Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Nama Presiden Jokowi Terseret Kasus Syahrul Yasin Limpo, Ini Bantahan Istana

Terdakwa kasus pemerasan dan gratifikasi di Kementerian Pertanian yang juga mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyampaikan pertanyaan kepada saksi saat sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (10/6/2024). Dalam sidang tersebut Syahrul dan tim kuasa hukumnya menghadirkan dua saksi meringankan, antara lain Abdul Malik Faisal selaku Staf Ahli Gubernur Sub-bidang Hukum Pemprov Sulawesi Selatan dan Rafly Fauzi selaku mantan honorer di Dirjen Holtikultura Kementan | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Akhirnya, nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut terseret dalam kasus pemerasan dan gratifikasi  di Kementerian Pertanian (Kementan)   yang melibatkan eks Mentan, Syahrul Yasin Limpo.

Dalam sidang pemerasan dan gratifikasi di Kementerian Pertanian (Kementan) pada Rabu (12/6/2024), nama Presiden  Jokowi disebut-sebut oleh Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Politikus Partai NasDem itu menyatakan kebijakan yang diambilnya saat masih menjadi menteri, termasuk menarik uang dari bawahan, adalah sebagai tindak lanjut dari instruksi presiden. Hal ini disebabkan karena adanya krisis pangan akibat Covid-19 dan El Nino.

“Ada perintah extraordinary oleh kabinet dan presiden atas nama negara untuk mengambil sebuah langkah yang extraordinary atau diskresi berdasarkan undang-undang,” kata SYL di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat, Rabu (12/6/2024).

Apabila diperintahkan oleh presiden Jokowi, lantas untuk apa sebenarnya uang yang ditarik SYL dari bawahannya itu? Simak rangkuman informasi selengkapnya berikut ini.

Peruntukan Uang yang Ditarik SYL dari Bawahan

Syahrul Yasin Limpo bersikeras bahwa uang yang didapatkannya dari pemerasan terhadap eselon satu di Kementerian Pertanian bukan untuk kebutuhan pribadinya bersama keluarga. Dia mengatakan, uang tersebut dipakai untuk kepentingan 287 juta orang yang terancam tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan akibat Covid-19 dan El Nino.

“Apakah itu bisa diabaikan dalam pendekatan pidana saja atau tetap harus dijadikan bagian-bagian dari aturan hukum yang ada?” ucap SYL.

Dalam kesempatan itu, SYL juga mempertanyakan status hukum yang sedang menjeratnya akibat pengumpulan uang sharing para eselon satu di lingkungan Kementan.

“Izin Yang Mulia, ini perintah presiden, ini perintah kabinet, ini perintah negara, dan kalau itu terjadi dan ini benar, apakah menteri sendiri yang bertanggung jawab atau negara yang bertanggung jawab?” ujarnya.

Pernyataan itu diajukan mantan Gubernur Sulawesi Selatan tersebut kepada ahli hukum pidana Universitas Pancasila, Agus Suharso yang menjadi saksi a de charge atau saksi yang meringankan yang diajukan oleh SYL.

Mengingat para saksi yang hadir pada beberapa sidang sebelumnya mengaku dipaksa mengumpulkan uang oleh SYL, melalui Sekjen Kementan Kasdi Subagyono dan Dirjen Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta, untuk memenuhi kebutuhan sang menteri dan keluarga.

Dalam sidang tersebut, SYL juga mengaku terzalimi oleh kesaksian para bawahannya di Kementan yang dinilai menyudutkannya. Ia merasa menjadi yang paling bertanggung jawab atas pungutan-pungutan yang ada di lingkungan eselon satu.

Politisi NasDem itu menyesalkan sikap para eselon satu yang tidak bertanya secara langsung kepadanya soal uang sharing tersebut. Dia menyesalkan anak buahnya justru mengumpulkan uang hanya berdasarkan ‘katanya katanya’ dan percaya dengan ancaman pemecatan jika tidak melakukan.

Adapun SYL didakwa melakukan pemerasan serta menerima gratifikasi dengan total Rp 44,5 miliar dalam kasus dugaan korupsi di Kementan dalam rentang waktu 2020 hingga 2023.

Istana Bantah Pernyataan SYL

Menanggapi pernyataan SYL tersebut, Istana Kepresidenan akhirnya buka suara. Staf Khusus Presiden di Bidang Hukum, Dini Purwono membantah adanya instruksi presiden dalam rapat kabinet kepada para menteri/kepala lembaga untuk menarik uang dari bawahan atau staf dalam penanggulangan krisis pangan akibat pandemi dan El Nino.

Untuk menanggulangi suatu permasalahan, kata Dini, setiap instruksi presiden dan penggunaan diskresi oleh para pembantu presiden, harus dimaknai dan dibatasi sesuai prosedur diskresi yang diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan.

“Ini tidak boleh melampaui wewenang menteri/kepala lembaga, serta dilaporkan kepada Presiden selaku atasannya,” kata Dini kepada Tempo melalui pesan singkat pada Kamis (13/6/2024).

Dini menegaskan setiap penarikan uang atau pungutan liar yang dilakukan oleh oknum pejabat atau aparatur sipil negara, untuk kepentingan pribadi, merupakan tindak pidana korupsi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.

Exit mobile version