JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024 mendatang, ditengarai bakal menghasilkan sejumlah “demokrasi kotak kosong”.
Pasalnya, ditengarai calon kepala daerah cenderung menggalang dukungan banyak partai untuk memenangkan Pilkada 2024 lewat calon tunggal, yang ujung-ujungnya berbuntut pada kotak kosong.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno mencontohkan, Pilkada Kabupaten Sumenep berpeluang melahirkan satu pasangan tunggal, yakni Achmad Fauzi Wongsojudo-KH. Imam Hasyim (Fauzi-Imam).
Adapun daerah itu merupakan basis suara Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau Sekjen PBNU Saifullah Yusuf alias Gus Ipul.
Tak hanya di Sumenenp, Pilkada lawan kotak kosong juga terjadi di Pilkada Kota Batam. Dari 12 partai, setidaknya saat ini sudah ada 11 partai mengusung pasangan Amsakar Achmad dan Li Claudia Chandra.
Merespon kondisi tersebut, sejumlah pakar menyampaikan pandangannya.
Direktur Eksekutif Parameter Politik
“Saya kira fenomena kotak kosong di pilkada akan banyak bermunculan di Indonesia,” Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno dalam pesan suara yang diterima Tempo melalui aplikasi WhatsApp, Minggu (4/8/2024).
Menurutnya, banyak partai politik yang tidak semangat untuk saling bertarung dan para elit partai lebih memilih berkongsi dengan figur paling kuat untuk diusung.
“Mereka lelah secara politik, logistik, dan mesin. Mereka juga masih belum move on terkait pemilu yang lalu,” kata Adi.
Adi menilai bahwa fenomena ini memerosotkan praktik demokrasi. Dia menyayangkan partai politik lebih memilih untuk mengusung calon tunggal yang memunculkan kotak kosong.
“Kalau partai politik pada akhirnya berkongsi dan berkoalisi tanpa memajukan calon penantang, ya di situlah demokrasi macet,” kata Adi.
Pakar politik Universitas Al Azhar Indonesia
Pakar politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menyebut kemunculan fenomena kotak kosong disebabkan oleh kegagalannya kaderisasi partai politik serta ada kecenderungan bagi partai politik ingin menang tanpa punya lawan.
Ujang menilai kemunculan pasangan calon tunggal yang melawan kosong hanya akan memundurkan demokrasi karena tidak memberikan akses bagi calon pemimpin unggul dan terbaik.
“Anak-anak bangsa yang berprestasi dan bagus tak diberi kesempatan untuk bisa memimpin daerah karena calonnya cuma satu,” kata Ujang.
Pakar hukum tata negara
Lebih lanjut, pakar hukum tata negara Feri Amsari menyebut fenomena merangkul semua partai untuk maju di pemilihan kepala daerah telah terjadi sejak lama.
“Tentu saja sebagai fenomena membuat demokrasi kita menjadi miskin, karena keterlibatan caleg kaya yang mampu memberikan mahar kepada partai politik sehingga tidak muncul pesaing-pesaing yang berpotensi membuat mereka kalah,” kata Feri kepada Tempo, Rabu (1/8/2024).
Ia mengklaim, kotak kosong bukanlah demokrasi sesungguhnya.
“Kotak kosong bukan demokrasi konstitusional proses pemilihan langsung, tetapi demokrasi rekayasa yang seolah-olah demokrasi, sejatinya adalah bancakan partai politik, dan kepentingan elite, dan calon-calon kepala daerah kaya yang mampu melakukan segala cara melakukan rekayasa kekuasaan,” ujarnya.
Menurut Feri, salah satu konsep demokrasi adalah pertarungan gagasan.
“Kalau hanya satu calon, gagasan apa yang dipertarungkan,” kata dia.
Feri menilai gagasan dipertarungkan agar pemilih punya alternatif pilihan yang menurut mereka baik.
“Bagaimana mereka bisa memilih gagasan kalau gagasan itu cuma muncul dari satu pasangan calon. Gagasan tidak muncul dari kotak kosong,” tandasnya.