JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Persentase anggota DPR RI 2024 – 2029 yang terindikasi memiliki afiliasi dengan jaringan bisnis sebesar 60 persen atau sejumlah 354 anggota.
Jumlah dan persentase ini terhitung melonjak cukup tinggi dibanding periode sebelumnya, yang hanya 55 persen. Demikian data yang diungkapkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dari Marepus Corner.
Peneliti ICW Yassar Aulia menyebut bahwa berdasarkan penelurusan pihaknya dari 31 Juli – 22 September 2024, diketahui politisi dengan afiliasi bisnis paling banyak berasal dari daerah pemilihan Jawa Timur (63), disusul Jawa Barat (57) dan Jawa Tengah (50).
Sementara itu, semua partai pemenang kursi di DPR memiliki kader politisi-pebisnis. Partai Gerindra menyumbang paling banyak dengan 65 kader, disusul PDIP (63), Golkar (60), PKB (42), Nasdem (41), PKS (30), PAN (29), dan Demokrat (24).
“Mengapa persentasenya bisa meningkat? secara sistem dan pranata hukum, biaya politik di Indonesia “dibuat” sangat mahal baik dalam hal kampanye ataupun bahkan untuk sekadar berorganisasi di dalam partai. Ada biaya yang harus dibayar secara legal ataupun biaya yang secara de facto harus dikeluarkan oleh partai maupun individu yang ingin berkontestasi di ajang politik,” ujar Yassar dalam acara diskusi publik bertajuk “Bayang-bayang Politisi-Pebisnis dalam Komposisi Dewan Perwakilan Rakyat Periode 2024 – 2029” pada Kamis (3/10/2024).
Yassar menyebut bahwa berdasarkan temuan ICW dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) beberapa waktu lalu, biaya yang harus dikeluarkan partai bisa mencapai miliaran.
Hal tersebut, menurut Yassar, menyebabkan demokrasi di Indonesia sangat transaksional sehingga mereka yang pada akhinya berhasil melenggang ke Senayan adalah orang-orang yang punya sumber daya material tinggi.
“Bahkan ada salah satu anggota DPR yang mengaku sampai harus mengeluarkan hingga 80 miliar,” ungkap Yassar.
Dia menyoroti para anggota DPR yang justru lebih banyak berorientasi pada kalkulasi untung-rugi. Mereka disebutnya lebih fokus berpikir bagaimana caranya uang yang telah mereka gelontorkan demi bisa duduk di kursi kekuasaan bisa ditebus. Hal ini tak jarang berujung pada kasus korupsi.
Yassar kemudian menyinggung fenomena yang disebut perburuan rente atau rent-seeking. Terminologi rent-seeking dalam institusi negara merujuk pada perilaku pejabat publik dalam memutuskan alokasi anggaran publik (APBN-APBD), atau kebijakan yang ditujukan untuk publik dengan motivasi mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok yang berimplikasi merugikan kepentingan publik, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
“Lalu, banyaknya kader partai dengan latar belakang pebisnis ini juga disebabkan kultur politik Indonesia yang sangat identik dengan apa yang disebut dengan kartel politik. Jadi ketimbang berkompetisi untuk meraup suara konstituen demi mengeluarkan kebijakan terbaik bagi rakyat, seringkali partai beroperasi dengan cara kolusif untuk mempertahankan posisi mereka. Secara sederhana ini paling mudah dilihat dari terbentuknya koalisi besar di pemerintahan saat ini,” jelas Yassar
Dampaknya, lanjut Yassar, tidak ada lagi ruang bagi publik untuk masuk dalam pertimbangan-pertimbangan tersebut karena mereka yang ada di kekuasaan sudah terlalu fokus memikirkan cara mengakomodir koalisi besar dan transaksi dengan segelintir pihak.
“Karena pemantauan dari ICW ini dilakukan atas inisiatif mandiri dan banyak didapatkan dari sumber-sumber opens-source, kami melihat dalam konteks akses informasi sesederhana latar belakang para anggota legislatif seringkali malah ditutup. Ini pada akhirnya membatasi pengawasan dari publik untuk mengungkap potensi-potensi konflik kepentingan yang pada gilirannya bisa menyuburkan kolusi dan memantik korupsi,” pungkasnya.