SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM — Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebut dunia industri pertekstilan dalam negeri saat ini tengah bermasalah. Untuk itu perlu arah jelas dari pemerintah untuk menangani permasalahan industri tekstil.
Kompartemen Sumber Daya Manusia API Harrison Silaen menuturkan, sampai saat ini pemerintah masih belum maksimal memberikan perhtiannya pafa industri pertekstilan. Menurutnya, jika industri tekstil masih dianggap penting, maka harus ada upaya untuk menjaganya.
“Mari kita semua, termasuk lembaga bersama-sama menjaganya. Kami sadar sekitar 20 kementerian dan lembaga yang berkaitan dengan industri tekstil, semua memiliki kepentingan masing-masing,” ujarnya, Selasa (25/6/2024).
Harrison mengatakan, sampai saat ini ada aturan dari masing-masing konsumen sehingga kondisi tersebut mempersulit berkembangnya industri tekstil. Selain itu, API juga berjuang untuk berkomunikasi dengan pihak lain dan memperbaiki kinerja di sektor industri.
“Jadi aturan dunia masuk semua, ini akan sulit untuk kami menjalankan atau bersaing dengan luar negeri,” bebernya.
Diketahui, saat ini rata-rata pelaku usaha tekstil tengah dalam kondisi sulit. Bahkan jika melihat dari kondisi selama sembilan tahun terakhir, lanjut Harrison, kondisi di 2023-2024 ini merupakan kondisi yang paling buruk untuk sektor tekstil dalam negeri.
“Banyak faktor yang mempengaruhi, baik faktor pasar, teknologi, regulasi, dan lainnya,” imbuhnya.
Ditambahkan Wakil Ketua API Jawa Tengah Liliek Setiawan, kondisi geopolitik terutama krisis di Eropa yang dipicu oleh perang Ukraina dan Rusia menjadi salah satu penyebab lesunya pasar di kawasan tersebut.
“Ini jadi gejolak dalam ekonomi, gejolak yang negatif. Ini diperparah dengan lesunya market akibat pergeseran prioritas untuk spending money (membelanjakan uang),” katanya.
Tidak hanya itu, menurut Liliek, industri tekstil salam negeri tengah menghadapi predatory pricing atau strategi ilegal menjual barang di bawah harga yang merupakan salah satu trik perdagangan bertujuan untuk monopoli.
“Jadi tantangan tidak hanya datang dari faktor eksternal, namun juga dari dalam negeri, termasuk masalah regulasi. Kondisi saat ini disebut sebagai kondisi terburuk sejak sembilan tahun terakhir untuk dunia tekstil. Jadi bukan hanya industri besar tetapi juga UMKM. Kalau UMKM berdampak artinya dampaknya sudah masif. Apalagi pelaku ekonomi kita 95 persen di UMKM. Dan butuh konsistensi terutama dalam hal regulasi untuk mengatasi itu,” ungkapnya. Prihatsari