JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji formil terkait putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia capres-cawapres yang diajukan oleh pakar hukum Tata Negara, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar.
Sebagaimana diketahui, putusan MK mengenai batas usia peserta Pilpres sebelumnya telah ramai karena dinilai melanggar etik.
Di mana, Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang tak lain adalah adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengeluarkan putusan untuk mengurangi minimal usia pencalonan Pilpres, yang membuat keponakannya, Gibran Rakabuming Raka berkesempatan besar menjadi kandidat wakil presiden yang kemudian diusung berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Pada hasil uji formil putusan MK menolak perkara tersebut dengan alasan MK tidak mengenal putusan tidak sah.
“Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengenal adanya putusan yang tidak sah,” kata Guntur Hamzah selaku hakim konstitusi, di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat pada Selasa (16/1/2024).
Hakim konstitusi juga menyatakan bahwa meskipun dalam proses pengambilan keputusan terbukti terdapat pelanggaran etik oleh hakim pemutus perkara, hasil putusannya akan tetap berlaku.
Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan dan berkesimpulan pokok yang diajukan oleh pemohon, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar tidak beralasan menurut hukum. Sehingga menyatakan, “Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,”
Dalam sidang yang sama, kali ini ada dua hakim yang menyatakan alasan yang berbeda. Istilahnya disebut sebagai concurring opinion. Kedua hakim tersebut ialah Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih.
Perbedaan kedua hakim tersebut tidak mempengaruhi hasil keputusan MK. Lalu, apa yang dimaksud dengan concurring opinion?
Dikutip dari artikel ilmiah yang berjudul Dissenting Opinion dan Concurring Opinion dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dan ditulis oleh Haidar Adam, mengatakan bahwa suatu putusan dianggap sebagai Concurring Opinion jika anggota majelis hakim menemui argumentasi berbeda dengan kebanyakan anggota majelis hakim yang lain, perbedaan argumen tersebut tidak memiliki kontribusi pada perbedaan amar putusan.
Pada umumnya sidang MK dihadiri banyak hakim majelis. Setiap hakim memiliki cara yang berbeda dalam pendekatan menganalisa satu kasus.
Pemahaman terhadap satu pasal pasti akan berbeda karena setiap teks dalam pasal ditafsirkan oleh individu.
Selain itu, putusan MK membuka kesempatan untuk memiliki perbedaan pendapat karena putusan MK tidak selalu bulat atau unanimous. Baik itu dalam bentuk dissenting opinion maupun concurring opinion. Akibatnya putusan Hakim pasti tidak bisa memuaskan semua orang.
Persidangan putusan MK ini, concurring opinion melibatkan hakim konstitusi Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih.
Hakim Arief, misalnya, mengatakan bahwa yang dipermasalahkan oleh pemohon terkait isu konstitusionalitas tidak memiliki hubungan dengan pengujian materiil pasal Pasal 169 huruf q UU Pemilu, baik yang telah dimaknai MK dalam putusan nomor 90 san putusan nomor 141. Namun, Arief Hidayat masih menyatakan dirinya sependapat dengan mayoritas hakim yang menolak gugatan.
Sementara itu, Enny Nurbaningsih mengatakan pertimbangannya bahwa norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang telah dimaknai MK masih berkaitan dengan permohonan dari pemohon dan dapat dikategorikan sebagai bagian dari pengujian materiil.
Namun, terkait substansi dari menjadi tuntutan dua pakar hukum yang telah disebut, MK putusan 141/PUU-XXI/2023 tidak bisa dianggap tidak sah. Sebagaimana keputusan mayoritas hakim majelis.
“Dengan demikian, meskipun mahkamah berwenang mengadili perkara a quo, dalil-dalil permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum, dan menyatakan menolak permohonan pemohon,” kata dia.