JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur (Kaltim) semakin dekat.
Meski kerap memunculkan pro kontra, pemindahan IKN diyakini tak akan merubah situasi Jakarta. Status Jakarta yang akan melepaskan statusnya sebagai Ibu Kota, dinilai tak akan serta merta membuat pamor Jakarta meredup.
Hal itu disampaikan mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Andrinof Chaniago.
Ia mengatakan meski IKN akan dipindah, menurutnya kota Jakarta akan baik-baik saja. Tak ada yang perlu dirisaukan jika Jakarta tak lagi sebagai Ibu Kota karena pindah di IKN.
“Akan tetap eksis. Jakarta akan redup? Pulau Jawa juga akan redup? tentu saja tidak. Tidak ada yang dikhawatirkan,” kata dia dalam Diskusi Multiperspektif yang digelar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI), Rabu (26/10/2022).
Acara bertema ‘Nasib Jakarta Tanpa Status Ibu Kota’ juga menghadirkan para tokoh pada bidangnya seperti Prof Irfan Ridwan Maksum, Dr Yayat Supriatna dan Prof Paulus Wirutomo.
Andrinof kembali memaparkan, justeru dengan pemindahan ibukota ke Kaltim memberi peluang bagi Jakarta untuk berbenah diri.
Karena cepat atau lambat, tekanan urbanisasi ke Jakarta dan kota-kota di sekitarnya Tangerang, Depok, Bogor dan Bekasi atau (Bodetabek) akan menurun.
“Suatu wilayah yang sebagian fungsinya dipindahkan ada implikasi kewenangan. Tapi itu bukan masalah, kewenangan untuk mendukung urusan. Tetapi Jakarta tetap akan tumbuh terus dengan berbagai hal yang mendukung kemajuan kota,” terang dia.
Lebih lanjut Andrinof yang juga pendiri gerakan Visi Indonesia 2033 menjelaskan, kapasitas Jakarta sebagai kota megapolitan tak ada berkurang.
Termasuk sumber pendapatan utama yakni anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).
Ia menyebut dengan APBD sebesar Rp 70 triliun lebih, Jakarta menjadi daerah yang memiliki anggaran sangat besar. Jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi di Jawa lainnya, perbandingannya jauh.
“Jakarta pegang Rp 70 triliun, provinsi lain paling dengan jumlah orang (warga) yang sama dengan Jakarta hanya Rp 10 triliunan. Makanya sangat bisa peningkatan kualitas kota dengan sumber anggaran cukup. Jadi kapasitas potensinya besar sekali,” jelas dia.
Dikatakan Andrinof, di sisi lain, sumber masalah struktural Jakarta adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi di kawasan pinggiran Jakarta, dengan tingkat pertumbuhan sekitar 3,5-4 persen per tahun.
Urbanisasi yang tinggi ke Jabodetabek itulah sumber munculnya berbagai masalah bagi kota Jakarta, mulai soal sampah, kemacetan, polusi, banjir dan sebagainya.
Munculnya IKN bakal menjadi magnet baru di Kawasan Tengah dan Timur yang akan mengendurkan laju kedatangan penduduk ke Jabodetabek.
“Kemudian dengan pemindahan itu, harus kita sambut dengan agenda menata Jakarta untuk menjadi berkualitas secara lingkungan, ekonomi dan sosial. Salah satu langkah strategis adalah dengan memperbanyak hunian vertikal dan membangun kawasan-kawasan terpadu. Jakarta harus menuju kota seperti Kota Taipei dan Singapura yang model huniannya didominasi oleh hunian vertikal,” katanya.
Dia menambahkan, jika pembangunan IKN adalah untuk proses jangka panjang yang tentunya bisa menciptakan multiplier efect terhadap banyak wilayah di Indonesia, tak hanya Kaltim saja.
Untuk itu dengan pecahnya magnet Kota Jakarta atau bergesernya Ibukota, bicara efeknya tidak hanya pada Jakarta. Tetapi, jelas, pemindahan ibukota itu memberi peluang bagi Jakarta untuk menata diri.
Terlebih pembangunan Jakarta harus menjadi pelajaran, sehingga kawasan satelit di sekitarnya bisa benar-benar tak terjadi ketimpangan jika dibandingkan Ibu Kota.
“Ini bicara pemerataan. Kawasan luar Jawa penduduk sedikit, pulaunya banyak, tetapi kesejahteraannya kurang. Ini kita perbaiki lewat IKN. Jangan mengulang Jakarta dengan Jabodetabeknya. Daerah satelit seperti Tenggarong, Samarinda, Penajam dan Kota Baru menjadi wilayah sangat penting,” ungkap dia.
Sementara Prof Paulus Wirutomo dari UI, menerangkan, Jakarta punya peran tak kalah penting dalam penataan masyarakatnya.
Mengingat pengangguran, kesenjangan, pembangunan yang tak mengakar, menjadi masalah serius. Untuk itu jika tak mendapatkan status Ibu Kota, Jakarta harus berbenah untuk mengatasi kesenjangan dalam kehidupan masyarakatnya.
“Strateginya membangun dari komunitas yang kecil. Di Singapura itu RT dan RW-nya mempunyai community center. Itu jadi kadi kekuatan masyarakat yang bisa mendidik manusia kota. Makanya kalau ke Singapura kita kan tiba-tiba berubah jadi disiplin,” ujar dia. Wardoyo