JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Selama 10 tahun memimpin Indonesia, eks presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai mencatatkan kemunduran serius dalam aspek HAM, hukum dan demokrasi.
Penilaian itu dilontarkan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI).
Staf Advokasi PBHI, Annisa Azzahra, menilai pada realitanya janji perubahan Jokowi dalam 10 tahun kepemimpinannya justru mencatatkan kemunduran serius dalam aspek HAM, hukum, dan demokrasi.
“PBHI secara intensif memantau 10 tahun pemerintahan Jokowi mengidentifikasi dan menemukan bukti kuat tentang kemunduran sistemik lewat state capture corruption, sekuritisasi, hingga legalisme otokratis yang diterapkan selama dua periode pemerintahannya,” kata Annisa dalam keterangan resmi, Minggu (20/10/2024).
PBHI berpandangan bahwa Nawacita Jokowi merupakan janji yang berubah jadi dosa besar, yakni pengabaian atas HAM dan keadilan. Janji Jokowi yang tertuang dalam Nawacita yang merupakan handbook bagi pemerintah yang kemudian diadopsi dan menjadi rujukan terhadap rencana pembangunan Indonesia selama 10 tahun ke belakang, menurut dia, membawa harapan baru dan titik tumpu legitimasi politik Jokowi. Khususnya terkait penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Janji itu sangat krusial, kata Annisa, mengingat lawannya dalam pilpres, Prabowo Subianto, tersandera catatan hitam pelanggaran HAM masa lalu. Namun, dalam 10 tahunnya, Jokowi berhasil menjadi king of lip service karena janji-janji terkait penyelesaian kasus HAM masa lalu sangat minim dan bersifat kosmetik.
Annisa berkata bukti nyata dari ketidakseriusan pemerintah adalah melalui Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat (UKP-PPHB), mekanisme penyelesaian yang melanggengkan impunitas dan mengabaikan penyelesaian jalur peradilan bagi korban. Inisiatif itu menjadi cara pemerintah menutupi kegagalan untuk menuntaskan penyelesaian kasus melalui proses hukum yang valid.
Di akhir jabatan, Jokowi mengakui 12 dari 16 kasus pelanggaran HAM berat, termasuk Tragedi 1965, Trisakti, dan Talangsari, namun tidak disertai upaya rehabilitasi dan pemulihan bagi korban, serta tidak ada upaya memastikan ketidakberulangan dengan mengadili pelaku. Di sisi lain, situasi HAM pada masa pemerintahan Jokowi juga semakin buruk.
Contoh paling mencolok tentu situasi di Papua. Pemerintah terus mengedepankan pendekatan militeristik yang berujung pada pelanggaran HAM berat secara massif. Pendekatan itu menimbulkan berbagai bentuk kekerasan, mulai dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killings), hingga penyiksaan terhadap warga sipil.
Data PBHI menunjukkan bahwa sepanjang 2023, pelanggaran HAM di Papua terdiri atas penangkapan sewenang-wenang (42,6 persen), pembunuhan (30,8 persen), dan kekerasan seksual (2,6 persen).