Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Pro Kontra Rencana Revisi UU Kementerian Negara Masih Terjadi, Ini yang Dipersoalkan

Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden terpilih 2024 Gibran Rakabuming Raka saat menghadiri acara halalbihalal dan silaturahmi di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Seven, Jakarta Pusat, Minggu (28/4/2024) | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Prokontra mengenai rencana Prabowo Subianto yang hendak menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 40 masih berlangsung hingga kini.

Menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman, penambahan kementerian sebagai hal wajar karena Indonesia merupakan negara yang besar sehingga butuh bantuan dari banyak pihak.

Sebagaimana diwartakan majalah Tempo dalam laporan utama pada 6 Mei 2024 berjudul  “Orang Lama Kabinet Baru”,  orang-orang dekat Prabowo menceritakan Prabowo berupaya membangun koalisi besar untuk menguasai DPR RI.

Tujuannya untuk memuluskan program yang dijukan oleh pemerintah. Untuk mengakomodasi koalisi itu, menambah jumlah kementerian menjadi solusinya.

Namun penambahan jumlah kementerian perlu merevisi Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 15 UU Kementerian Negara menyebutkan jumlah keseluruhan kementerian paling banyak 34.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Kementerian Negara sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak diusulkan pada 2019. Dikutip dari situs web resmi DPR RI, RUU Kementerian Negara terdaftar di nomor 16 Prolegnas 2022-2024 sebagai usulan DPR tertanggal 10 Mei 2024.

Sementara itu, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan revisi Undang-undang Kementerian Negara bisa terlaksana sebelum Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia. Muzani menekankan ada kebutuhan berbeda di setiap pemerintahan.

“Ya, revisi itu dimungkinkan. Ya, revisi itu bisa sebelum dilakukan (pelantikan Prabowo sebagai Presiden),” kata Wakil Ketua MPR itu di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (12/5/2024).

Muzani mengatakan setiap presiden memiliki tantangan dan kebijakan yang berbeda-beda pada setiap zaman sehingga perubahan nomenklatur kementerian melalui revisi UU Kementerian bersifat fleksibel.

“Itu yang kemudian menurut saya UU kementerian itu bersifat fleksibel tidak terpaku pada jumlah dan nomenklatur,” kata Muzani.

Dia menuturkan pada era Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga memiliki penyusunan nomenklatur kementerian yang berbeda.

“Dari Pak SBY ke Pak Jokowi juga ada perubahan, dan apakah dari Pak Jokowi ke Pak Prabowo ada perubahan, itu yang saya belum (tahu),” tuturnya.

Reaksi berkebalikan datang dari Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Dia mengaku tidak setuju dengan wacana revisi Undang-undang Kementerian Negara.

Pengubahan aturan kementerian negara memungkinkan lembaga dapat ditambah di era presiden terpilih Prabowo Subianto.

Dalam keterangan di Galeri Nasional pada Senin (13/5/2024), Hasto mengatakan memahami setiap presiden memiliki kebijakan tersendiri.

Namun dia mewanti-wanti bahwa kementerian negara yang ada saat ini sebenarnya sudah mampu merepresentasikan seluruh tanggung jawab negara.

“Seluruh desain dari kementerian negara itu kan bertujuan untuk mencapai tujuan bernegara, bukan untuk mengakomodasikan seluruh kekuatan politik,” kata Hasto.

Hasto mengklaim Indonesia menghadapi tantangan yang tidak mudah dalam bidang ekonomi, seperti pelemahan rupiah, masalah tenaga kerja, bahkan kemudian deindustrialisasi.

Dia menyebutkan, untuk menghadapi persoalan dan dampak geopolitik global, diperlukan suatu desain yang efektif dan efisien, bukan untuk memperbesar ruang akomodasi.

Exit mobile version