Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Walhi Curiga Ada “Main Mata” di Balik Pembukaan Ekspor Pasir Laut, Ada Kepentingan Politik Pilpres dan Pilkada 2024?

Sebuah kapal tunda menarik tongkang berisi pasir laut | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencurigai pembukaan keran ekspor pasir laut oleh Presiden Jokowi ini berkorelasi dengan kontestasi politik pada Pilpres 2024 dan Pilkada Serentak 2024.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi, Parid Ridwanuddin mengatakan,  ujung pemberian izin dari pengerukan pasir laut itu berada di pemerintah daerah.

Karena itulah, dia mencurigai sudah ada desain untuk memenangkan calon tertentu untuk memuluskan upaya mengeruk pasir laut untuk kebutuhan reklamasi dan ekspor.

“Kami dengar salah satu pasangan calon di Jakarta berkoar-koar ingin melanjutkan pembangunan tanggul laut. Lalu di Semarang, ada proyek tanggul laut yang akan dilanjutkan dari Jakarta sampai Jawa Timur. Di Surabaya juga ada proses reklamasi yang ditolak nelayan. Jadi ini semua terhubung ke Pilkada yang ada di Indonesia,” tutur Parid kepada Tempo, Senin (7/10/2024).

Termasuk di Kepulauan Riau, Walhi menyatakan melihat cukup luas untuk rencana pemberian izin yang alokasinya akan di ekspor ke negara lain. “Kalau selat Makassar yang dekat Kalimantan itu memang disebut oleh Menteri KKP untuk menyuplai pembangunan di IKN,” ucapnya.

Tak hanya berkepentingan di pilkada, 66 perusahaan yang bakal mendapat izin pengerukan pasir laut juga diyakini terhubung ke para aktor di Pilpres 2024 lalu alias politik balas budi. Menurut dia, nama yang sudah terungkap ke publik yakni Yusril Ihza Mahendra dan Hashim Djojohadikusumo.

“Seharusnya dari awal pemerintah membuka profil perusahaan sehingga bisa lebih transparan,” ucapnya.

Parid meminta pengerukan pasir laut ini harus dihentikan dengan mencabut Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Menurut kajian Walhi, kerugian negara yang bisa didapatkan bisa lima kali lipat dibanding keuntungan ekonomi yang didapatkan. Seperti diketahui, asosiasi perusahaan pasir laut menyebutkan akan membayar Rp 18,6 juta/hektare.

“Itu baru kerugian ekonomi, belum hilangnya biodiversitas, hancurnya ekonomi nelayan, pulau-pulau kecil yang tenggelam. Semua itu justru lebih besar dibandingkan keuntungan ekonomi yang jangka pendek tersebut,” kata Parid.

Parid mengatakan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak terbuka dengan profil 66 perusahaan yang bakal mendapat izin mengeruk pasir laut. Puluhan perusahaan itu tidak diketahui apakah merupakan pemain yang baru jika dibandingkan saat izin belum ditutup lebih dari dua dekade lalu. Atau, sama saja.

“Pemberian izin menunjukkan pemerintah selama ini memang hanya memberikan karpet merah kepada korporasi besar,” katanya.  #tempo.co

Exit mobile version