Site icon JOGLOSEMAR NEWS

KPU Dituding Menormalisasi Pencalonan Gibran, Meski Prosesnya dengan Merusak Demokrasi Meruntuhkan Marwah MK

Pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka usai menjalani pemeriksaan kesehatan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Kamis (26/10/2023) | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM  – Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai telah melakukan normalisasi pencalonan Gibran Rakabuming Raka mendampingi Prabowo Subianto dalam ajang Pilpres 2024.

Normalisasi tersebut tetap dilakukan oleh KPU, sekalipun proses pencalonan Gibran  dilakukan dengan mengorbankan demokrasi, merusak kepatuhan pada konstitusi, dan meruntuhkan marwah Mahkamah Konstitusi (MK).

Dengan latar belakang seperti itu, KPU seolah tutup mata dan secara legal-formal KPU menganggap sah pencalonan Wali Kota Solo itu sebagai cawapres.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Badan Pengurus Setara Institute Ismail Hasani.

“Kini normalisasi juga dilakukan oleh KPU dengan meloloskan Gibran Rakabuming Raka yang berhasil memenuhi syarat sebagai kandidat, meskipun pelanggaran etik berat melekat dalam pengambilan Putusan No. 90/PUU-XXI/2023,” kata Ismail Selasa (14/11/2023) siang.

Menurut Ismail, Setara Institute menolak normalisasi pelanggaran konstitusi dengan tetap mendorong publik peka dan menjadikan kontroversi Putusan 90/PUU-XXI/2023 sebagai variabel dalam menentukan pilihan dalam pemilihan umum (Pemilu) nanti.

“Cara ini sekaligus sebagai bagian pengawasan publik agar Pemilu dijalankan secara berintegritas dan adil,” kata dia.

Tiga pasangan capres dan cawapres telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), termasuk Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, yang berpasangan dengan Prabowo Subianto. Pada Selasa malam, 14 November 2023, masing-masing calon akan mengambil nomor urut pasangan di KPU.

Selain KPU, Setara Institute melihat beberapa lembaga survei melakukan kampanye publik bahwa langkah Gibran dianggap oleh mayoritas responden bukan politik dinasti. Selain itu, sejumlah pakar hukum juga memberikan justifikasi dengan melakukan normalisasi pelanggaran konstitusi.

“Aspek moralitas dan etika politik serta tidak adanya legitimasi politik atas putusan tersebut, semestinya menjadi pertimbangan DPR saat membahas PKPU 19/2023 tentang Pencalonan Peserta Pilpres, yang mengubah syarat usia capres-cawapres dengan putusan MK yang kontroversial,” kata Ismail.

Selain itu, Setara Institute menilai DPR juga melakukan normalisasi pelanggaran konstitusi. Di tengah situasi demikian, kata Setara, tidak heran jika Megawati Soekarnoputri pada 12 November kemarin, menyebut sebagai manipulasi hukum.

Para tokoh bangsa pada 12 November juga menyebut demokrasi telah dinodai. Sementara, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh 11 November menyebut bahwa ada upaya membawa negara dan aparaturnya melayani kepentingan pribadi dan golongan.

“Jika semua ciri Orde Baru sudah terakumulasi, wajar kecemasan rakyat tentang kebangkitan otoritarianisme bukanlah gosip para aktivis demokrasi atau elit politik,” kata dia.

Karena itulah, Setara Institute mendorong penyelenggara Pemilu menjadi aktor utama yang menjaga integritas, sehingga tercipta keadilan elektoral atau electoral justice pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.

“Setara Institute menentang segala bentuk intervensi, intimidasi, dan netralitas artifisial yang ditunjukkan oleh beberapa pihak,” kata Ismail.

Netralitas,kata dia, buatan bukanlah netralitas yang otentik, karena di satu sisi menyerukan netralitas dan menyatakan tidak ada intervensi, tapi di sisi lain tetap membiarkan orkestrasi kandidasi, mobilisasi sumber daya, termasuk tidak melakukan upaya maksimum memastikan keadilan Pemilu.

 

Exit mobile version