JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pakar IT Kecerdasan Buatan dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr Soegianto MSi menilai, data Sirekap milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) ceroboh, sehingga terjadi kesalahan data suara yang sangat signifikan.
Bahkan, kajian ilmiah yang dilakukannya, menunjukkan bahwa suara Paslon nomor urut 02, Prabowo-Gibran hanya sebesar 48 persen.
Dengan demikian, mestinya Pemilihan Presiden (Presiden) berlangsung dua putaran, karena tidak ada calon yang mencapai 50 persen.
Hal tersebut diungkapkan oleh Soegianto dalam diskusi publik bertajuk “Sirekap dan Kejahatan Pemilu 2024 Sebuah Konspirasi Politik”.
Soegianto yang merupakan dosen Fisika Komputasi di Fakultas Sains dan Teknologi Unair Surabaya mengaku, telah melakukan kajian ilmiah terkait data hasil penghitungan suara yang ditampilkan Sirekap milik KPU RI.
Ia juga telah melakukan snapshoot untuk menangkap Json yang merupakan jalur komunikasi antara web dan server Sirekap, serta menganalisa menggunakan robot.
Dalam kajiannya, Soegianto mengambil 797.000 data sebagai bahan analisa dan menangkap 96 variabel dengan tidak mengubah gambar menjadi teks dan sebagainya.
Ia hanya mengambil data angka dari komunikasi antara server dengan web.
Dari analisa awal terhadap data tersebut, Soegianto menemukan bahwa data antara suara sah dan pemilih yang mencoblos tidak kompak atau tidak cocok.
Seharusnya Sirekap dapat mempermudah rekapitulasi jumlah suara sah dan jika ada data yang berbeda atau salah maka akan muncul notifikasi.
Kenyataannya yang terjadi ketika angka yang salah juga masuk atau terdata di Sirekap.
“Ini berarti data suara sah tidak bisa dipastikan karena ada yang tidak match. Jadi, saya ingin mendeklarasikan bahwa ini kecerobohan, ya ini kecerobohan dari Sirekap,” kata Soegianto dalam diskusi di Jakarta, Senin (18/3/2024).
Soegianto kemudian menganalisa untuk membandingkan data Pileg dan data Pilpres.
Pertimbangannya, secara kaidah ilmiah seharusnya ada korelasi antara jumlah suara Pileg dan Pilpres, karena pencoblosan dilakukan orang atau pemilih yang sama dan di lokasi yang sama.
Ternyata, hasil analisa menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok, yakni hasil suara untuk pileg dan pilpres berbeda antara 50 persen bahkan 70% di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Hal itu menimbulkan pertanyaan besar karena perbedaan yang signifikan.
Sehingga, Soegianto berkesimpulan data dari Sirekap tidak bisa dinyatakan valid untuk direkapitulasi dan menghasilkan persentase suara untuk partai politik maupun pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden.
“Saya tidak menghitung suara sah dan suara tidak sah, sebab bagi saya, itu sudah lewat, karena memang ada ratusan ribu TPS yang datanya tidak nyambung. Padahal seharusnya semua datanya valid, ternyata tidak valid, jadi ya wis enggak usah dianalisa karena tidak valid,” ujar Soegianto.
Soegianto lantas melanjutkan kajian atas data Sirekap, dengan membuat metode untuk mendefenisikan data yang dianggap valid.
Ada tiga metode yang digunakan.
Pertama, menghitung semua data Sirekap dengan dianggap valid, kecuali yang jumlah pemilihnya di atas DPT yang sebanyak 300 orang.
“Berdasarkan metode pertama, jumlah yang memilih Pilpres itu 124 juta dari 795.000 TPS,” kata Soegianto.
Kedua, menganalisa semua data Sirekap berdasarkan suara nil dan yang di atas 300 pemilih dan ternyata banyak TPS yang hasilnya nil.
Ketiga, menganalisa data suara berdasarkan gambar formulir C1 yang diupload.
“Setelah menggabungkan metode kedua dan ketiga, saya menemukan bahwa suara tidak sah itu ada 49 juta di seluruh Indonesia,” ungkap Soegianto.
Bahkan, setelah dikolaborasi antara yang mencoblos partai dan paslon atau untuk pileg dan pilpres, semua data bergeser di mana terjadi penambahan suara untuk paslon 2 sebesar 20%, sedangkan untuk paslon 1 berkurang dan paslon 3, sebesar 15%.
“Akhirnya saya mencoba untuk menghitung kalau begitu kelompok orang yang memilih di pilpres dan orang yang memilih di pileg dikelompokkan, maka muncul angka untuk paslon 2 itu 48%,” tutur Soegianto.
Dia menuturkan, data Sirekap yang menunjukkan paslon 2 mendapat 58% suara kemungkinan disebabkan penambahan dari suara tidak sah atau nil.
Dengan demikian, tak ada paslon yang memenangkan Pilpres dengan suara mayoritas, sehingga Pilpres bisa berlanjut ke putaran kedua.