Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Implementasi Konvensi Internasional terhadap Kejahatan Lintas Negara

Alfendo Yefta Argastya, S.H, Alumni FH UNS dan Paralegal

JOGLOSEMARNEWS.COM Merujuk Pasal 2 ayat (1) Konvensi Wina 1969 yang berbunyi: “treaty means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”.

Poin dari Pasal tersebut adalah perjanjian yang disetujui atau disepakati oleh negara-negara yang mengadakan perjanjian dalam bentuk tertulis. Selanjutnya diatur mengenai ratifikasi yang juga diatur dalam konvensi Wina 1969 huruf b yang berbunyi: “ratification’, ‘acceptance’, ‘approval’ and ‘accession’ mean in each case the international act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty”. Pasal tersebut mengandung arti bahwa wujud dari pengesahan berarti mengikatkan diri pada suatu bentuk perjanjian dalam tataran internasional.

Setiap negara di dunia tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan atau bantuan dari negara lainnya. Seperti halnya hubungan antar negara yang bertujuan untuk mendukung agenda yang direalisasikan melalui suatu perjanjian internasional. Oleh karena itu negara-negara dalam hal ini Indonesia harus selalu menjalin hubungan yang kondusif dengan negara lain baik secara bilateral maupun multilateral.

Tidak masuk akal ketika ingin menjalin atau memulai perjanjian dengan negara lain tetapi tidak mempunyai hubungan yang harmonis dengan negara terkait. Indonesia sendiri sudah membuat regulasi berkaitan dengan perjanjian internasional yang diantaranya berisi pengesahan perjanjian internasional yang muatan didalamnya termasuk ratifikasi sebagai landasan yuridis.

Mengapa regulasi mengenai ratifikasi dijadikan sebagai landasan yuridis, karena hal tersebut menggambarkan aturan yang dibuat atau dibentuk untuk mencari jalan keluar suatu permasalahan hukum atau mengisi rechtsvacuum dengan menganalisa, mempertimbangan, dan mengamati aturan yang sudah ada atau yang akan direvisi guna jaminan untuk mewujudkan kepastian hukum.

Selain itu makna penting mengenai perjanjian internasional bagi Indonesia diwujudkan melalui konstitusi negara yakni Undang-Undang Dasar 1945 yang lebih tepatnya secara expersif verbist terdapat dalam Pasal 11 sebagai dasar pembuatan perjanjian internasional.

Hukum perjanjian internasional sudah sangat jelas menempatkan posisinya dalam hukum nasional, yang kemudian terdapat dalam Pasal 25 Konvensi Wina 1969 yang mengatur tentang prinsip-prinsip fundamental hukum perjanjian internasional, yakni pacta sunt servanda yang artinya adalah perjanjian tersebut mengikat kepada para pihak yang melakukan perjanjian dengan menerapkan prinsip good faith.

Lalu negara tidak bisa menggunakan kaidah hukum nasional untuk melakukan justifikasi kegagalannya dalam melaksanakan kewajibannya yang berimplikasi dari perjanjian internasional, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 27 Konvensi Wina 1969. Berkaitan dengan perjanjian internasional yakni ratifikasi, Indonesia sudah meratifikasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang pengesahan United Nation Convention Against Transnational Organized Crime atau Konvensi PBB menentang Tindak Pidana Transnasional yang terorganisasi yang selanjutnya disebut UU Pengesahan UNTOC.

Dinamika hukum internasional dan hukum nasional melibatkan kepentingan 2 (dua) negara bahkan lebih dalam hal tersebut tentunya mengharuskan adanya kerjasama antar negara-negara baik secara bilateral maupun multilateral. Setiap negara sudah barang tentu mempunyai kepentingan dalam rangka memberantas, mengantisipasi dan menghukum pelaku dari aktivitasnya melakukan kejahatan transnasional.

Dalam upaya ini banyak negara untuk mencegah dan memberantas dengan cara melakukan hubungan atau kerjasama bersifat internasional dan mengaturnya dalam bentuk konvensi internasional yang ada korelasinya dengan permasalahan yang terjadi. Dengan perkembangannya yang sangat pesat, kejahatan-kejahatan yang terjadi di lintas negara dipandang atau dianggap sebagai salah satu tindak kejahatan yang serius bahkan bisa dikatakan ancaman terhadap keamanan global.

Konvensi ini ditujukan dalam rangka mendorong negara yang belum mempunyai ketentuan-ketentuan untuk mengadopsi tindakan yang sifatnya komperhensif. Perkembangan kejahatan transnasional yang terorganisasi mengalami kemajuan yang sangat signifikan sebagai dampak dari globalisasi yang ditunjang oleh modernisasi teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi sehingga batas negara seolah-olah hanya borderless.

Hal demikian menimbukan kegelisahan banyak negara, walaupun profilnya beda-beda dari negara satu dengan negara lainnya. UNTOC yang sudah diratifikasi banyak sekali cakupan tindak pidana didalamnya.

Oleh karenanya diharapkan dengan adanya ratifikasi tersebut negara mampu mengoptimalkan penegakan hukumnya berekaitan dengan tindak kejahatan transnasional, karena kejahatan transnasional yang terorganisir ini cenderung berkambang pesat di negara dengan sistem hukumnya lemah.

Kejahatan yang berhubungan dengan lintas negara adalah sebagai bentuk kejahatan yang mejadi momok bagi negara dan merupakan ancaman yang sangat serius terhadap kemamanan domestik. Jika melihat posisi Indonesia sekarang, letak negara Indonesia sendiri sangat strategis sehingga sangat rentan terhadap berbagai kejahatan-kejahatan lintas negara. Penegakan hukum yang kuat ditunjang dengan sumber daya manusia yang mumpuni dan juga regulasi yang baik menjadi sebuah kewajiban yang wajib dimiliki negara dalam rangka mencegah kejahatan lintas negara karena seperti yang sudah diuraikan, karena kejahatan di era sekarang sudah sangat cangih.

Namun ada kendala dalam menerapkan sebuah regulasi internasional. Secara garis besar menurut Duta Besar Republik Indonesia untuk Jerman, Eddy Pratomo, mengungkapkan permasalahan utama dalam mengimplementasikan hukum perjanjian internasional di Indonesia adalah Indonesia belum mempunyai politik dan law system yang secara tegas mengatur mengenai perjanjian internasional.

Selain itu adalah pengharmonisasian standar baku internasional dengan hukum atau peraturan domestik serta penyiapan tenaga ahli yang diperuntukan dalam pengerjaan laporan ratifikasi. Hal tersebut merupakan beberapa kendala dalam melakukan proses ratifikasi pada umumnya. Dalam ketentuan ratifikasi UNTOC hanya mengatur perihal ekstradisi, MLA, dan joint Investigation.

Selanjutnya di dalam konvensi diatur juga mengenai tentang pemindahan proses peradilan dan transfer terhukum. Kemudian dalam hal ekstradisi memang sangat berkaitan dengan kejahatan transnasional karena melibatkan beberapa negara dalam penanganannya hal tersebut merupakan kendala yang sering terjadi dalam menangani sebuah kasus yang melibatkan negara lain.

UNTOC pada hakikatnya adalah payung hukum dari segala bentuk perjanjian ekstradisi yang telah dibuat oleh Indonesia dengan beberapa negara lainnya. Karena ekstradisi ada korelasinya dengan UNTOC, kendatipun ekstradisi mempunyai aturan sendiri dalam UU No. 1 Tahun 2009 tentang Ekstradisi, tetapi dalam ketentuan UNTOC terdapat Pasal yang berkaitan dengan ekstradisi maka hal tersebut menjadi kendala dalam implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang pengesahan United Nation Convention Against Transnational Organized Crime atau Konvensi PBB menentang Tindak Pidana Transnasional yang terorganisasi karena mekanisme sangat rumit dan tidak efisien dalam melakukan perjanjian ekstradisi, alasannya yaitu karena ada 2 permintaan ekstradisi.

Pertama, permintaan dari pihak Indonesia kepada pihak asing. Kedua, permintaan dari pihak asing kepada pemerintah Indonesia. Selain itu kendatipun Indonesia sudah meratifikasi United Nation Convention Against Transnational Organized Crime ke dalam regulasi nasional atau UU, namun faktanya adalah UU ratifikasi perjanjian internasional tidak langsung dianggap sebagai regulasi yang mengikat.

Fakta tersebut ditengarai untuk melaksanakan peraturan tersebut mewajibkan adanya UU yang mengenai permasalahan terkait. Poinnya adalah aparat penegak hukum lebih menggunakan pedoman UU mengenai ekstradisi dan perjanjian bilateral daripada UNTOC.Implementasi UNTOC seharusnya memerlukan penguatan dan daya ikat yang lebih lagi karena konvensi internasional tersebut merupakan trobosan besar dalam perang melawan kejahatan transnasional yang teroganisir dan menandakan pengakuan dari negara anggota atas keseriusannya dalam menangani permasalahan yang ditimbulkan.

Seperti yang diuraikan di atas, bahwasannya negara tidak bisa tanpa dukungan atau kerjasama dengan negara lain. Oleh karenanya, penguatan ratifikasi UNTOC tersebut harus diupayakan lagi oleh pemerintah. Sehingga tidak sia-sia apa yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dalam upayanya mengantisipasi kejahatan transnasional yang terorganisasi.

Penguatan implementasi berkaitan dengan UNTOC karena bukan sesuatu yang mudah bagi suatu negara memerangi sendiri tindak pidana yang dilakukan di lintas negara. Perlu adanya komitmen yang kuat dalam melaksankan konvensi tersebut.

Kejahatan transnasional semakin hari semakin meningkat modus operandinya. Ini menjadi trigger baru berbagai negara untuk melakukan kerjasama secara serius dan komperhensif mengenai kejahatan transnasional. Dengan adanya penguatan yang dilakukan bersama-sama dengan negara lain maka hal ini bukan sesuatu yang mudah untuk mencegah dan mengantisipasi tindakan kejahatan yang dapat mengancam perdamaian dunia dan stabilitas kemanan setiap negara. (*)

Alfendo Yefta Argastya, S.H

Alumni Fakultas Hukum UNS & Paralegal

 

 

 

Exit mobile version