Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Petani Tembakau Bakal Dirugikan, Vita Ervina Minta Pemerintah Batalkan  Pasal yang Samakan Tembakau dengan Narkotika di RUU Kesehatan

Pasal tembakau RUU Kesehatan

Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Vita Ervina / Foto: Satria

TEMANGGUNG, JOGLOSEMARNEWS.COM Nasib petani tembakau menjadi fokus perhatian oleh anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDIP, Vita Ervina.

Pasalnya, nasib petani bakal kurang diuntungkan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan yang tengah digodok oleh DPR dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Ia meminta pemerintah untuk membatalkan salah satu pasal yang mengatur tembakau dalam RUU Kesehatan. Sebab di pasal tersebut, tembakau disamakan dengan narkotika dan minuman keras (Miras) dan kini menjadi polemik di tengah masyarakat.

Kekhawatiran pun muncul pada sektor industri tembakau di Indonesia, terutama pada para petani tembakau.

Vita Ervina secara tegas menolak atas masuknya pasal yang menyetarakan tembakau dengan narkotika pada RUU Kesehatan.

Ia menilai, tembakau tidak bisa disamakan dengan narkotika. Menurutnya, menyamakan tembakau dan narkotika dalam satu definisi kelompok zat adiktif, hal itu terlalu berlebihan.

“Tembakau adalah tanaman yang legal. Produksinya, peredaran dan penggunaannya pun legal. Nikotin yang terkandung dalam tembakau merupakan zat adiktif yang sah, begitupula zat adiktif pada kafein yang terdapat di kopi, teh dan minuman energi,” tegas Vita saat dihubungi JOGLOSEMARNEWS.COM , Senin (8/5/2023).

Lebih detail, sebagai anggota DPR RI dari Dapil Jateng VI yang berada di daerah sentra penghasil tanaman tembakau yaitu Temanggung, Wonosobo dan Magelang, dirinya menyatakan bahwa jika RUU itu disahkan, maka petani tembakau yang akan terkena dampaknya.

Menurut Vita,  RUU Kesehatan, utamanya di pasal tersebut  tidak menunjukkan adanya keberpihakan kepada rakyat, terutama kepada para petani tembakau.

Ia menjelaskan, petani tembakau adalah salah satu penyumbang devisa. Tembakau memberikan konstribusi yang sangat besar bagi perekonomian nasional.

Penerimaan APBN dari cukai rokok pada tahun 2023 mencapai Rp 218 triliun. Jika ditambah dengan pajak tembakau, bisa mencapai Rp 280 triliun.

Hal tersebut, jelas Vita, menunjukkan bahwa tembakau memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi negara.

Vita menyebut, pertanian tembakau merupakan salah satu sektor yang menggerakkan perekonomian dari bawah. Terdapat sekitar 6,1 juta orang yang terlibat dalam rantai pertanian tembakau.

“Negara tidak boleh menutup mata terhadap konstribusi petani tembakau. Itu bukan angka kecil. Saya meminta pasal tembakau untuk dihilangkan, karena sudah ada aturannya. Aturan yang ada saja sudah ketat, tinggal ditegakkan saja PP yang sudah ada,” tegasnya.

 

“Saya berharap RUU Kesehatan yang disusun tidak menimbulkan kerugian bagi ekosistem industri hasil tembakau dan tetap menjaga keseimbangan antara kepentingan kesehatan dan aspek kesejahteraan ekonomi masyarakat,” sambung Vita Ervina yang terpilih dari Dapil VI Jateng meliputi Kabupaten Temanggung, Wonosobo, Magelang, Purworejo dan Kota Magelang ini.

Vita menegaskan, tidak setuju dengan dimasukkannya tembakau atau produk tembakau ke dalam klausul zat adiktif.

Pasalnya,  tembakau dan zat adiktif lainnya seperti psikotropika dan alkohol, memiliki karakteristik yang berbeda secara hukum dan sosial.

Menurut dia, meski sama-sama mengandung zat adiktif namun adiksinya berbeda secara signifikan dan ada perbedaan yang mendasar antara tembakau dengan narkotika.

“Zat adiktif pada rokok tidak sebanding dengan zat adiktif yang terdapat pada narkotika seperti morfin, heroin, kokain dan ganja. Sangat berbahaya jika disamakan dengan narkotika,” ujarnya.

Vita juga menguraikan, di dalam RUU yang tengah digodok DPR dan Kemenkes di antaranya yang paling menonjol adalah pasal 154 tentang ruang lingkup zat adiktif pada hasil olahan tembakau.

Mengingat, dalam draft usulan RUU Kesehatan tersebut, khususnya Pasal 154 Ayat 3 tertulis zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 dapat berupa: (a) narkotika; (b) psikotropika; (c) minuman beralkohol; (d) hasil tembakau; dan (e) hasil pengolahan zat adiktif lainnya.

Sehingga, lanjut Vita, pasal tersebut secara tegas menyamakan hasil olahan tembakau seperti sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, tembakau padat dan cair dengan zat adiktif yang terdapat dalam narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol.

Pasal kontroversial lainnya adalah Pasal 154 Ayat 5 yang berbunyi “Produksi, peredaran dan penggunaan zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat 3 huruf (d) dan huruf (e) harus memenuhi standar dan atau persyaratan kesehatan”.

Ia menilai mengapa hanya hasil tembakau dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya yang harus memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Sedangkan untuk narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol tidak disebutkan.

Menurut Vita, pasal ini jelas sangat diskriminatif dan berpotensi menimbulkan kriminalisasi bagi petani, pekerja, buruh, konsumen atau seluruh ekosistem Industri Hasil Tembakau (IHT).

Jika pasal ini diloloskan, maka itu sama saja memberi predikat buruk bahwa petani tembakau sama dengan petani ganja.

Mereka bahkan juga disebut sebagai penyebab penyakit hingga kematian yang menghabiskan paling banyak dana kesehatan.

“Jadi batalkan saja pasal tembakau yang samakan Narkotika dan Miras dalam RUU Kesehatan” tegas Vita. Satria Utama

Exit mobile version