WONOGIRI, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pria tinggal serumah dengan gadis SMP banyak terjadi di Karangtengah Wonogiri, ortu gadis malah senang namanya tunggon.
Budaya tunggon di Karangtengah Wonogiri menarik untuk dikulik. Pasalnya dalam budaya ini seorang pria diperbolehkan tinggal serumah bersama gadis belia usia SMP yang merupakan pujaan hatinya.
Lama tinggalnya bisa berbulan bulan, bahkan hingga dalam hitungan tahun.
Setelah si gadis lulus sekolah, maka si pria tadi melanjutkan hubungan dengan melamar dan menikahi gadis pujaannya.
Hanya saja budaya tunggon di Karangtengah Wonogiri itu kini bakal dilarang. Malah sudah ada gerakan anti tunggon dideklarasikan.
Pasalnya budaya tunggon di Karangtengah Wonogiri dianggap meningkatkan angka pernikahan dini yang memicu beragam masalah. Di antaranya masalah kesehatan berupa stunting.
“Tunggon itu dari bahasa jawa, yang berarti menunggu. Tradisi ini sudah ada sejak dulu,” kata Camat Karangtengah Tri Wiyatmoko kepada wartawan, beberapa waktu lalu.
Camat Karangtengah Tri Wiyatmoko menerangkan, tunggon merupakan budaya di masyarakat berupa seorang anak perempuan yang belum menikah ditunggu oleh seorang laki-laki yang ingin menikahi perempuan itu di rumahnya. Perempuan yang ditunggu tadi masih berusia di bawah umur.
“Sebagian masyarakat di sini masih ada yang melakukan. Nah tradisi itu akan kami larang bersama pemerintah desa. Ini upaya untuk mencegah perkawinan anak dan mengurangi angka stunting di Karangtengah,” beber dia.
Menurut Camat Karangtengah Tri Wiyatmoko, jika anak menikah di bawah umur, dari segi fisiknya berpengaruh terhadap anak yang dilahirkan. Pemerintah kecamatan belum merinci atau mencatat berapa jumlah warganya yang masih melakukan tunggon.
“Kami mengetahuinya dari angka pernikahan dini. Dari kasus itu ada yang berasal dari tunggon, masih ada yang menerapkan itu. Kami berkomitmen melarang itu,” terang Camat Karangtengah Tri Wiyatmoko.
Sementara itu Pj Kades Karangtengah Wiyono, menuturkan hingga saat ini di Desa Karangtengah masih ada warganya yang melakukan tradisi tunggon. Bahkan pada bulan ini (Agustus) ada warga yang mengajukan pernikahan di bawah umur.
Tunggon berawal dari seorang laki-laki yang tinggal di rumah seorang perempuan yang di dalamnya juga ada kedua orang tuanya. Laki-laki itu tinggal di sana dengan niatan ingin menikahi perempuan itu.
“Nah laki-laki itu juga ikut tinggal di rumah itu. Setiap hari si laki-laki membantu seluruh pekerjaan atau aktivitas dari orang tua si perempuan itu tadi. Ya biasanya mencari rumput, mencangkul dan lain-lain, sesuai pekerjaan orang tuanya. Nanti pada akhirnya laki-laki itu nikah dengan anak perempuan pemilik rumah itu,” ujar Pj Kades Karangtengah Wiyono.
Menurutnya, rata-rata perempuan yang ditunggu itu masih berusia di bawah umur. Biasanya lulus dari SMP, karena mereka tidak melanjutkan ke jenjang SMA atau SMK. Sedangkan laki-laki yang menunggu biasanya sudah dewasa atau di atas umur. Laki-laki itu ada yang satu dusun dan beda dusun atau luar desa dengan keluarga perempuan.
Sementara itu masa tunggu atau lama seorang melakukan tunggon berbeda-beda. Mulai dari hanya beberapa bulan hingga ada yang mencapai tahunan.
“Kalau tidak lanjut sekolah dan melakukan tunggon itu karena ada faktor. Kalau ekonomi tidak terlalu minus, sebenarnya mampu. Hanya saya sebagian mindset orang tua itu jika ada yang melamar atau nunggoni itu bangga. Karena sudah tidak khawatir anaknya tidak laku atau jadi perawan kasep (terlambat). Dan kalau tunggon itu pasti akhirnya nikah, tidak ada yang putus,” ungkap dia.
Selain itu, kata Wiyono, ada sejumlah faktor lain orang menikah dini. Di antaranya karena sudah ditunggu (tunggon) atau kumpul, harus segera dinikahkan agar tidak berdosa. Kemudian karena faktor pendidikan, tidak melanjutkan ke jenjang SMA atau SMK karena jarak yang terlalu jauh juga menjadi salah satu penyebab.
“Untuk data berapa jumlahnya kami tidak bisa memerinci. Kemarin masih ada dua orang yang mengajukan dispensasi perkawinan juga. Setiap ada yang mengajukan tetap kami tanya baik-baik. Itu (diapensasi kawin) ada yang memang pacaran dan ada yang karena tunggon juga,” ujar dia.
Atas permasalahan itu, lanjut Wiyono, Pemerintah Desa mulai melalukan upaya pencegahan. Pemdes membentuk Posyandu Remaja sejak Januari 2022 lalu. Setiap dusun sudah ada anggotanya yang berusia 10 tahun ke atas. Setiap bulan ada penyuluhan kesehatan dan pembinaan rohani yang dilakukan bersama Puskesmas dan penyuluh agama dari KUA.
“Di Dusun Niten ini kami jadikan percobaan. Seluruh warga sudah kami kumpulkan dan mereka sepakat untuk melarang tunggon atau orang laki-laki nunggu perempuan. Jika melanggar ada sanksi sosial. Warga sudah mulai sadar saat ini,” kata Wiyono. Aris Arianto