Beranda Umum Nasional Pakar Hukum Tata Negara: Putusan MK Itu Memang Khusus untuk Gibran, Bukan...

Pakar Hukum Tata Negara: Putusan MK Itu Memang Khusus untuk Gibran, Bukan Anak Muda Secara Umum

Gibran Rakabuming Raka (kiri) dan Anwar Usman, eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang kebetulan adalah pamannya. Putusan MK soal batas usia Capres-Cawapres disorot bermuatan politis demi memberi jalan bagi keponakannya untuk menjadi Cawapres pendamping Prabowo Subianto | tempo.co | kolase: suhamdani

DEPOK, JOGLOSEMARNEWS.COM  – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batasan usia Capres-Cawapres dalam putusan perkara No. 90/PUU-XXI/2023 dinilai bukan diperuntukan bagi kaum muda, namun khusus diperuntukkan bagi Gibran Rakabuming Raka.

Penilaian tersebut dilontarkan oleh pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti saat menjadi pembicara dalam kuliah kebangsaan yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), Selasa (7/11/2023).

Menurut Bivitri,  putusan  MA tersebut memang bukan untuk kaum muda secara umum, tapi spesifik untuk putera sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan sekaligus keponakan Ketua MK, Anwar Usman.

Lebih lanjut Bivitri menjelaskan putusan perkara No 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat maju sebagai capres dan cawapres berusia paling rendah 40 tahun, yang kemudian ditambahkan MK: atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Menurut Bivitri, tambahan dari MK itu sangat jelas hanya ditujukan untuk Gibran.

Sebabnya, pemohon uji materi dalam perkara itu adalah mahasiswa dari Solo yang menyampaikan bahwa dia mengidolakan Gibran dan dia kecewa, sebab dia jadi tidak bisa memilih Gibran yang belum berusia 40 tahun.

Baca Juga :  Muda dan Kaya! KPK Rilis Harta Kekayaan Raffi Ahmad Rp 1,03 Triliun

Gibran kemudian, kata Bivitri, “Diberikan jalan oleh pamannya, ditambahkan kata-kata itu, itu yang terjadi.”

Jadi, Bivitri mengatakan, rakyat lainnya sekalipun berusia di bawah 40 tahun, jika belum pernah menjadi bupati, gubernur atau anggota DPR, karena frasanya dipilih oleh pemilu, tidak bisa berharap bisa jadi capres atau cawapres.

“Jadi ini bukan tentang anak muda, putusan itu untuk Gibran, karena spesifik sekali di situ, siapa yang sekarang memenuhi kualifikasi itu, cuma dia (Gibran).”

Menurut Bivitri, bukan begitu seharusnya berpolitik ataupun cara agar pemuda bisa maju dalam berpolitik.

“Bukan dengan menurunkan batasan usia, tapi dengan memberikan ruang untuk anak muda,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Bivitri meminta agar mahasiswa jangan sampai terkecoh oleh capres, cawapres atau caleg yang hanya menjadikan anak muda sebagai objek, bukan subjek dalam pemilihan.

Capres, cawapres, dan caleg itu disebutnya bergaya sok muda, mulai dari media sosialnya, cara berpakaian dan bahasanya.

“Teman-teman itu subjek dalam pemilihan, jangan cuma jadi objek diikuti gaya berpakaiannya, gaya berbahasanya, padahal teman-teman tidak punya suara untuk menentukan perhatian capres, cawapres dan caleg,” katanya.

Baca Juga :  KPK Geledah Rumah Ketua PP Japto Soerjosoemarno, Sita 11 Mobil hingga Uang

Bivitri juga menerangkan adanya masalah sistemik bernama presidential threshold. Ini membuat hanya sedikit orang dan partai yang berkoalisi meraih 20 persen kursi atau 25 persen suara tingkat nasional baru memiliki tiket untuk mengajukan capres-cawapres.

“Sehingga hitungannya mereka bukan lagi soal anak muda atau tidak muda, perempuan atau laki-laki. Buat mereka semata-mata soal suara dari mana dan berapa banyak yang bisa diambil oleh orang itu,” katanya.

www.tempo.co