SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kasus penganiayaan yang menewaskan santri Ponpes Ta’mirul Islam Masaran Sragen, Daffa Washif Waluyo (15) asal Ngawi oleh seniornya, MRH (16) menjadi sorotan nasional.
Kalangan DPR RI pun turut angkat bicara menyikapi tragedi kekerasan di Ponpes yang merenggut nyawa tersebut.
Salah satunya Luluk Nur Hamidah. Anggota DPR RI FPKB dari Dapil Jateng IV itu mengaku prihatin dan sangat menyesalkan adanya tindak kekerasan terhadap santri yang terjadi di Ponpes Ta’mirul Islam di Masaran, Sragen.
Selain terjadi di lingkungan lembaga pendidikan keagamaan, pelaku kekerasan yang merupakan senior korban, ternyata diketahui juga masih di bawah umur.
“Kami sangat prihatin dan menyesalkan. Kekerasan bisa terjadi pada mereka yang memiliki relasi kuasa tidak setara. Dalam kasus kematian santri di Sragen, maka pelakunya adalah santri senior terjadi santri junior. Meski sangat disesalkan bahwa santri senior ini sesungguhnya juga masih anak-anak karena usianya baru 16 tahun,” paparnya kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Kamis (24/11/2022).
Sekjen Kaukus Perempuan Parlemen RI itu memandang sosialisasi tentang pesantren ramah anak menjadi kebutuhan yang sangat mendesak.
Pemerintah dalam hal ini Kemenag semestinya bisa proaktif untuk terus menerus melakukan sosialisasi, training dan pendampingan.
Serta memastikan bahwa semua pesantren tanpa terkecuali mendapatkan telah memiliki panduan dan pedoman tentang penyelenggaraan pendidikan keagamaan yang bebas dari kekerasan baik yang bersifat fisik, psikis, mental dan juga seksual.
Ia menilai beberapa kejadian kekerasan yang sebelum ini juga telah terjadi di lembaga ponpes Gontor.
Menurutnya rentetan kejadian itu seharusnya menjadi evaluasi secara menyeluruh dan komprehensif terkait fungsi pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah atau kemenag.
“Kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap lembaga pesantren harus dijaga sedemikian rupa. Di satu sisi ada kebutuhan dan juga tuntutan saya kira, agar pesantren juga mau membuka diri untuk menambah wawasan, melatih para pengasuh, guru, pendamping dan juga santri tentang ekosistem belajar yang menyenangkan. Termasuk juga membuka diri bagi kerja pengawasan sehingga kekerasan di lembaga keagamaan termasuk pesantren ini bisa dicegah atau terantisipasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Luluk mendorong secepatnya ada sistem pencegahan kekerasan yang komprehensif di lembaga pendidikan keagamaan. Termasuk pesantren dan itu berlaku untuk seluruh pesantren.
Konsekuensi dari pemberian izin pemerintah adalah dengan kepatuhan untuk menjalankan semua prosedur dan mekanisme yang ditetapkan.
“Nah, apakah Kemenag sudah memiliki SOP atau sistem tersebut? Apakah sudah tersosialisasi secara merata?
Pemerintah kita harapkan tidak hanya sekedar bersikap reaktif manakala kekerasan itu sudah terjadi,” lanjutnya.
Lantas, dukungan masyarakat juga dipandang penting sebagai bentuk tanggung jawab bersama untuk menjaga pendidikan keagamaan tetap dapat memberikan layanan dan fungsinya secara baik.
Ia mendorong keberanian masyarakat untuk melaporkan apabila ada kejanggalan dalam praktik di pesantren khususnya yang merugikan para santri.
Sebab hal itu juga dapat meminimalisir kejadian yang tidak kita inginkan bersama.
Seyogyanya praktik senior junior yang hegemonik dan menindas itu diakhiri. Di tengah zaman yang berubah, masyarakat tidak akan menerima lagi model kekerasan dipraktikkan sebagai alat kontrol kedisiplinan atau apapun alasan lainnya.
“Sekarang itu yang dibutuhkan adalah pendidikan yang membebaskan, damai, penuh kasih sayang, nir kekerasan, mengembangkan dialog, problem solving dan keteladanan sejati,” terangnya.
Pondok pesantren, dalam hal ini pengasuh pesantren, juga dinilai tidak bisa lepas tanggung jawab begitu saja.
Karena realitanya praktik kekerasan masih bisa terjadi dan selama ini dipraktikkan serta dinormalisasi sedemikian rupa.
Seolah hal yang wajar dan biasa biasa saja. Menurutnya pola pikir dan penerapan kekerasan itu harus segera diakhiri dan sehingga tidak sampai jatuh korban santri di kemudian hari. Wardoyo