Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Denny Indrayana Tak Yakin Hakim MK Mau Berkorban dan Jadi Pahlawan demi Selamatkan Demokrasi, Seperti Ini Prediksinya

Denny Indrayana / tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana mengaku tidak yakin para hakim konstitusi mau berkorban dan menjadi pahlawan demi menyelamatkan negara demokrasi konstitusional ini.

“Terus terang saya tidak yakin, para Hakim Konstitusi mau berkorban dan menjadi pahlawan demi menyelamatkan negara demokrasi konstitusional Republik Indonesia,” ujar Denny.

Ia pun memprediksi bahwa MK kemungkinan akan memutuskan untuk menolak seluruh permohonan dan hanya memberikan catatan perbaikan untuk Pilpres tahun ini.

Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) akan menjatuhkan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024 pada Senin (22/4/2024) mendatang.

Sebelum putusan, pada Selasa (16/4/2024), para hakim juga akan mendengarkan kesimpulan dari berbagai pihak.

Terkait dengan hal itu, pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana mensimulasikan tiga kemungkinan putusan berdasarkan Pasal 77 Undang-Undang MK juncto Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023.

Pertama, permohonan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard). Kedua, permohonan dikabulkan. Ketiga, permohonan ditolak.

Denny berpendapat bahwa MK kemungkinan tidak akan menolak permohonan karena permohonan paslon 01 dan 03 telah memenuhi syarat formil.

Dia memperkirakan, bahwa MK kemungkinan akan mengambil salah satu dari empat opsi tersebut.

Opsi pertama, yakni MK akan menolak seluruh permohonan dan hanya memberikan catatan perbaikan Pilpres.

Dalam opsi ini, Denny menyebut MK akan menguatkan putusan KPU yang memenangkan Prabowo-Gibran, dan hanya memberikan catatan perbaikan penyelenggaraan Pilpres, utamanya kepada KPU dan Bawaslu.

“Mahkamah pada dasarnya menyatakan dalil-dalil permohonan tidak terbukti. Melihat situasi-kondisi politik hukum di Tanah Air, saya berpandangan opsi satu ini yang sangat mungkin menjadi kenyataan,” ujar Denny dalam keterangan resminya pada Senin (15/4/2024).

Opsi kedua, MK akan mengabulkan seluruh permohonan, termasuk diskualifikasi paslon Prabowo-Gibran, dan melakukan PSU (Pemungutan Suara Ulang) antara paslon nomor urut 1 dan 3. Namun, menurut Denny, opsi ini sulit terjadi.

“Dari semua opsi, melihat situasi-kondisi politik hukum di Tanah Air; termasuk rumit dan sulitnya proses pembuktian, saya berpandangan opsi dua ini hampir muskil bin mustahil terjadi,” imbuh Denny.

Adapun opsi ketiga, Denny memprediksi MK akan mengabulkan sebagian permohonan dengan mendiskualifikasi cawapres Gibran Rakabuming Raka, dan memungkinkan PSU dengan Prabowo Subianto bersama cawapres pengganti Gibran.

Namun menurut dia, opsi tersebut tetap tidak mudah dan membutuhkan tidak hanya keyakinan hakim ataupun judicial activism, tetapi juga keberanian, pengakuan, dan introspeksi institusional bahwa problem moral-konstitusional pencalonan Gibran bersumber dari Putusan 90 MK.

Selain ketiga opsi tersebut, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) itu juga menuturkan, MK mungkin juga akan mengabulkan sebagian permohonan dengan membatalkan kemenangan Cawapres Gibran dan melantik hanya Capres Prabowo, lalu memerintahkan Pasal 8 ayat (2) UUD 1945.

Namun, menurut Denny, opsi keempat membutuhkan penjelasan lebih panjang karena tidak ada dalam permohonan kubu 01 maupun 03, sehingga menjadi ultra petita.

Dia menambahkan, dasar amar demikian ada dua. Hal ini disebabkan oleh sifat peradilan konstitusional tata negara yang memungkinkan MK untuk mengambil keputusan di luar permintaan para pihak, demi menjaga kehormatan konstitusi.

MK dapat melakukan ini berdasarkan Pasal 53 ayat (2) Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2024, yang memberikan kewenangan kepada MK untuk menambahkan amar dalam putusannya.

Dalam putusannya, MK kemungkinan akan membatalkan kemenangan cawapres Gibran. Menurut Denny, itu bukan karena persoalan pencawapresan yang sudah terlanjur absah lewat Putusan 90 dan berbagai putusan MK lainnya. Namun, marena berbagai pertimbangan konstitusional.

Pertama yakni cawe-cawe Presiden Joko Widodo terbukti, dari pernyataan dan tindakan Presiden Jokowi sendiri, dan hal demikian melanggar prinsip pemilu presiden yang luber, jujur, dan adil sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1).

Melalui Putusan 90 dan beberapa Putusan MK sesudahnya, meskipun secara hukum tidak ada masalah dengan pencawapresan Gibran, tetapi terdapat pelanggaran prinsip anti KKN dan nepotisme yang melanggar prinsip pemilu yang dijamin UUD 1945.

Kemenangan Prabowo-Gibran tetap dikuatkan oleh MK walaupun pelanggarannya tidak dapat dibuktikan, dengan komplikasi, bahwa suara paslon nomor urut 2 tentunya adalah hasil kerja keduanya sebagai Paslon.

“Opsi keempat ini sejatinya punya bobot politis, selain yuridis. Karena dia seakan-akan menjadi jalan tengah (kompromis) antara hukum yang moralis-idealis dengan politik yang pragmatis-realistis,” kata Denny.

Denny menyoroti pentingnya dukungan politik, bukan hanya keberanian mayoritas hakim MK, tetapi juga partai-partai politik untuk bersepakat merealisasikan opsi putusan keempat.

Namun, sejauh ini, Denny menilai belum terlihat adanya kekuatan politik yang berani menentang pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh Presiden Jokowi.

Denny juga meragukan bahwa para hakim akan mengambil langkah yang berani dan idealistis dalam situasi tersebut.

Exit mobile version