Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Mengenang Abah Petruk, Sosok Pecinta Silaturahmi

Bagus Atas Adji Wilatikta alias Pak Petruk (paling kiri) dalam salah satu kegiatan PWI Surakarta. Foto : dok

 

Catatan : Anas Syahirul

Innalillahi wa innailaihi roji’un. Kabar duka itu saya terima Senin petang ketika sedang ngobrol dengan wartawan di depan Kantor PWI Jateng di Semarang. “Pak Petruk meninggal dunia,” demikian bunyi WA. Sekalian saja kabar itu saya sampaikan ke mereka, karena Pak Petruk juga banyak dikenal di kalangan temen-temen di Semarang karena dia lama bekerja di Koran Wawasan, terbitan Suara Merdeka Grup di Semarang.

Nama lengkapnya Bagus Atas Adji Wilatikta. Namun, lebih akrab disapa Pak Petruk atau banyak juga yang memanggilnya Abah Petruk. Dipanggil Abah oleh wartawan-wartawan muda yang terus bermunculan di Soloraya, karena mereka menganggap almarhum bukan hanya sebagai teman sesama profesi melainkan sudah seperti sesepuhnya.

Saya sendiri juga tidak tahu, sejak kapan almarhum disapa Pak Petruk. Karena begitu mengenal almarhum sekitar tahun 1996, saya sudah mendengar almarhum selalu mengenalkan diri dengan sapaan “Petruk” kepada para narasumbernya. Mungkin wartawan-wartawan senior saya yang lebih paham mengapa dia dipanggil Pak Petruk. Dulu kami juga sering memanggilnya Pak Piter, plesetan dari Petruk.

Perkenalan dengan Pak Petruk lebih akrab ketika kami sama-sama ‘ngepos’ di desk hukum kriminal kisaran tahun 1998-2000. Almarhum dari Koran Wawasan, saya dari Jateng Pos yang bermetamorfosa menjadi Koran Radar Solo. Saat itu hanya beberapa gelintir wartawan (tak sampai 10 orang)  yang biasa ‘menduduki’ Posko Cemoro, sebutan untuk tempat nongkrong kami memantau informasi dari Polres Surakarta yang kemudian berganti nama menjadi Polresta Surakarta, yang kala itu masih berkantor di Manahan.

Dari segelintir wartawan yang setiap hari selalu meriung di Posko Cemoro kala itu ada pula nama-nama lain yakni Budi Santoso (Koran Suara Merdeka), Herman Ady Rahman (RRI), Amir Tohari (Koran Solopos), Verdy Bagus (Wawasan yang kemudian pindah ke Solopos), almarhum Imbang Pambudy (Solopos), ‘Dodo’ Junianto  (Koran Surya), Andjar Hari Wartono (Koran Kedaulatan Rakyat) dan Sri Hartanto, akrab disapa Gondes yang mengawali karir wartawan di Koran Pos Kita. Sebagian besar sudah tidak aktif lagi menjadi wartawan di lapangan. Saya sengaja menyebut dengan kata Koran, karena saat itu belum ada media online.

Dulu, setiap koran lokal selalu menugaskan wartawannya untuk mengamankan liputannya sesuai desk liputannya saja. Kecuali kalau bertugas “banjeli” rekan yang tidak masuk. Ada yang mengamankan liputan hukum kriminal, olahraga, ekonomi, kota, pemerintahan dan seterusnya.

Karena kami yang ngepos di Posko Cemoro hanya segilintir orang, maka keakraban pun terjalin lebih intensif. Ibaratnya setiap hari selalu ‘ubyang-ubyung’ ke sana-kemari menunaikan tugas mencari berita, mulai dari urusan liputan sampai urusan yang lain. Keakraban terjalin sampai ke rumah masing-masing. Abah Petruk adalah ikon silaturahmi itu. Saya masih ingat, almarhum lah yang paling sering mempelopori untuk mengajak rekan-rekannya mendatangi rumah-rumah kami. Apalagi kalau ada salah satu dari kami yang absen karena sakit, Abah Petruk selalu tak sabar untuk mengajak menjenguk.

Abah Petruk adalah sosok yang gemar silaturahmi ke rumah para sahabatnya. Kadang hanya sekedar mampir karena lewat atau memang sengaja datang karena pingin ngobrol. Yang unik, mampir pun kadang hanya 5 sampai 10 menit saja kemudian pamit. Tapi itulah uniknya dia, bahwa silaturahmi itu bukan diukur sepanjang atau selama apa obrolan kita, tetapi niat dan kemauan untuk mau datang kepada orang lain.

Pernah suatu kali datang ke rumah saya dalam kondisi basah kuyup karena kehujanan, hanya karena ingin mampir sekalian menyampaikan titipan surat dari sebuah institusi. Kesukaannya sonjo ke rumah teman-temannya inilah yang patut diteladani dari almarhum. Banyak diakui oleh para temannya, almarhum adalah pecinta silaturahmi. Almarhum telah mengajarkan ajaran mulia tentang silaturahmi, yang makin sulit dilakukan banyak orang karena alasan kesibukan. Tapi almarhum mampu menyempatkannya.

Meski dari sisi usia paling tua, almarhum selama ini tidak pernah merasa si paling senior. Tak segan bertanya kepada yang lebih muda ketika dia tak paham informasi yang diperoleh saat liputan bareng. Begitu pula, selalu enthengan mentranskrip rekaman menjadi tulisan yang siap diolah menjadi berita oleh teman-temannya. Dulu, ketika wawancara narasumber masih menggunakan tape recorder yang kemudian harus ditranskrip terlebih dulu.

Abah Petruk meninggal di usia 71 tahun, ia menyembunyikan rasa sakitnya selama ini dari orang-orang dekatnya. Seminggu sebelum dipanggil Sang Khaliq, saya bersama istri sempat menjenguknya di ICU RSI Klaten. Kala itu, kondisi almarhum dalam kondisi tidak sadar. Saya ditemui oleh Bu Neni Ernawati, istri almarhum. Ini adalah untuk kesekian kalinya almarhum masuk rumah sakit, sebelumnya juga pernah dirawat di RS Sardjito.

Bu Neni bercerita, bahwa almarhum selalu menyanggah kalau dibilang sakit. Ia memilih memendam sakitnya dan selalu berusaha menolak dibawa ke dokter atau ke rumah sakit, hal itu dilakukannya karena tidak mau merepotkan anggota keluarganya. Almarhum mending menahan sakitnya agar tidak membuat susah keluarganya. Ia baru mau dibawa ke rumah sakit ketika dipaksa.

Almarhum adalah tipikal sosok yang tangguh, supel dan penuh daya juang. Ia suka bercerita kepada teman-temannya termasuk kepada para yuniornya. Apapun ia ceritakan. Salah satu kebanggannya adalah ketika dia bisa bercerita tentang kisah keberhasilan anak-anaknya. Kepada kami, ia bercerita bahwa tugasnya sebagai orang tua sudah terpenuhi menjadikan anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang layak dan berhasil di bidangnya masing-masing. Ia juga sering bercerita tentang cucunya yang selalu membuatnya senang.

Almarhum sangat menikmati dengan hidupnya yang bersahaja. Sepanjang bergaul dengannya, saya tidak pernah melihat dia melampiaskan emosi kemarahannya. Ia orang yang legawa dengan apa yang diterima dan dijalaninya. Bagi para teman-temannya, terutama para yunior seprofesinya, almarhum bukan sekedar teman tapi sudah seperti orang tuanya, sehingga sebutan Abah melekat dengannya.

Sang petarung tangguh itu kini telah tiada. Abah, semoga engkau tenang disana, mendapat tempat terbaik di sisi-Nya….Amiin Ya Rabbal Alamiin.

Solo, 7 Oktober 2024

 

 

Exit mobile version