.

Dalam menghilangkan nyawa seseorang, pelaku harus melakukan sesuatu atau rangkaian tindakan yang berakibat meninggalkan orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya itu harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang tersebut.

Mengutip pendapat Simons, opzet merupakan kesadaran pada diri seseorang pelaku tentang kemungkinan timbulnya suatu akibat lain daripada akibat yang sebenarnya yang ia kehendaki, dan kesadaran tersebut telah tidak menyebabkan dirinya membatalkan niatnya untuk melakukan tindakan yang dilarang oleh undang-undang.

Bahwa tindak pidana yang menyebabkan matinya seseorang dikonstruksikan sebagai kejahatan terhadap nyawa yang terdiri dari tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian.

Kemudian tindak pidana pembunuhan dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu doodslag dan Moord. Doodslag adalah tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain dengan kesengajaan, sedangkan Moord adalah menghilangkan nyawa orang lain dengan direncanakan terlebih dahulu.

Uraian-uraian kronologi serta apa yang sudah disampaikan oleh pihak kepolisian dalam hal ini Bareskrim Polri ketika press conference kemarin, penulis dalam hal ini tidak bermaksud untuk mendahului penegak hukum dan putusan pengadilan.

Bahwa perlu diketahui terlebih dulu dalam ajaran kausalitas ada beberapa teori, yakni teori ekuivalensi atau conditio sine qua non, teori individualisir atau post factum, teori generalisir atau adequat, dan teori relevansi.

Jika dibedah satu persatu teori ekuivalensi melihat semua faktor adalah sebab, tidak membedakan syarat dan sebab. Selanjutnya teori individualisir adalah teori yang mengambil satu faktor setelah delik tertentu terjadi yang menimbulkan akibat yang dilarang. Lanjut teori generalisir adalah teori yang mencari faktor sebelum terjadi delik yang menimbulkan akibat.

Baca Juga :  Optimalisasi Penerapan Literasi Digital pada Pendidikan Anak Usia Dini 

Terakhir teori relevansi yang mana dalam teori tersebut menginterpretasi dari rumusan delik sebagaimana maksud pembuat undang-undang.

Berdasarkan uraian teori tersebut dan dikaitkan dengan kronologi serta fakta sementara yang berhasil diungkap kasus kematian Brigadir Joshua, penulis sependapat dengan Barda Nawawi Arief yang pada intinya tidak ada satu teori dalam ajaran kausalitas yang paling baik dan sebaliknya, karena teori-teori kausalitas sangat kasuistis, jika kasusnya sederhana maka bisa menggunakan teori-teori kausalitas yang sederhana, tetapi jika penyebabnya banyak, maka diperlukan pembatasan.

Dan pembatasan yang dikemukakan adalah dengan ajaran melawan hukum, artinya yang dijadikan sebab adalah perbuatan yang melawan hukum karena ajaran kausalitas adalah ingin mencari tindak pidana.

Jadi hanya perbuatan melawan hukum saja yang bisa dijadikan sebab yang menimbulkan akibat. Setelah menentukan faktor malawan hukum, maka perlu juga melihat faktor lain sebagai sebab ini bisa dilihat dari ajaran kesalahan dan termasuk faktor kesalahan yang dimiliki korban.

Kemudian jika ditanya teori apa yang relevan dengan kasus meninggalnya Brigadir Joshua ini? maka dengan tegas penulis berpendapat, teori yang relevan adalah teori individualisir kendatipun penulis sangat setuju dengan pendapat Barda Nawawi yang mengatakan tidak ada teori yang paling baik, tetapi penulis berpendapat yang mendekati baik adalah teori individualisir.

Dasar argumentasi penulis adalah dalam ajaran yang mengindividualisasi, memberikan batas peristiwa yang dianggap sebagai sebab didasarkan pada fakta setelah peristiwa terjadi (post factum).

Dibuktikan dari pendalaman yang dilakukan penyidik bahwa yang melakukan penembakan adalah Bharada E atas perintah FS. Dari tembakan itulah yang menyebabkan kematian Brigadir Joshua kendatipun demikian kita juga menunggu hasil otopsi.

Selanjutnya argumentasi penulis, dalam ajaran teori individualisir ini melihat setelah peristiwa terjadi, maka di antara rangkaian faktor terkait peristiwa kematian Brigadir Joshua, tidak semuanya merupakan faktor penyebab.

Faktor penyebab itu adalah faktor yang paling berperan atau dominan atau yang memiliki andil paling besar dalam menimbulkan sebuah akibat, sedangkan faktor lain dinilai sebagai faktor syarat saja dan bukan faktor penyebab.

Terakhir, apakah ini doodslag atau Moord? Sekali lagi penulis tidak bermaksud mendahului serangkaian proses pra penuntutan dan pembuktian di pengadilan serta pada intinya penulis menghormati proses tersebut.

Dalam hal ini penulis hanya berangkat dari apa yang sudah disampaikan Kabareskrim, yang mana penyidik mempersangkakan dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 jo Pasal 55, Pasal 56 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun penjara.

Maka penulis berpendapat, ada dugaan pembunuhan berencana dalam kasus kematian Brigadir Joshua. Analisa penulis adalah ketika Bharada E diperintahkan oleh FS untuk menembak Brigadir Joshua. Tafsir penulis terhadap diksi “diperintahkan” adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu dan suruhan.

Maka dari hal tersebut menurut penulis ada unsur perencanaan dari sebuah perintah. Terlebih dalam kasus pembunuhan berencana tidak memerlukan motif, sebab dalam hukum pidana ada teori dolus premeditatus.

Teori dolus premeditatus adalah kesengajaan yang dilakukan dengan perencanaan terlebih dahulu. Rencana dalam melakukan suatu perbuatan yang dilarang bukanlah bentuk khusus dulus, melainkan memberi nuansa untuk melakukan perbuatan pidana dengan pertimbangan yang matang.

Dolus premeditatus adalah suatu keadaan yang memberatkan dalam penjatuhan pidana. Dan kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama dua orang atau lebih biasanya merupakan dolus premeditatus yang dimulai dengan suatu permufatakan jahat.

Bahwa apapun yang menjadi argumentasi yang disusun penulis ini tetap kembali lagi pada proses pembuktian yang akan dilakukan oleh aparat di persidangan pada akhirnya nanti.

Penulis berpendapat “bahwa untuk mencari keadilan yang sempurna itu sangat tidak mungkin, tetapi ada upaya untuk mendekati keadilan yang sempurna”. []

Penulis adalah

Alumni Fakultas Hukum UNS dan Paralegal

 

 

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com