Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Faisal Basri Sebut Kebijakan Pemerintah Soal Minyak Goreng Kurang Tepat

Foto ilustrasi sejumlah warga membeli minyak goreng curah di pasar murah yang diadakan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Malang di Pasar Pakisaji, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis (2/2/2023) / tribunnews

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tata niaga minyak goreng selama ini dinilai tidak tepat.

Kebijakan-kebijakan yang tidak tepat itu, enurut ekonomi senior, Faisal Basri, yang akhirnya memicu krisis minyak goreng di berbagai daerah seperti terjadi di 2022 lalu.

Ia mencontohkan intervensi yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi krisis minyak goreng pada tahun lalu dinilai sebagai kebijakan yang keliru.

Kebijakan pemerintah menerapkan harga eceran tertinggi (HET) maupun pembatasan ekspor crude palm oil (CPO) melalui peraturan domestic market obligation (DMO) justru menjadi pemicu kelangkaan minyak goreng di mana-mana.

“Intervensi pemerintah seharusnya dilandasi unsur-unsur dasar perumusan kebijakan, termasuk mengukur dampak dari kebijakan tersebut. Peraturan HET untuk minyak goreng kemasan dan kewajiban DMO untuk eksportir CPO justru menambah hambatan dan mendistrorsi pasar,” ujar Faisal Basri saat memberi keterangan sebagai saksi ahli dalam sidang perkara dugaan kartel minyak goreng di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dikutip Jumat (17/2/2023).

“Kebijakan yang berubah-ubah ini juga menimbulkan ketidakpastian yang menyebabkan kelangkaan di pasar,” imbuhnya.

Menurut Faisal, ketika pemerintah menerapkan HET minyak goreng kemasan, kemudian muncul disparitas karena harga yang ditetapkan jauh di bawah harga pasar.

Artinya, produsen dipaksa untuk menjual rugi. Produsen yang hanya memproduksi minyak goreng mungkin akan tetap berproduksi selama masih bisa menutupi variable cost.

Namun, jika berlangsung lama, perusahaan tersebut akan tutup karena tidak bisa lagi menutupi biaya produksi.

Sementara perusahaan-perusahaan sawit yang lebih terintegrasi dan punya alternatif, mereka akan mengalihkan produksinya ke oleochemical atau biodiesel karena ada jaminan harga atau subsisi dari pemerintah.

“Kebijakan HET juga menyebabkan harga minyak goreng kemasan menjadi murah dibandingkan harga minyak curah,” ungkap Faisal Basri.

Hal ini memicu shifting di masyarakat dari minyak curah ke minyak kemasan, seperti halnya terjadi ketika pemerintah menurunkan harga pertamax.

Sementara, produksi relatif tetap, sehingga terjadi ketimpangan antara permintaan dan pasokan alias terjadi shortage.

Dengan demikian, kebijakan HET itu hanya efektif apabila pemerintah memiliki stok cadangan untuk menjamin barang tersedia di pasar.

“Dalam kasus minyak goreng, pemerintah tidak punya stok,” kata Faisal Basri.

Exit mobile version