Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Jelang Debat Pilpres ke-4, Angka Kemiskinan di Jateng dan DKI Masih Jadi PR Besar

Ilustrasi kemiskinan | tribunnews

SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM Debat  Pilpres 2024 bakal segera memasuki tahap akhir, di mana debat keempat dari total lima kali debat yang dijadwalkan, bakal digelar pada 21 Januari 2024.

Debat yang akan mempertemukan tiga Cawapres, yakni  Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka dan Mahfud MD itu mengusung tema  Pembangunan Berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan secara umum masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi para pemimpin daerah, tak terkecuali Provinsi Jawa Tengah (Jateng) maupun DKI Jakarta.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Setia Budi Solo, Yulianto mengatakan,  pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jateng masih selama ini masih stagnan.

Hal itu, salah satunya terlihat dari masalah  kemiskinan yang tak kunjung terentaskan, di mana,  orang miskin dari tahun ke tahun di Jateng relatif juga masih stagnan.

Yulianto mencontohkan, sejak Ganjar Pranowo menahkodai Jateng, pada Maret 2013 ada 4,73 juta penduduk miskin, sedangkan 10 tahun kemudian pada Maret 2023, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan, namun jumlahnya masih 3,79 juta orang.

Jumlah tersebut masih berada di bawah target yang telah ditetapkan, yakni penurunan  sebesar  10%.

“Yang miskin masih miskin. Kemiskinan di Jateng masih sama saja dari periode lalu sampai sekarang. 2022 ke 2023 hanya turun 0,16%,  turunnya tidak  signifikan,” katanya, Selasa (16/1/2024).

Menurut Yulianto, data kemiskinan yang dipegang pemerintahan di era Ganjar Pranowo, seharusnya langsung ditindaklanjuti dengan peninjauan lapangan.

Dijelaskan Yulianto, ada 10 kabupaten/kota dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Jateng pada Maret 2023, di antaranya mulai Kebumen 16,34%, Brebes 15,78%, Wonosobo 15,58% hingga Sragen 12,87% dan Klaten 12,28%.

“Sudah tahu datanya kemiskinan masih tinggi, ya sinkronkan. Langsung datangi lokasi. Berikan stimulan. Selain pak Ganjar, para elite partai politiknya juga bisa melakukan hal sama seperti itu,” terang dia.

Sejauh ini, menurut Yulianto, warga miskin bertempat tinggal kurang layak dan tanpa pekerjaan mapan masih ada, seperti halnya viralnya potret kemiskinan yang dialami nenek Kaswiyah (79) di Desa Karangmalang, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes beberapa waktu lalu.

“Fakta di tiap desa begitu. Rumah tidak layak huni, sulit hidup sehari-hari dan pengangguran tinggi. Itu jadi salah satu indikator kemiskinan itu di Jateng yang masih ada,” ungkap dia.

Dalam penelitian yang dikerjakannya, Yulianto mengatakan, Jawa Tengah tertinggal dibanding Jawa Barat, Jawa Timur dan DIY dalam mengentaskan kemiskinan dan menaikkan taraf hidup masyarakatnya.

Hal itu tak lepas dari kurang seriusnya kepala daerah dalam menyinkronisasi program dengan realitas di lapangan.

Menuju Jawa Tengah madani, menurutnya kondisi sekarang masih jauh panggang dari api. Banyak pekerjaan rumah (PR) yang tak tuntas selama Ganjar 10 tahun memimpin Jateng.

Statistik merilis Jateng menjadi provinsi paling miskin kedua di Pulau Jawa dengan 10,77 persen atau turun dari 10,98 persen pada September 2022. Tercatat, jumlah penduduk miskin di Jateng 3,9 juta orang atau bertambah dari 3,8 juta orang pada September 2022.

Data BPS Jateng hingga bulan Februari 2022 angka pengangguran di Jateng naik 70.000  orang atau sekitar 6,26 persen. Di mana hingga Februari 2022 ada 1,19 juta penduduk di Jateng menganggur. Sedangkan pada bulan yang sama tahun 2021 pengangguran di Jateng 1,12 juta orang.

Ia juga mengkritisi paket bantuan salah sasaran. Program Keluarga Harapan (PKH), rehab rumah tidak layak huni (RTLH) dan elpiji untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) masih dikeluhkan pendistribusiannya di Jateng.

“Jateng belum menunjukkan kinerja bagus selama ini, sehingga perlu diperbaiki data sasaran programnya agar tak salah sasaran, agar kemiskinan tidak menjadi masalah klasik,” tutur dia.

 

Kontradiksi Anggaran Besar di DKI

Kondisi hampir serupa terjadi pula di Provinsi DKI Jakarta, di mana angka kemiskinan di DKI Jakarta di era kepemimpinan Anies Baswedan mengalami peningkatan.

Merujuk pada data dari Badan Pusat Statistik (BPS),  sebagiamana dikutip anggota DPRD DKI dari FPDIP, Ima Mahdiah, angka kemiskinan di DKI Jakarta naik selama lima tahun dipimpin Gubernur Anies Baswedan.

BPS mencatat, terjadi peningkatan jumlah warga miskin di Jakarta sebanyak 105.160 orang atau naik 0,89 persen periode 2017-2021 atau selama empat tahun Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Ima Mahdiah menyebut angka kemiskinan di Jakarta sudah jelas terjadi sebelum pandemi Covid-19 melanda.

“Memang betul kemiskinan meningkat dalam akibat dampak pandemi Covid-19. Namun, jika kita lihat data BPS, kemiskinan melonjak sudah sejak tahun 2019. Jadi memang sebetulnya sudah ada peningkatan sebelum terjadinya pandemi Covid-19,” jelasnya saat dikonfirmasi, Jumat (17/6/2022).

Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta ini mengaku prihatin dengan kondisi yang ada.

Apalagi, menurut Ima, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta dinilainya cukup tinggi. Tercatat pada tahun 2019, APBD DKI sebesar Rp 89,08 triliun atau naik Rp 18,97 triliun dibandingkan APBD di tahun sebelumnya.

Kemudian tahun 2020, APBD DKI Jakarta sebesar Rp 87,95 triliun dan APBD Perubahannya pada angka Rp 63,30 triliun.

Selanjutnya, di tahun 2021 APBD DKI sebesar Rp 84,19 triliun dan APBD Perubahan pada angka Rp 79,89 triliun atau turun sebesar Rp 2,4 triliun.

“Saya prihatin dengan hal ini, anggaran Pemprov DKI yang luar biasa besar dibandingkan dengan daerah-daerah lain seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menurunkan angka kemiskinan jika Pemprov dan Pak Anies fokus untuk melaksanakan program-program yang berdampak langsung ke masyarakat,” lanjutnya. Suhamdani | tribunnews

Exit mobile version