JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Di tengah kesibukan presiden Prabowo menggelar pembekalan bagi para menterinya, para buruh sudah empat hari ini, Kamis (24/10/2024) menggelar unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, di dekat Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.
Para peserta demo tak beringsut atau turun semangat, meskipun hujan deras mengguyur.
Demo pada hari keempat pemerintahan Presiden Prabowo tersebut menuntut kenaikan upah minimum dan pencabutan UU Cipta Kerja Omnibus Law.
“Persatuan Buruh berkumpul di sini untuk meminta kepada Presiden baru kita, Pak Prabowo mengenai dua hal. Penghapusan Omnibus Law setidak-tidaknya klaster ketenagakerjaan dan perlindungan petani dan penyesuaian upah buruh sedikitnya 8 persen di 2025,” seru orator massa aksi.
Sekitar 3.000 buruh dari beragam industri di Jabodetabek itu memulai aksi dari ruas Jalan Medan Merdeka Selatan, tepatnya di depan Balai Kota DKI Jakarta.
Sekitar pukul 10.10 WIB, ruas jalan segera dipadati sejumlah bus dan kendaraan bermotor yang membawa demonstran.
Untuk diketahui, massa aksi berasal dari Partai Buruh, Serikat Pekerja Nasional (SPN), Konferensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi Pertambangan (FSPKEP) dan Federasi Serikat Pekerja Metal (FSPMI).
Masing-masing federasi dan serikat mengibarkan bendera yang bertuliskan nama lembaga masing-masing, dengan Partai Buruh memimpin jalannya massa di depan.
Setidaknya ada empat mobil komando aksi yang diturunkan dalam aksi itu.
Unjuk rasa buruh kali ini menuntut kenaikan upah minimum pada 2025 sebesar 8-10 persen tanpa Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023.
Selain itu, buruh juga mendesak pemerintah untuk mencabut UU Cipta Kerja Omnibus Law, khususnya klaster ketenagakerjaan dan perlindungan petani.
Unjuk rasa pada Kamis ini merupakan aksi awal dan akan terus berlanjut secara bergelombang pada 25-31 Oktober 2024 di masing-masing daerah, tepatnya di kantor gubernur atau wali kota di 350 kabupaten/kota dan 38 provinsi, kata orator.
Jika pemerintah tidak mendengarkan tuntutan aksi tersebut hingga rangkaian aksi gelombang hingga 31 Oktober mendatang, serikat buruh mengancam akan melakukan mogok nasional pada 11 atau 12 November tahun ini.
Sebelumnya, Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan penetapan upah minimum provinsi (UMP) untuk 2025 masih akan menggunakan rumus yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan.
“Sampai saat ini masih memakai regulasi PP Nomor 51 Tahun 2023,” ujar Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemnaker Indah Anggoro Putri ketika ditemui wartawan usai rapat kerja tertutup dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta, 28 Agustus 2024.
Dengan masih berlakunya aturan tersebut, yang merupakan revisi dari aturan sebelumnya yaitu PP Nomor 36 Tahun 2021, maka penghitungan formula untuk UMP tahun depan tetap akan menggunakan tiga variabel yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.
Indeks tertentu ditentukan oleh Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan tingkat penyerapan tenaga kerja dan rata-rata upah. Tidak hanya itu, dipertimbangkan pula faktor lain yang relevan dengan kondisi ketenagakerjaan.
Dengan patokan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023, UMP tahun 2024 naik rata-rata 3,5 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini ditolak buruh, yang menuntut kenaikan 8-10 persen.