Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Gerakan Buruh: Perpu Cipta Kerja Berlanjut, Sederet Potensi Masalah Sudah Menunggu

Sejumlah buruh saat pulang usai bekerja di salah satu pabrik Kawasan Ciracas, Jakarta Timur, Senin (2/1/2023) / tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Perpu Cipta Kerja sampai sejauh ini masih menuai penolakan dari kalangan buruh. Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menyampaikan penolakan terhadap Perpu Cipta Kerja yang ditandatangai Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 30 Desember 2022.

Gebrak menanganggap pemerintah melakukan akrobat hukum untuk menghidupkan UU Cipta Kerja yang dinilai inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.

Untuk diketahui, Gebrak terdiri dari 20 organisasi, yaitu Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI),  Konfederasi Serikat Nasional (KSN),  Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN).

Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI),  Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan (Jarkom SP Perbankan), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA),  Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID),  Federasi Pelajar Indonesia (FIJAR), dan Sekolah Mahasiswa Progresif (SEMPRO).

 

Kemudian, ada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),  Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KPRI), Federasi Serikat Buruh Makanan & Minuman (FSBMM), Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Federasi Pekerja Industri (FKI), Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Forum Masyarakat Rusunawa Marunda (FMRM), dan Lokataru Foundation.

Gebrak lantas menyebut ada sejumlah masalah yang bakal dihadapi rakyat akibat Perpu Nomor 2 Tahun 2022 itu. Berdasarkan keterangan yang diterima Tempo, Senin (9/1/2023), potensi masalah-masaah tersebut, yaitu:

 

  1. Pasar Tenaga Kerja Fleksibel

 

Dalam Perpu Cipta Kerja bagian umum disebutkan bahwa alasan dibutuhkannya penciptaan kerja salah satunya karena penduduk yang bekerja sebanyak 135,61 juta orang, di mana sebanyak 81,33 juta orang (59,97 persen) bekerja pada kegiatan informal.  Koalisi melihat bahwa alasan tersebut merupakan pembenaran atas adanya praktik-praktik hubungan kerja non-standar (informalisasi) yang sekarang menjadi tren seiring adanya disrupsi teknologi.

Lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) diatur dalam Peraturan Pemerintah, yakni PP No. 35 Tahun 2021. Dalam Pasal 6 PP No. 35 Tahun 2021 diatur PKWT dilaksanakan paling lama 5 (lima) tahun, sehingga membuat kepastian Hak atas Pekerjaan semakin dijauhkan bagi para pekerja/buruh.

 

  1. Politik Upah Murah

Sebagaimana diatur Pasal 88C ayat (3) UU/Perppu Cipta Kerja dan Pasal 25 ayat (2) dan PP No. 36 Tahun 2021, skema kebijakan pengupahan yang dirumuskan merujuk pada kepentingan pelaku usaha, khususnya kondisi bisnis perusahaan dan juga pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. Padahal, kebijakan pengupahan mestinya merujuk pada kondisi obyektif dan riil pekerja. Upah pekerja diproyeksikan agar pekerja dan keluarganya mendapatkan upah yang layak untuk penghidupannya, sehingga kehidupan lebih sejahtera.

Kondisi tersebut menunjukkan UU/Perppu Cipta Kerja meletakkan kebijakan pengupahan sebagai sebuah ongkos produksi yang menjadi beban bagi perusahaan. Dengan dalih dan tuduhan tanpa dasar yang menyebutkan bahwa ongkos upah di Indonesia cenderung mahal dan membuat investor enggan berbisnis di Indonesia. Koalisi menilai Perpu Cipta Kerja melegitimasi kebijakan politik upah murah di Indonesia.

 

  1. Perluasan Sistem Outsourcing

Perpu Cipta Kerja masih mengatur ketentuan alih daya (outsource) yang sama dalam UU Cipta Kerja juga masih mengatur mengenai istilah alih daya dalam Pasal 81 angka 18 dan 20 memperjelas legitimasi atas penerapan sistem outsourcing. Jika melihat UU Ketenagakerjaan, pekerjaan alih daya dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi.

Namun dalam Perpu Cipta Kerja tidak ada lagi penjelasan ketentuan yang mengatur batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dapat dialih daya. Sehingga, Perpu ini dapat memberi peluang bagi perusahaan alih daya untuk dapat memberikan pekerjaan kepada pekerja berbagai tugas hingga tugas yang ranahnya bersifat bukan penunjang.

Gebrak pun menilai sistem ini justru dapat membuat membuat sistem alih daya menjadi tidak terkontrol. Apalagi Pasal 64 Perpu Cipta Kerja yang semula dihapus dalam UU Cipta Kerja, sekarang diatur bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis dan ketentuan lebih lanjut akan dituangkan dalam PP.

 

  1. Ancaman bagi Lingkungan Hidup dan Perampasan Wilayah Adat

 

Pada sektor lingkungan, terdapat perubahan ketentuan mengenai AMDAL dan kemudahan izin usaha yang mengancam lingkungan hidup. Baik UU Cipta Kerja maupun Perpu Cipta Kerja memodifikasi beberapa ketentuan di dalam UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebanyak 27 pasal diubah, 4 ditambahkan, dan 10 pasal dihapus. Ada tujuh pasal yang memberikan ketentuan lebih lanjut dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan menteri.

Pemerintah beranggapan tidak ada perubahan signifikan terkait konsep dan ketentuan mengenai AMDAL, yang dilakukan hanya penyempurnaan dalam rangka memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk mendapatkan persetujuan lingkungan. Padahal apa yang diatur dalam UU Cipta Kerja cukup membuat kesaktian AMDAL hilang. Sebab, fungsi AMDAL tidak lagi sebagai upaya preventif sehingga dapat menurunkan kualitas lingkungan serta terdapat penghilangan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan dan pelaksanaan dari AMDAL.

 

Kemudian berdasar Pasal 36 angka 3 Perpu Cipta Kerja juga mengubah Pasal 19 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur alih fungsi kawasan hutan. Perubahan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah yang didasari hasil penelitian terpadu, pada Perppu Cipta Kerja merubah kata “didasari” dengan “mempertimbangkan”. Hal ini membuktikan pelemahan terhadap hak partisipatif masyarakat dalam bentuk penelitian dalam mempertahankan kawasan hutan tersebut hanya dijadikan bahan pertimbangan saja bukan suatu hal yang mutlak bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan alih fungsi kawasan hutan.

 

Substansi dari Perpu Cipta Kerja yang memperluas dan memperkuat ancaman perampasan wilayah diantaranya adalah soal kawasan hutan. Perpu Cipta Kerja mengadopsi UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 18 UU Kehutanan. Aturan itu menghapus ketentuan batas minimal luas kawasan hutan yang harus dipertahankan semula 30 persen dari DAS dan atau pulau untuk mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat.

 

Adanya pasal “pemutihan” seperti Pasal 110A baik dalam UU Cipta Kerja maupun Perpu Cipta Kerja yang tidak memberi sanksi pidana bagi pelaku usaha di kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan, yang telah beroperasi sejak sebelum aturan berlaku serta pemberian waktu bagi pengusaha hingga 2 November 2023 untuk menyelesaikan persyaratan. Kemudian, masih adanya potensi kriminalisasi masyarakat adat & pembela lingkungan hidup dalam Pasal 162 Perpu Cipta Kerja bagi yang menolak kegiatan pertambangan.

 

  1. Beroperasinya Lembaga Inkonstitusional Badan Bank Tanah

 

Sama seperti UU Cipta Kerja, Bank Tanah dalam Perpu Cipta Kerja diatur pada Pasal 125-135. Bank Tanah tidak ubahnya lembaga penyedia tanah bagi pelaku usaha dan menyelewengkan objek reforma agraria. Bank Tanah kembali menghidupkan asas kolonial domein verklaring dan menyimpangi hak menguasai dari negara (HMN) melalui Hak Pengelolaan (HPL). Maka model dan cara kerja Bank Tanah bertentangan dengan Konstitusi dan UUPA 1960.

Gebrak menilai operasional Bank Tanah berpotensi besar menimbulkan korupsi institusional karena sarat akan tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan.

Bank Tanah juga akan semakin memasifkan liberalisasi tanah dan menghadirkan berbagai persoalan agrarian, di antaranya, kemudahan perampasan tanah (land grabbing) dalam mengkonsolidasikan tanah untuk kepentingan investasi, dan Proyek Strategis Nasional (PSN).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tak menampik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja merupakan kelanjutan dari Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai inkonstitusional oleh MK dan diamanatkan untuk diperbaiki sampai November 2023.

“Namun kita ketahui bahwa saat sekarang ini kan dunia menghadapi ketidakpastian, baik itu dari segi perang yang belum usai, kemudian pengaruh dari climate change dan bencana, kemudian krisis, baik itu di sektor pangan, di sektor energi, maupun di sektor keuangan,” kata Airlangga melalui keterangan resmi, Selasa, 10 Januari 2023.

Menurut dia, berbagai lembaga internasional telah memprediksi kondisi perekonomian tahun 2023 akan diliputi dengan ketidakpastian yang tinggi. Karena itu, Perpu Cipta Kerja dirilis dengan dalih langkah antisipatif pemerintah untuk menghadapi ketidakpastian perekonomian tahun ini sekaligus menjamin terciptanya kepastian hukum.

Airlangga menilai Perpu Cipta Kerja penting, terutama menyangkut kepentingan investasi yang tahun ini ditargetkan mencapai Rp 1.400 triliun.

Keberadaan Perpu Cipta Kerja yang telah dikonsultasikan dengan DPR tersebut, kata dia, dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif sekaligus mendorong penambahan lapangan pekerjaan.

Exit mobile version