Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Dinasti Politik di Indonesia Jadi Sorotan 2 Media Internasional

Presiden Jokowi menyampaikan pidato saat ground breaking kompleks perkantoran Bank Indonesia di Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (2/11/2023) | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Isu dinasti politik yang diduga dimainkan oleh Keluarga Presiden  Joko Widodo (Jokowi) ternyata menjadi sorotan dua media internasional.

Salah satunya adalah media massa asal Jerman, Handesblatt. Media ini menyoroti manuver putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto di Pemilihan Umum 2024 sebagai politik dinasti.

“Menurut Handesbaltt, pencalonan Gibran dipandang sebagai bentuk politik dinasti itu merusak dan mematikan demokrasi di Indonesia,” kata Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis, melalui keterangan tertulis, Minggu (5/11/2023).

Kondisi kemunduran demokrasi di Indonesia juga diberitakan oleh Time, media Amerika Serikat.

Menurut Koalisi, kemunduran demokrasi di Indonesia yang disorot dua media internasional tersebut merupakan fakta persoalan politik yang nyata dan tak terbantahkan.

“Terutama jika mencermati dinamika politik elektoral jelang Pemilu 2024,” ujar Koalisi.

Koalisi menjelaskan, putusan menurunkan batas usia 40 tahun tidak membuka ruang bagi anak muda berkarya di dunia politik.

Namun khusus dihadiahkan bagi kepala daerah dengan atribusi usia di bawah 40 tahun. Dan hanya Gibran yang secara faktual dapat memanfaatkan tiket emas itu.

“Artinya, secara politik putusan itu ditujukan untuk kepentingan politik putra Presiden sendiri, yakni Gibran, agar lolos menjadi bakal cawapres,” tutur sejumlah organisasi itu.

Putusan MK, itu yang kontroversial menjadi tiket emas yang khusus disediakan kepada Gibran. Ini salah satu puncak gunung es, tutur organisasi tersebut, dari kemunduran demokrasi Indonesia.

Kemunduran demokrasi, menurut penjelasan Koalisi, telah banyak diangkat sejumlah pakar dan analis politik, baik dari dalam maupun luar negeri terutama berkaitan dengan menurunnya tingkat kebebasan sipil di Indonesia.

Adapun putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, dianggap sebagai konflik kepentingan karena Ketua MK Anwar Usman adalah paman Gibran. Orang yang mengabulkan putusan itu. Bukan hanya melanggar kode etik dan perilaku hakim, tapi itu bentuk intervensi dan manipulasi kekuasaan yang dilakukan secara telanjang dan terang-benderang.

“Kami memandang, apa yang terjadi di MK dalam putusan Perkara No. 90 tersebut, merupakan bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terang-benderang. Perkoncoan dan nepotisme  dilakukan penguasa untuk kepentingan keluarga dan bukan kepentingan bangsa,” kata organisasi tersebut.

Hal itu bertentangan dengan semangat Reformasi 1998 yang memandatkan pentingnya menolak segala bentuk nepotisme sesuai Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Juga termuat dalam Undang-Undang tentang KKN.

“Praktik nepotisme antara penguasa dan MK ini merupakan bentuk perusakan pada demokrasi dan hukum di Indonesia yang tidak bisa dibiarkan,” ujarnya. Dalam proses awal pemilu yang diwarnai putusan MK ini akan mencederai proses pemilu pada pesta demokrasi yang berlangsung pada 14 Februari 2024 itu.

Sejak awal kekuasaan sudah menggunakan kekuatannya mengintervensi hukum dalam melanggengkan dinasti politik.

“Sulit meraih proses pemilu dan hasil demokratis pascaputusan MK,” ujar Koalisi.

Karena sejak dini penguasa telah memperlihatkan tangan kekuasaaan bekerja untuk mengintervensi satu lembaga yudikatif. Ini berpotensi terjadi di lembaga negara lain.

“Proses pemilu dari awal sudah cacat secara politik pasca-putusan MK, Tempo.co

Kenyataan yang terjadi, Koalisi berpendapat, menjelang berakhir masa periode jabatan yang kedua, Jokowi, semakin mempertontonkan dirinya sebagai perusak demokrasi dengan berupaya membangun politik dinasti yang sarat praktik kolusi dan nepotisme melalui pencawapresan Gibran.

Koalisi ini menjelaskan, kondisi kemunduran demokrasi di akhir era pemerintahan Jokowi tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Mengingat demokrasi merupakan capaian politik yang diperjuangkan dengan susah payah pada 1998. Harus terus dipertahankan. Untuk merespon hal tersebut, menurut sejumlah organisasi itu, dibutuhkan bangunan gerakan pro-demokrasi demi untuk menyelamatkan demokrasi yang mulai tergerus.

“Termasuk menjadikan politik elektoral sebagai momentum dan media untuk mengoreksi semua kebijakan dan langkah politik Presiden Jokowi yang memundurkan capaian politik Reformasi 1998,” tuturnya.

Sejumlah organisasi dalam Koalisi, yaitu PBHI Nasional, Imparsial, Wahana Lingkungan Hidup, Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Human Right Working Group (HRWG), Forum for Defacto, SETARA Institute, Migrant Care, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI).

Transparency International Indonesia (TII), Indonesian Corruption Watch (ICW), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan.(KontraS), Indonesian Parlementary Center (IPC), Jaringan Gusdurian, Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub), DIAN/Interfidei, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Yayasan Inklusif, Fahmina Institute, Sawit Watch.

Centra Initiative, Medialink, Perkumpulan HUMA, Koalisi NGO HAM Aceh, Flower Aceh, Lembaga Bantuan Hukum Pers. Lingkar Madani (LIMA), Desantara, Forum Pemantau Hak-hak Penyandang Disabilitas, Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua (SKPK) Jayapura, AMAN Indonesia.

Yayasan Budhi Bhakti Pertiwi, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Aliansi Masyrakat Adat Nusantara, Public Virtue. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Yayasan Tifa, Serikat Inong Aceh, Yayasan Inong Carong, Komisi Kesetaraan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Aceh, dan Eco Bhineka Muhammadiyah.

Exit mobile version