![2303 - lukas enembe](https://i0.wp.com/joglosemarnews.com/images/2023/03/2303-lukas-enembe-jpg.webp?resize=640%2C360&ssl=1)
JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Buntut dari selalu ditundanya sidang praperadilan yang dilayangkan pihaknya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tersangkankasus suap, Lukas Enembe mengirimkan surat kepada ketua dan anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Isinya adalah meminta Dewas agar menegur KPK yang terus menunda sidang praperadilan.
Kuasa hukum Lukas Enembe, O.C. Kaligis, mengatakan, surat yang ditujukan khusus kepada Anggota Dewan Pengawas KPK Indriyanto Seno Adjie, meminta Dewas menegur pihak KPK agar menaati hukum acara yang diatur KUHAP dalam menghadapi gugatan praperadilan yang dilayangkan pengacara.
“Saya yakin dibentuknya KPK untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana diperintahkan oleh Undang-Undang. Khususnya dalam hal penahanan, KPK selalu mengacu pada KUHAP,” kata Kaligis dalam keterangan tertulis, Jumat (14/4/2023).
Padahal, kata dia, ketika pihaknya menggugat praperadilan KPK, KPK selalu tunduk pada apa yang diatur KUHAP. Dalam Pasal 82 (1) a jelas diatur, ”Dalam waktu 3 hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang”, dan dalam Pasal 82 (1) c, juga secara terang diatur, ”Pemeriksaan tersebut, dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya 7 hari, hakim harus sudah menjatuhkan putusannya”.
Dari ketentuan tersebut, Kaligis mengatakan setiap orang wajib menaati tenggang waktu acara pemeriksaan praperadilan dalam waktu 7 hari kerja.
“Tetapi yang terjadi akhir-akhir ini, setiap kali pemohon mengajukan permohonan praperadilan, KPK meminta tunda minimal 2-3 minggu. Kalau seperti itu, yang terjadi adalah lewat waktu tujuh hari, yang dipersyaratkan KUHAP, yang akibatnya, hakim tidak lagi berwenang untuk memutus, karena sudah di luar wewenang hakim untuk memutus,” kata Kaligis.
Selain itu, untuk menggugurkan permohonan praperadilan tersebut, dalam waktu tiga minggu itu KPK langsung melimpahkan berkas perkara pemohon ke pengadilan.
“Sehingga hakim, tidak lagi berwenang memutus permohonan praperadilan yang diajukan pemohon,” tukas Kaligis.
Menurutnya, penundaan tiga minggu sampai satu bulan yang diminta KPK itu selalu dikabulkan hakim.
Pasalnya, kata Kaligis, apabila menolak maka pribadi hakim akan dibongkar KPK, mulai dari hakim yang bersangkutan berkarier menjadi hakim, sampai mengarah dan dipertanyakan asal kekayaan dan kehidupan pribadinya.
“Ini kebiasaan KPK untuk menghancurkan pribadi hakim, sehingga hakim selalu mengikuti permintaan KPK dalam menunda sidang,” ujar Kaligis.
Ia mengatakan menyurati Indriyanto Seno Adjie karena ketika Indriyanto menjadi saksi ahli dalam perkara Bibit-Chandra di tahun 2009, pernah memberikan pendapat ahli bahwa bila hukum acara dilanggar, itu termasuk kejahatan jabatan dan melanggar Pasal 421 KUHP.
Menurut dia, pendapat Indriyanto ini sama dengan pendapat ahli lainnya, Dr. Chairul Huda, Prof. Philipus Hadjon, dan Prof. Nyoman Sarikat P.J.
“Kenapa kami memberikan memberikan masukan ini ke Dewan Pengawas, agar dalam rangka pengawasan, Dewan Pengawas menegur pihak KPK, yang terlibat di dalam proses praperadilan, agar memberikan contoh menaati hukum acara sebagaimana diatur dalam Pasal 82 (1) c KUHAP,” ujar Kaligis.
Selain itu, pihaknya juga keberatan dalam proses pendampingan tersangka. Penyidik KPK hanya mengizinkan tersangka didampingi hanya satu penasehat hukum.
“Padahal bila didampingi dua penasehat hukum, dapat dengan mudah menyaksikan pertanyaan-pertanyaan yang menjebak, tekanan-tekanan yang diberikan penyidik, dan mohon juga hal ini jadi perhatian Dewan Pengawas, karena hadirnya dua penasehat hukum tidak dilarang KUHAP,” kata Kaligis.
Lukas Enembe mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, perpanjangan penahanan, dan penyidikan, yang dilakukan KPK ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, melalui kuasa hukumnya, Tim Hukum dan Advokasi Gubernur Papua (THAGP) di Jakarta, pada Rabu, 29 Maret 2023.
Lukas Enembe ditetapkan tersangka suap dan gratifikasi oleh KPK atas dugaan penerimaan suap senilai Rp 1 miliar dan gratifikasi lain yang mencapai Rp 10 miliar. Suap dan gratifikasi yang diduga diterima Lukas Enembe tersebut diberikan oleh Rijantono Lakka yang kini berstatus tersangka. Suap itu bertujuan agar perusahaan miliknya, PT Tabi Bangun Papua, dimenangkan dalam proyek tender jangka panjang bernilai Rp 41 miliar.