Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Tolak Impor Beras, Anggota DPR RI Luluk Bongkar Ada Penggilingan Raksasa Milik Wilmar di Ngawi. Benarkah Ada Permainan?

Anggota DPR RI, Luluk Nur Hamidah saat menyerahkan secara simbolis bantuan alsintan dari aspirasinya kepada puluhan Poktan di Sragen, Selasa (13/12/2022). Foto/Wardoyo

SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Penolakan kebijakan pemerintah yang mengimpor 200.000 ton beras, terus berkumandang.

Tak hanya tataran petani dan pelaku usaha yang bersentuhan dengan beras, kebijakan pembelian beras dari luar itu juga menuai penolakan dari DPR RI.

Salah satunya datang dari anggota DPR RI Fraksi PKB Dapil Jateng IV, Luluk Nur Hamidah. Luluk yang duduk di Komisi IV menolak tegas impor beras yang dilakukan pemerintah saat ini.

Menurutnya kebijakan impor mestinya tidak dilakukan di tengah kesimpangsiuran data soal stok dan alokasi kebutuhan beras nasional saat ini.

“Dari awal, saya pribadi menolak karena data Kementan belum jelas. Untuk konteksnya beras CBB kalau gudang bulog terjadi kekosongan, memang tahun 2021 serapan bulog tidak terlalu banyak ketimbang tahun 2020. Makanya kalau ada kekurangan stok ya saya rasa wajar,” paparnya kepada JOGLOSEMARNEWS.COM saat menyerahkan bantuan alsintan kepada puluhan Poktan di Sragen, Selasa (13/12/2022).

Luluk pun meminta agar pemerintah mengecek kembali problem pemicu kekurangan atau kekosongan stok beras di Bulog.

Hal itu diperlukan untuk memastikan apakah kekurangan itu benar terjadi akibat berkurangnya produksi pertanian atau ada sistem yang bekerja membuat tangan pihak-pihak tertentu sehingga membuat stok jadi menipis.

Legislator asal Dapil Sragen, Wonogiri, Karanganyar itu menaruh kecurigaan adanya praktik mafia dan korporasi swasta yang memainkan peran sehingga membuat situasi stok beras nasional berkurang.

Hal itu diperkuat dengan beredarnya temuan ada penggilingan padi skala besar di Ngawi Jatim yang ternyata milik korporasi swasta Wilmar.

“Kami minta dicek lagi stoknya kok berkurang ada apa. Karena dengar-dengar ada penggilingan raksasa dimiliki korporasi swasta. Misal di Ngawi milik Wilmar. Karena ada penggilingan swasta raksasa ini tentu akan membuat penggilingan masyarakat pelan-pelan mati suri,” ujarnya.

Luluk menjelaskan jika ada korporasi swasta menguasai usaha penggilingan skala besar, otomatis akan berdampak mematikan usaha serupa di bawah.

Mereka yang berskala kecil dan tidak punya modal kemudian akan memberikan harga bagus ke korporasi raksasa itu.

Imbasnya, korporasi raksasa akan dengan mudah bisa menguasai produk dan kemudian bergerak memainkan situasi stok dan harga di pasaran.

“Mestinya pemerintah mendorong dan memberi penugasan ke Bulog agar lebih banyak menyerap gabah petani. Sehingga stok bisa memadai. Tentunya dengan harga yang kompetitif. Karena saat ini harga gabah di tengkulak atau pasaran cukup tinggi sehingga kalau Bulog mau menyerap dengan HPP di bawahnya, tentu petani akan lebih milih jual ke tengkulak. Meski minusnya, tengkulak bisa memainkan harga kapan saja,” urainya.

Luluk menambahkan penolakannya terhadap impor juga demi menyelamatkan kepentingan petani. Sebab jika sampai beras impor masuk dalam jumlah besar dan beredar ke pasaran di maka praktis akan membuat harga beras menjadi anjlok.

Jika harga beras murah, maka yang terimbas adalah petani karena harga jual gabah maupun beras juga akan ikut merosot.

“Makanya kami berharap, pemerintah bisa mengkaji ulang impor itu,” tandasnya. Wardoyo

Exit mobile version