Beranda Umum Opini JANGAN NOTORIOUS : JIKA INGIN TERKENAL

JANGAN NOTORIOUS : JIKA INGIN TERKENAL

Khafid Sirotudin. Foto: dok

 

Oleh : Khafid Sirotudin*

Ada pepatah Timur Tengah yang mashur, artinya : “Jika ingin terkenal, kencingi sumur zam-zam”. Dijamin dalam waktu sekejap anda akan menjadi orang terkenal se antero negeri. Tapi taruhannya tinggi : keselamatan badan, jiwa bahkan nyawa.

Orang Barat mengenal istilah “Notorious”. Yakni untuk menyebut seseorang yang ingin terkenal karena perilaku buruk, tindak kejahatan dan laku tuna etika lainnya.

Hari-hari terakhir menjelang penentuan lebaran Idul Fitri 1444-H, hingga 4 Syawal (menurut Muhammadiyah) warga persyarikatan mendapat anugerah “qodaran” yang membuatnya makin dikenal (viral). Kalau yang ini bukan terkenal karena telah berbuat dzalim (baca : tidak adil) tetapi karena sikap Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang tetap arif bijaksana, sabar, berpikir jernih, bersahaja namun tegas dalam memedomani Paham Islam Menurut Muhammadiyah.

Apalagi masih dalam suasana Idul Fitri. Di mana umat, bangsa dan masyarakat sedang merayakan lebaran, mudik berkumpul keluarga, saling memaafkan dan menyambung kasih sayang (silaturahmi). Semua sepakat bahwa Idul Fitri jatuh pada tanggal 1 Syawal 1444-H dan tanggal 21 April 2023 adalah peringatan Hari Kartini. Soal sebagian warga Muslim ada yang shalat Ied hari Kamis, Sabtu atau Jumat sebagaimana Muhammadiyah, hanya soal metode penentuan tanggal saja.

Cara awam paling gampang— menurut saya—ya tunggu saja nanti pas malam Bulan Purnama di bulan Syawal ini. Siapakah yang benar : apakah yang berlebaran hari Kamis, Jumat atau Sabtu. Sayangnya bulan tidak bisa ngomong apalagi posting di sosmed. Coba kalau bulan bisa ngomong, pasti dia tidak akan pernah bohong.

Suatu pagi saya pernah datang silaturahmi idul fitri ke rumah Ketua PWM Jateng, Dr. KH. Tafsir, M.Ag. Rupanya rumah masih kosong penghuni. Tidak berapa lama Beliau datang, ternyata baru saja menjadi Khatib shalat Ied di Masjid Jami’ kompleks perumahan.

“Assalamualaikum, sudah lama mas”, sapanya sambil bersalaman.

“Nembe sakuntawis pak (belum begitu lama)”, jawab saya.

“Pak Tafsir lebaran hari ini”, tanya saya.

“Kemarin sudah menjadi Imam dan Khatib shalat di lapangan. Sebagai Pembina Takmir Masjid saya diminta menjadi khatib shalat Ied hari ini”, jawabnya santai.

Belum sempat saya komentari, beliau menambahkan : “Yang tidak shalat Ied saja boleh datang ke lapangan, mosok sholat sunnah Ied 2 kali malah dipermasalahkan”.

Saya pun tersenyum mendengar penjelasan cerdik beliau.

 

Satu Hulu Dua Metoda

Mendadak jagat netizen, jamiyyah WhatAppiyah, Youtubiyyah dan Sosmediyah tanah air ramai atas postingan Surat Penolakan Walikota Pekalongan dan Sukabumi meminjamkan lapangan kepada Muhammadiyah setempat untuk shalat Ied. Meski akhirnya diperbolehkan oleh Walikota masing-masing setelah jagat alam maya penuh dengan tanggapan dan cibiran atas kebijakan yang tidak bijak itu. Menteri Agama pun sigap memberikan surat edaran dan himbauan agar Kepala Daerah memfasilitasi umat Islam yang berlebaran hari Jumat, 21 April 2023.

Hari ke-3 Syawal (versi pemerintah), publik kembali ramai atas postingan oknum ASN BRIN yang menuliskan “ancaman pembunuhan” terhadap warga Muhammadiyah. Berbagai kalangan warga persyarikatan, petinggi BRIN hingga PP Muhammadiyah akhirnya bersikap dengan mengadakan konperensi pers. Suasana lebaran menjadi gaduh dan berhulu pada perbedaan ijtihad terkait penentuan 1 Syawal.

Dari berbagai sumber terpercaya, kami mendapatkan “anecdotal record” profil APH oknum ASN BRIN yang memacu kegaduhan lebaran kali ini, yang awalnya terpicu oleh komentar oknum peneliti seniornya di BRIN.

Ternyata APH masih belia, seumuran anak sulung kami. Belum genap 30 tahun dan baru 3 tahun menjadi ASN. Kami menjadi mafhum setelah kolega di BRIN menyampaikan bahwa yang bersangkutan ada “problem psikologis” dan akan segera diperiksa oleh Komite Etik ASN. Menarik apabila publik menanyakan : tidakkah seleksi ASN mensyaratkan seseorang lolos tes kejiwaan (psychotest).

Sementara AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah) dari berbagai wilayah telah bergerak melaporkan yang bersangkutan ke aparat berwajib untuk segera diproses sesuai Peraturan dan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.

Mari sama-sama kita tunggu dengan penuh kesabaran, keadilan dan keadaban atas kelanjutan kisah oknum ASN BRIN itu. Pepatah Jawa mengatakan : “Yen wedi ojo wani-wani. Yen wani ojo wedi-wedi. Lamun wani ojo ngisin-ngisini (Kalau takut jangan sok berani. Kalau berani jangan pernah takut. Andaikan berani jangan memalukan)”

 

Budaya Beragama

Sebagai orang Jawa-Muslim, kami bersyukur dilahirkan dari keluarga besar berlatar dua Ormas Islam terbesar di negeri ini. Ormas yang berdiri sejak sebelum Indonesia Merdeka dan tidak pernah lelah berbuat mengabdikan diri demi keutuhan dan kemajuan NKRI. Bapak dari keluarga besar NU (1926) dan Ibu dari keluarga Muhammadiyah (1912).

Secara budaya keagamaan keluarga kami sudah biasa “hidup rukun dalam perbedaan”. Berbeda awal puasa Ramadhan, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Bahkan untuk jamaah shalat Subuh keseharian biasa menjalani berbeda. Kalau Subuhan di mushola NU dekat rumah pakai qunut, jika jamaah di masjid Muhammadiyah tanpa qunut.

Seringkali umat Islam— khususnya warga NU dengan Muhammadiyah—dibenturkan oleh masalah furukiyah. Cemeti politik identitas devide et impera warisan kompeni. Di abad IT saat ini, situasi dan kondisi diperparah tingkah polah cultural-lag (gegar budaya) dan civilization-gap (kesenjangan peradaban) oleh “oknum-tokoh” yang seringkali tidak memiliki otoritas keagamaan mumpuni.

Menjadikan sosmed sebagai wahana “ahlul-ghibah wal-jamaah” dan tidak jarang sebagai sarana “ahlul-fitnah berjamaah (hoax)”. Bukankah Muhammadiyah dan NU  didirikan oleh 2 orang ulama yang memiliki “sanad ilmu” dan “sanad nasab” (dzuriyah) yang sama hingga Nabi saw.?

 

Hari kemarin, keluarga besar Istri dari trah Bani Ramli mengadakan pertemuan tahunan di Kulonprogo. Hari ini ada pertemuan keluarga trah Bani Hamid Dawuh di Kartasura-Sukoharjo. Sudah menjadi kesepakatan “Sesepuh-Pinisepuh” dzuriyah masing-masing bahwa pertemuan tahunan diadakan H+2 Idul Fitri (versi pemerintah) dan satunya H+2 Lebaran (versi Muhammadiyah).

Karena tahun ini lebaran berbeda, hikmahnya kami sekeluarga bisa menghadiri pertemuan tahunan keduanya. Jika hari lebaran sama, ya kami bagi dua kloter. Satu kloter dengan saya, satu kloter dengan istri saya. Perbedaan itu Sunatullah dan Rahmat bagi keluarga kami.

Wallahua’lam

 

*) Penulis adalah warga MuhammadiNU Weleri