Beranda Daerah Solo Gusti Bhre dan Tantangan Dualitas Monarki-Demokrasi di Pilkada Solo

Gusti Bhre dan Tantangan Dualitas Monarki-Demokrasi di Pilkada Solo

Menyoal Monarki Vs Demokrasi
Dosen dan Sejarawan UNS, Insiwi Febriary Setiasih, S.S., M.A dan Gusti Bhre yang tengah berkegiatan | Kolase: Suhamdani

SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM Wacana bakal majunya KGPAA Mangkunegoro X atau yang akrab disapa Gusti Bhre dalam kontestasi  Pilkada 2024, menjadi fenomena menarik dan unik. Menarik karena Gusti Bhre yang secara hirarki tumbuh dalam tradisi monarki, terjun dalam rivalitas di alam demokrasi, yakni Pemilihan Walikota Solo 2024.

Banyak pertanyaan yang secara diam-diam muncul ke permukaan, ketika seorang raja turun ke gelanggang demokrasi. Andai menang, bagaimana nasib Mangkunegaran ke depan, bagaimana Gusti Bhre nanti saat berdiri di ranah monarki dan demokrasi sekaligus.

Anda saja kalah, bagaimana dampaknya bagi Gusti Bhre secara pribadi maupun Mangkunegaran sebagai entitas budaya di Kota Solo? Berikut perbincangan Joglosemarnews dengan dosen dan sejarawan UNS Surakarta, Insiwi Febriary Setiasih, S.S., M.A.

Bagaimana secara umum pandangan Anda terhadap sosok KGPAA Mangkunegara X (Gusti Bhre)?

Beliau adalah tokoh muda yang bagus, familier dan populer. Begitu ayahandanya wafat, beliau dilantik, dan menjadi public figure yang cukup populer. Positioning beliau sejak diangkat menjadi pengageng di Pura Mangkunegaran setelah ayahandanya wafat, cukup bagus dan positif dan diterima masyarakat dengan baik. Sebagai tokoh budaya, beliau banyak menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak dalam rangka revitalisasi Mangkunegaran. beliau mulai berhasil menjadikan Mangkunegaran sebagai destinasi dan tempat wisata baru sekaligus tempat berkegiatan bagi masyarakat. Positioning ini bagi Gusti Bhre sangat menguntungkan. Beliau sebagai tokoh mudah dan baru di Solo, langsung mendapatkan tempat di hati masyarakat.

Bagaimana pandangan Anda ketika Gusti Bhre akhirnya bakal mencalonkan diri dalam Pilkada Solo 2024?

Itulah, karena positioning yang bagus di masyarakat dan kalangan anak muda khsusunya — karena usia beliau yang masih sangat muda — membuat pihak-pihak tertentu mencoba menarik Gusti Bhre dari public figure budaya ke arah politik.

Apakah pencalonan di Pilakda Solo merupakan langkah tepat bagi Gusti Bhre?

Itulah yang sebenarnya menjadikan kekhawatiran kami – selaku sejarawan – karena di Pilkada itu beliau pasti akan ditarik dalam kepentingan-kepentingan yang mungkin di luar ekspektasi. Artinya, banyak hal sebetulnya harus diperhitungkan ketika Gusti Bhre saat melibatkan diri dalam kontestasi politik saat ini. Apakah sudah dipikirkan betul-betul, ataukah beliau mengambil momentum saja, kedekatan dengan eks Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka atau dekat dengan tokoh-tokoh yang lain.

Yang perlu diperhitungkan juga, nantinya mau tak mau Gusti Bhre  akan masuk dalam pusaran kepentingan  pihak A, pihak B, partai ini, partai itu, diseret oleh berbagai kepentingan, dan suatu saat nanti beliau akan berafilisi pada partai tertentu akhirnya nanti.

Andai Gusti Bhre benar-benar menang, bagaimana masa depan Mangkunegaran?

Kemungkinan ada dua kondisi yang akan terjadi. Apakah nanti partai-partai itu bisa bekerja dengan Gusti Bhre, atau apakah jutru Gusti Bhre yang harus menyesuaikan dengan keinginan partai. Apakah independensi Gusti Bhre saat yang saat ini berhasil membawa kemajuan Mangkunegaran dalam dua tiga tahun ini, menjadi top performance pariwisata. Apakah ketika nanti ketika beliau menjadi pengusa atau pejabat politik, top performance ini akan bertahan atau sebaliknya, malah turun. Eksistensi Pura Mangkunegaran ini yang perlu diperhitungkan. Apapun hasil pilkada yang akan datang kami berharap efeknya positif Mangkunegaran.

Baca Juga :  Solo Paragon Hadirkan Pesta Perayaan Tahun Baru Dengan Hadirkan Band Rock The Shadow

Di luar posisinya sebagai pengageng Mangkunegaran, apakah Gusti Bhre memiliki kecenderungan dekat dengan partai tertentu?

Sebenarnya, kalau dilihat dari genealogi politiknya, Gusti Bhre sebetulnya malah lebih dekat ke arah — mungkin tidak secara langsung — lebih dekat ke arah PDI Perjuangan, karena bapaknya dulu, dan masih punya saudara-saudara dari jalur itu, seperti Mas Paundra lah. Hanya saja, dengan kedinamisan politik, mungkin beliau punya perhitungan tertentu, ketika akhir-akhir ini kami melihat beliau lebih cenderung ke arah partai-partai seperti Gerindra, Golkar, dan para pendukung Prabowo Gibran. Langkah yang sebetulnya bagi saya pribadi sudah terbaca mengingat keterlibatan beliau dng banyak tokoh.

Sebenarnya apa alasan kekhawatiran Anda mengenai pencalonan Gusti Bhre ini?

Kami kan dari sudut pandang sejarah ya, maka kekhawatiran kami sebatas pada eksistensi Mangkunegaran.  Itu saja. Kan kalau di Kota Solo ini, bagaimanapun Mangkunegaran merupakan entitas budaya, yang memiliki struktur sendiri dan sangat dihormati oleh masyarakat. Nah, apabila nanti misalnya masuk dalam ranah politik, apakah itu akan membawa manfaat yang positif untuk Mangkunegaran, atau malah Mangkunegaran yang bakal terabaikan. Semoga saja hanya sekedar kekhawatiran belaka.

Bagaimana Gusti Bhre nanti menjaga keseimbangan antara statusnya sebagai Walikota dan sebagi raja di Mangkunegaran?

Itu kekhawatiran kami, kalau misalnya betul-betul menjadi walikokta, apakah ini nanti perannya juga bisa seimbang, perannya apakah juga sama. Atau ada salah satu yang terabaikan, kalau misalnya sampai pura Mangkunegaran eksistensinya yang sekarang sudah bagus-bagusnya, terabaikan, sayang sekali. Siapa nanti yang akan mengambil kebijakan di Pura. Siapa nanti yang akan melanjutkan kebijakannya, siapa yang akan melakukan lobi-lobi ke BUMN, siapa yang akan melakukan lobi-lobi dengan negara asing? Biasa kan, mereka adakan kunjungan petas, dan sebagainya. Oleh karena itu menjaga keseimbangan peran ini perlu sekali. Peran sebagai kepala daerah dan peran sebagai pemuka adat.

Apakah ada contoh-contoh lain dalam sejarah di Indonesia, di mana seorang pemimpin tradisional berhasil atau gagal dalam politik demokrasi?

Sejauh yang saya tahu, di Indonesia ini belum ada penguasa keraton atau entitas kebudayaan yang sekaligus sebagai pemimpin wilayah atau kepala daerah. Terkecuali Jogja yg memiliki UU Keistimewaan. Dan kalau Gusti Bhre ini nanti berhasil, bisa menjadi preseden bagi keraton-keraton yang lain di Indonesia. Sebaliknya kalau kalah, dampaknya kurang baik bagi keraton-keraton itu juga.

Apakah peran ganda yang akan dimainkan oleh Gusti Bhre selaku raja dan selaku Walikota tidak akan memunculkan masalah di kemudian hari?

Memainkan dua peran yang berseberangan itu tidak mudah. Karena nanti apabila beliau sebagai Pengageng sekaligus Walikota, pasti akan ada conflict of interest. Di situ letaknya. Misalnya saya membayangkan saja, apabila ada penganggaran tentang budaya atau pariwisata, walaupun mungkin sudah akan dibuat seadil mungkin, tapi terkait dengan pembangunan Mangkunegaran apapun itu, nanti akan ada conflict of interest di situ, karena Gusti Bhre merupakan bagian dari itu. Nah, apakah conflict of interest seperti ini sudah diperhitungkan oleh tim Gusti Bhre? Taruhlah itu menang karena pendukungnya banyak, utamanya anak-anak muda. Kan nggak berhenti di meraih kemenangan, tapi untuk keberlanjutannya. Apakah kedua peran ini nanti bisa dilakukan dengan baik oleh Gusti Bhre.

Baca Juga :  Penetrasi di Soloraya, Dealer Chery Hadir dengan Fasilitas Lengkap

Sikap apa yang mestinya diambil, sebelum pendaftaran di KPU berlangsung?

Kalau menurut saya, sebaiknya dipikirkan matang-matang dulu untuk lima tahun ini. Saya pikir, Gusti Bhre menjadi patron budaya di sini, di Kota Solo. Ini kan belum lama, baru 2 atau 3 tahun. Biarlah Beliau matang dulu, bayangan saya itu buat Mangkunegara sampai betul-betul punya nama internasional dan menjadi objek wisata internasional. Itu menurut pendapat pribadi saya.

Apakah sistem pemerintahan monarki dan demokrasi dapat melebur dalam diri seorang pemimpin?

Saya rasa agak sulit, karena memang sistem monarki dan demokrasi itu berbeda. Demokrasi itu intinya kan bottom up. Tapi monarki, itu sifatnya top down. Jadi antara keduanya merupakan dua hal yang berbeda dan berkebalikan. Makanya kalau ditanya, para abdi dalem pasti akan sendika dhawuh dengan patronnya. Akan muncul rasa bangga terhadap pimpinannya.  Sementara demokrasi nggak bisa gitu. Demokrasi harus mempertimbangkan pendapat banyak pihak. Saya kira Gusti Bhre sudah sangat faham dengan hal tersebut.

Kita lihat arus kuat sudah berhasil menggeret Gusti Bhre masuk ke pusaran politik, apa saran Anda untuk kebaikan Mangkunegaran dan masyarakat Solo?

Kalau memang akhirnya Gusti Bhre tetap melaju, mestinya beliau selama melakukan silaturahmi ke berbagai kalangan dan masyarakat, harus transparan sejak awal. Beliau harus mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai posisinya sebagai pemuka adat (Mangkunegaran) sekaligus nantinya menjadi kepala daerah. Beliau juga perlu meyakinkan kepada masyarakat, misalnya, kalau berhasil menjadi walikota, nanti Mangkunegaran akan bagaimana. Mungkin itu bisa menjadi bagian kampanye, ya. Itu perlu ditekankan sejak awal. Peran beliau di Mangkunegaran akan seperti apa, itu juga perlu disosialisasikan ke masyarakat. Apakah tahtanya akan beralih, ataukah akan rangkap jabatan sebagai walikota sekaligus sebagai raja. Suhamdani