WONOGIRI, JOGLOSEMARNEWS.COM – Berbicara mengenai masjid Gunung Cilik atau Sabiilul Muttaqin di Dusun Pakem Sumberagung Pracimantoro Wonogiri seakan tidak ada habisnya.
Selain awal pembangunan yang masih misteri, juga ada sejumlah kisah tak masuk nalar melingkupi keberadaan masjid Gunung Cilik di Pakem Sumberagung Pracimantoro Wonogiri.
Di samping itu terdapat sedikitnya tiga makan keramat kuno tak jauh dari lokasi masjid Gunung Cilik di Pakem Sumberagung Pracimantoro Wonogiri.
Takmir Masjid Gunung Cilik, Sutomo, Sabtu (1/4/2023) membeberkan, tiga makam itu adalah makam Mbah Guntur Geni atau Nerangkusumo, makam Mbah Kajoran atau Mentokusumo dan Mbah Jlubang atau Sutokusumo. Tiga makam itu berada di Dusun Pakem, namun lokasinya berpencar.
“Kemungkinan keberadaan makam-makam itu ada kaitannya dengan masjid Gunung Cilik di Pakem Sumberagung Pracimantoro Wonogiri ini. Tapi memang belum ada bukti sejarah tertulisnya,” ungkap Sutomo.
Sutomo dan masyarakat di sana tidak bisa memastikan kapan ketiga tokoh yang dimakamkan itu tinggal di wilayah Pakem. Namun, pada saat masjid Gunung Cilik di Pakem Sumberagung Pracimantoro Wonogiri ditemukan oleh warga, jumlah rumah yang ada di Pakem baru delapan unit.
“Kalau makam itu kemungkinan ada kaitannya dengan masjid, berarti mereka (Guntur Geni, Jlubang dan Kajoran) lebih dulu dibandingkan warga yang menempati delapan rumah tadi,” ungkap Sutomo.
Menurut Sutomo, makam-makam itu banyak didatangi oleh peziarah. Menariknya, justru peziarah yang datang ke makam itu berasal dari daerah di luar Pracimantoro. Di antaranya Semarang, Cirebon dan lain-lain.
“Yang dari Cirebon itu malah dari Kasepuhan Cirebon. Rombongan banyak yang datang dari Semarang. Kalau ke sini ada yang rombongan dan ada yang sendiri. Sampai sekarang masih ada yang berziarah. Dan kebanyakan orang Islam, sesuai tata cara Islam,” tutur Sutomo.
Sutomo menceritakan, orang-orang yang dimakamkan itu dulunya dianggap orang yang memiliki kelebihan. Misalnya, Mbah Guntur Geni. Mbah Guntur Geni hanya mandi satu tahun sekali, tepatnya pada malam Satu Suro. Disebut Guntur Geni karena mandi dengan api.
“Pernah katanya ada orang mengintip Mbah Guntur Geni. Ternyata beliau menyiapkan kayu dan dinyalakan menggunakan api. Kemudian ia masuk ke kobaran api itu. Setelah api padam, Mbah Guntur Geni keluar seperti sedia kala,” terang Sutomo.
Selain itu, kata Sutomo, Mbah Guntur Geni juga mempunyai keahlian menjalankan brujul sawah saat menanam padi. Hanya dengan mengetuk brujul, apa yang dibutuhkan saat brujul datang sendiri.
“Ya petilasannya tiga itu di sekitar Masjid Gunung Cilik. Sepertinya ada sangkut pautnya dengan masjid ini. Memang buktinya belum ada. Karena hanya kitab arab saja bukti sejarahnya yang ditemukan,” tutur Sutomo.
Berdasarkan penelusuran melalui Wikipedia Pakem berawal dari adanya sekelompok orang yang saat itu terdiri dari 8 keluarga yang tinggal dan menetap di suatu lembah yang banyak tumbuh pohon pisang sehingga tempat itu disebut Gedangan atau kebun pisang. Konon Gedangan adalah cikal bakal berdirinya Desa Sumberagung Kecamatan Pracimantoro Wonogiri.
Prakiraan adanya peradaban yang pada akhirnya menjadi Dusun Pakem diperkirakan pada pertengahan abad ke-14. Sebuah sumber menceritakan bahwa kehidupan yang dijalankan sekelompok orang Gedangan bahwa mereka hidup dengan bercocok tanam, sedangkan perihal kehidupan spiritual mereka menganut aliran kepercayaan.
Setelah kehidupan sekelompok orang Gedangan berjalan beberapa kurun waktu, diperkirakan pada pertengahan abad ke 15 datanglah tiga orang pengembara yang ternyata mereka adalah para bangsawan dari Kerajaan Majapahit masing-masing bernama Kyai Kajoran (Pangeran Mentokusumo), Kyai Jlubang (Pangeran Sutokusumo) dan Kyai Guntur Geni (Pangeran Nerangkusumo).
Ditengah Gedangan terdapat sebuah gunung kecil/cilik sehingga disebut Gunung Cilik. Letaknya sangat strategis sehingga difungsikan oleh ketiga orang pengembara tersebut sebagai tempat untuk sarasehan(pertemuan). Lama-kelamaan banyak didatangi warga masyarakat, dengan maksud ingin mengetahui kegiatan apa yang dilakukan ketiga pengembara tersebut.
Mereka menyampaikan wejangan(ajaran) yang menurut sebagian tokoh masyarakat disimpulkan sebagai sebuah bentuk syiar Agama Islam, tetapi ada juga yang berpendapat lain mengingat ketiga bangsawan berasal dari Kerajaan Majapahit yang notabene bukan pemeluk Islam.
Dari aktivitas masyarakat inilah sering muncul kata “Pakem” yang berarti pedoman. Seiring berjalannya waktu makin banyak masyarakat yang datang dan menetap disitu maka terbentuklah sebuah dusun yang bernama Pakem. Aris Arianto