SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Fenomena keluarga miskin di Sragen semakin bertambah setiap tahunya, bahkan kabupaten Sragen menjadi daerah penyumbang angka kemiskinan 2 paling bawah setelah Wonogiri di Solo Raya untuk provinsi jawa tengah.
Namun, fenomena kemiskinan di Sragen di-era kepemimpinan bupati Yuni telah dilakukan berbagai upaya terus dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen untuk menekan angka kemiskinan. Namun upaya tersebut tidak gampang, dan kadang mendapat tentangan dari masyarakat itu sendiri.
Usut punya usut, terungkap fakta baru warga miskin di Sragen ternyata enggan menerima bantuan pembuatan jamban dari pemkab. Alasannya, jika menerima bantuan tersebut, nantinya mereka tidak termasuk kategori miskin lagi, dan tidak mendapat bantuan sosial lain dari pemerintah.
Padahal program jambanisasi merupakan satu di antara upaya pemerintah meningkatkan kesehatan sekaligus pengentasan kemiskinan.
“Serba salah memang, mau dibantu tapi warga menolak. Mereka khawatir kalau punya jamban, tidak masuk kategori miskin lagi dan tidak dapat bantuan sosial dari pemerintah,” kata Bupati Sragen, Kusdinar Untung Yuni Sukowati, Jumat (17/3/2023).
Selain itu, Yuni juga membeberkan, sejumlah warga miskin yang menolak bantuan tersebut salah satunya di Desa Kadipiro, Kecamatan Sambirejo, Sragen.
“Memang pengentasan kemiskinan ekstrem di Sragen harus melalui jalan berliku. Butuh kesabaran untuk merayu warga agar mau dientaskan dari kemiskinan,” bebernya.
Selain penolakan itu, Yuni menyampaikan pemerintah juga masih terkendala validasi data terkait angka kemiskinan. Masih ada PNS, TNI, Polri, serta masyarakat mampu, masuk dalam Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) sehingga masih menerima bantuan. Selain itu, pemahaman masyarakat dan pola pikir masyarakat terhadap kemiskinan harus diubah.
Dia mengatakan, ada warga yang enggan menerima bantuan agar tetap menerima bantuan sosial lain.
“Kemarin, terjadi di Desa Kadipiro. Ada satu warga membutuhkan jamban, kemudian penerima mengatakan, kalau dapat (bantuan) jamban saja nanti malah nggak dapat bantuan lagi. Pola pikir dan mindset dari warga yang seperti itu menjadi PR utama bagi pemkab,” tandas Yuni.
Pemahaman masyarakat ada yang meyakini jika sudah dinyatakan mampu berarti tidak akan mendapatkan bantuan lagi sehingga, pada saat assessment, cenderung tidak mengatakan yang sesungguhnya. Yuni mengatakan, pihaknya berusaha memvalidasi data secara door to door atau dari rumah ke rumah agar keakuratan data bisa terwujud.
Masalah lain juga ditemukan di Desa Cemeng, Kecamatan Sambungmacan. Menurutnya, ada warga sudah mampu akan dikeluarkan dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Namun, petugas di lapangan mengalami penolakan warga.
“Sama, karena biasanya kalau sudah dinyatakan mampu, tidak mendapatkan bantuan lagi dan itu agak sulit untuk bisa diberikan pemahaman kepada masyarakat miskin di sragen,” ujarnya.
Huri Yanto