Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Alm Didi Kempot Lebih Sering Pakai Blangkon Gaya Yogya atau Solo?

Didi Kempot mengenakan pakaian tradisional Jawa

Didi Kempot saat konser di Purbalingga pada tahun 2019. Didi Kempot selalu identik dengan pakaian tradisional Jawa dalam penampilannya, selaras dengan lagu-lagunya yang berbahasa Jawa. Tampak Didi Kempot mengenakan blangkon gaya Yogyakarta dengan sliwir di bagian belakang / Sumber foto: Wikipedia

SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM Penyanyi dan musisi kondang, Almarhum Didi Kempot, dalam setiap penampilannya selalu identik dengan blangkon, dan ini linier dengan lagu-lagunya yang berbahasa Jawa.

Blangkon yang dikenakan kadang dikombinasi dengan surjan, lurik atau jas bergaya Solo. Blangkon yang dikenakan Alm Didi Kempot pun berganti-ganti, kadang menggunakan blangkon gaya Yogyakarta, kadang bergaya Solo.

Blangkon merupakan salah satu komponen dalam pakaian tradisional Jawa. Namanya boleh saja sama, tapi antara blangkon Yogyakarta dan Solo, memiliki perbedaan bentuk dan ciri-cirinya.

Blangkon ternyata memiliki akar sejarah yang panjang, sejak era Sunan Kalijaga. Pada masa silam, para sunan dan penyebar agama Islam biasa menggunakan ikat kepala berupa sorban.

Sementara itu, masyarakat Jawa pada era yang sama biasa menggunakan kain ikat kepala. Sedangkan blangkon kurang lebih ditemukan pada masa penemuan baju takwa di era Sunan Kalijaga tersebut.

Dan pada saat itu, hanya Sunan Kalijaga satu-satunya tokoh yang mengenakan blangkon dan baju takwa. Hal ini berbeda dengan para wali lain yang mengenakan sorban dan jubah.

Jadi boleh dikatakan, blangkon merupakan simbol asimilasi budaya saat Islam masuk ke tanah Jawa dan Nusantara.

 

Makna Simbolis Blangkon

 

Blangkon memiliki makna simbolik yang bernilai luhur bagi masyarakat Islam Jawa. Ini beberapa simbol yang tertera dalam unsur-unsur blangkon.

 

Apa Beda Blangkon Yogya dan Solo?

Terjadinya perbedaan antara blangkon gaya Yogyakarta dan Solo menandai adanya revolusi budaya akibat perpecahan Mataram Islam, yang ditandai dengan adanya Perjanjian Giyanti antara Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi.

Blangkon gaya Yogyakarta (kiri) dan Blangkon Gaya Solo (kanan) / Sumber: Wikipedia, Tribunnews / kolase: Suhamdani

Kerajaan Mataram resmi terpecah di era Pakubuwono III ditandai dengan perjanjian Giyanti antara Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi.

 

Setelah perpecahan ini, Mataram dipisahkan menjadi Keraton Solo dan Keraton Yogyakarta. Revolusi tersebut juga mengakibatkan perubahan budaya yang ada di Jawa.

 

Mondolan

Cara paling mudah membedakan blangkon Yogyakarta dan Solo adalah adanya mondolan di bagian belakang. Mondolan, yang berbentuk benjolan seperti telor ini hanya dimiliki blangkon gagrak Yogyakarta.

Mondolan, pada mula-mulanya merupakan merupakan rambut yang diikat saat menutup kepala. Sementara pada era Blangkon Solo, masyarakat sudah mengenal cukur rambut yang diperkenalkan oleh kompeni.

Konon karena itulah mengapa mondolan hilang dari gaya blangkon Solo.

 

Warna Blangkon

Warna blangkon gagrag Solo dan Yogyakarta pun, jika diperhatikan lebih cermat, memiliki perbedaan. Warna blangkon Solo cenderung berwarna cokelat keemasan, dari jenis kain batik sogan.

Sementara itu, blangkon gagrak Yogyakarta memiliki warna hitam atau biru tua dengan aksen coklat tua maupun putih.

 

Bentuk Jebeh

Jebeh merupakan serbuk kayu yang diikat dengan kain yang digunakan untuk mengikat blangkon di bagian belakang. Jebeh gagrak Surakarta menggunakan bentuk segitiga, sementara gaya blangkon Yogyakarta menggunakan bentuk kupu-kupu.

 

Motif Blangkon

Motif blangkon antara gagrak Yogyakarta dan Solo juga memiliki ciri dan perbedaan. Motif turunan dari kedua jenis blangkon ini juga berbeda, blangkon solo memiliki motif keprabon, kesatrian, perbawan, dines dan tempen. Sementara itu, blangkon gagrag Yogyakarta biasanya bermotif kumitir dengan jenis kain sesuai motif batik yang digunakan.

 

Wiron

Wiron atau asal katanya wiru, merupakan lipatan kain pada blangkon. Pada awalnya dulu, wiru pada blangkon ini berjumlah 17 lipatan, sebagai simbol rakaat sholat umat Islam.

Namun  saat ini, jumlah lipatannya cenderung mengecil atau lebih sedikit. Bahkan, blangkon Solo umumnya hanya memiliki lipatan 1 sampai 3 saja. Uniknya, jumlah liputan wiru harus selalu ganjil. Hal yang sama berlaku untuk blangkon Yogyakarta, namun untuk blangkon Yognya, biasanya jumlah lipatannya lebih banyak.

 

Ketinggian Depan dan Belakang

Jika diperhatinan, pada saat dikenakan, blangkon Solo cenderung memiliki ketinggian yang sama antara bagian depan dan belakang. Sementara blangkon Yogyakarta terlihat lebih tinggi bagian depan, dan cara menggunakannya agak ditarik sedikit ke belakang.

 

Penggunaan Sliwir

Sliwir, atau sayap blangkon yang menjuntai paga bagian belakang, lebih banyak ditemukan pada blangkon gagrak yogyakarta.

Secara umum, sliwir atau kain panjang di bagian belakang blangkon umumnya hanya dijumpai di blangkon gaya Demak, Banyumasan dan Yogyakarta, sementara gaya Solo cenderung tidak menggunakan sliwir. [Suhamdani-berbagai sumber]

 

Exit mobile version