YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Sejarah keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki kesamaan dengan perjalanan hidup Debrin, seorang pelukis yang tetap berkarya meski mengalami gangguan penglihatan.
Sejak zaman Sultan HB I hingga Sultan HB X, penyertaan Allah terasa nyata dalam perjalanan Yogyakarta. Semangat juang Sultan HB I seolah menginspirasi Debrin untuk terus berkarya meski pasca-kecelakaan yang merusak saraf matanya dan mempengaruhi kondisi tubuh lainnya.
Debrin, atau nama aslinya Debora Rini Dwi Hastuti, mengungkapkan pesan tersebut melalui karyanya yang berjudul NyGSO Spirit, yang dipamerkan di Gedung Saraswati, Museum Sonobudoyo, Yogyakarta.
Debrin menjadi salah satu dari 137 seniman yang berpartisipasi dalam pameran seni rupa bertajuk “Marwah Keistimewaan untuk Nusantara,” yang dibuka pada Minggu (12/8/2024) oleh Sekretaris Daerah DIY, Beny Suharsono, atas nama Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Pameran itu diadakan dalam rangka memperingati ulang tahun ke-12 Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta (UUK Yogyakarta) dan menampilkan 138 karya seni berupa lukisan dan patung.
Acara itu dikuratori oleh Dr. Ki Hadjar Pamadhi MA (Hons) dan akan berlangsung hingga 30 Agustus 2024. Pameran ini juga dihadiri oleh para seniman senior seperti Mpu I Gusti Nengah Nurata, Yusman, Nasirun, Pupuk DP, Subandi, Lingga Prana, Titoes Libert, dan lainnya.
Debrin menjelaskan bahwa lukisan NyGSO Spirit sarat dengan simbolisme, mulai dari ksatria berkuda, caping, Tugu Golong Gilig, hingga Mata Sang Khalik. Lukisan ini menggambarkan Sri Sultan Hamengkubuwono I sebagai sosok pejuang yang perkasa, rendah hati, taat beragama, seorang filsuf Jawa, sekaligus arsitek kompleks Kraton dengan filosofi keistimewaan Yogyakarta yang diakui dunia. Watak Ksatria Mataram yang tercermin dalam konsep Nyawiji, Greget, Sengguh, Ora Mingkuh, menjadi inspirasi judul lukisan tersebut.
“Konsep tata kota Sangkan Paraning Dumadi yang diusung oleh Sultan HB I, di mana Tugu Golong Gilig, Kraton, dan Panggung Krapyak terletak pada sumbu imajiner antara Gunung Merapi dan Pantai Selatan, adalah salah satu bentuk perwujudan dari filosofi tersebut. Semua peristiwa tersebut terjadi dalam perlindungan Sang Pencipta,” jelas Debrin, seniman asal Klaten tersebut.
Bagi Debrin, melukis tidak hanya menjadi media terapi bagi sarafnya yang terganggu, tetapi juga menjadi jalan hidup sebagai seorang pelukis.
Debrin mengaku sebelum melukis, ia selalu berkontemplasi, memohon bimbingan Ilahi untuk menemukan ide yang sesuai dengan kemampuannya. Setiap goresan dan warna yang dituangkan dalam karyanya adalah bentuk penyerahan penuh kepada Sang Pencipta, yang dianggapnya sebagai sumber inspirasi yang sempurna.
Proses terapi melalui melukis yang dilakoni Debrin tidak selalu berjalan mulus. Fisioterapi harian, ditambah dengan konsumsi obat-obatan, vitamin, dan suplemen, sering kali menimbulkan kejenuhan.
Ketika rasa sakit di mata semakin parah, kram di kepala dan kaki semakin terasa, serta tangan mulai kaku, Debrin menemukan ketenangan dengan memandangi hasil lukisannya yang menghubungkannya dengan Sang Khalik. Melukis menjadi sahabatnya dalam melawan kebosanan terapi medis.
Putra pertamanya, Aditya P. Jatikusumo, S.Psi, juga turut memberikan semangat dan trik psikologis untuk mengatasi kebosanan tersebut. Aditya sendiri berjuang melawan amnesia parsial selama sembilan bulan pasca kecelakaan bersama Debrin pada tahun 2017.
Kurator pameran, Dr. Ki Hadjar Pamadhi, MA (Hons), memberikan apresiasi terhadap karya Debrin.
“Ibu Debora Rini telah mulai mengembangkan dan mampu mengelola energi spiritual dengan baik,” ujarnya.
Pelukis senior Pupuk DP juga memberikan dukungan dan apresiasi atas perjuangan Debrin dalam mengatasi keterbatasan mata, seperti yang pernah ia alami.
Lukisan NyGSO Spirit diselesaikan dalam waktu 2,5 bulan, dari Juni hingga awal Agustus 2024. Melalui karyanya ini, Debrin ingin menyampaikan pesan kepada semua orang, terutama mereka yang sedang menderita sakit.
“Tetaplah berjuang menggali potensi bersama-Nya dan jadilah ksatria,” pesannya. Suhamdani