Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Eks Wakapolri, Oegroseno Pertanyakan Penetapan Tersangka Tom Lembong dalam Kasus Korupsi Impor Gula

Eks Wakapolri, Komjen (Purn) Oegroseno dan eks Menteri Perdagangan (Mendag) sekaligus tersangka korupsi impor gula, Tom Lembong | tribunnews

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Mantan Wakapolri, Komjen (Purn) Oegroseno, mempertanyakan mekanisme yang digunakan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam penetapan tersangka terhadap mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, dalam kasus dugaan korupsi impor gula.

Oegroseno mengkritik pernyataan pihak Kejagung yang menganggap tidak perlu ada bukti penerimaan aliran uang untuk menetapkan Lembong sebagai tersangka dalam kasus ini.

Menurut Oegroseno, dalam perkara tindak pidana khusus, khususnya korupsi, unsur yang menguatkan tuduhan harus dapat dibuktikan secara rinci. Dia menekankan pentingnya pembuktian terkait dugaan bahwa tersangka telah merugikan negara dan memperkaya diri sendiri atau pihak lain.

“Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 kemudian UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Korupsi sudah jelas mengatur bahwa seseorang atau korporasi yang memperkaya diri secara melawan hukum dan merugikan negara harus dibuktikan,” jelas Oegroseno dalam sebuah siniar yang ditayangkan di YouTube Abraham Samad pada Minggu (3/11/2024).

Oegroseno mengaku heran dengan pernyataan Kejagung yang mengesampingkan bukti aliran dana dalam kasus yang menjerat Lembong. Ia bahkan mempertanyakan latar belakang pendidikan jaksa yang menangani perkara ini.

“Kalau seorang jaksa mengatakan tidak perlu ada aliran dana, ini jaksa sekolah di mana? Saya nggak tahu,” ujarnya, sembari menyindir soal ijazah palsu yang belakangan ini ramai dibicarakan.

Lebih lanjut, Oegroseno menjelaskan mekanisme penyelidikan di institusi kepolisian, yang menurutnya berbeda dengan mekanisme di Kejagung. Di kepolisian, penyelidikan dimulai dengan adanya laporan pelapor atau Laporan Polisi (LP).

Sementara itu, di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyelidikan dilakukan berdasarkan Laporan Kejadian (LK).

“Laporan itu menjadi dasar dikeluarkannya sprindik (Surat Perintah Penyidikan), kemudian baru dilanjutkan pemanggilan dan penyelidikan,” katanya.

Oegroseno juga meminta Kejagung agar lebih transparan terkait hasil pemeriksaan dalam kasus ini. Ia menegaskan bahwa jika Kejagung telah berani menangkap dan menahan Tom Lembong, maka seharusnya mereka juga telah memeriksa pihak terkait lainnya, termasuk pejabat di Kementerian Koordinator Ekonomi dan Bea Cukai.

“Kalau tidak ada kerugian negara, bagaimana bisa dikatakan korupsi? Apakah ada pengecualian dalam kasus Tom Lembong, yang katanya tidak perlu bukti aliran dana?” kata Oegroseno.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung melalui Kapuspenkum Harli Siregar, menyatakan bahwa penetapan Tom Lembong sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula tidak harus didasarkan pada bukti penerimaan aliran uang.

“Apa harus ada aliran dulu baru disebut sebagai tindak pidana korupsi?” ujar Harli pada Kamis (31/10/2024).

Harli menegaskan bahwa berdasarkan bukti yang ada, Kejaksaan Agung yakin terdapat unsur perbuatan korupsi dalam kebijakan impor gula yang diambil oleh Lembong saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan.

Kejaksaan mengungkapkan bahwa izin impor gula kristal mentah (GKM) untuk delapan perusahaan swasta yang diberikan oleh Lembong telah melanggar peraturan, di mana impor GKM seharusnya hanya dapat dilakukan oleh BUMN.

Senada dengan Harli, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menuturkan bahwa untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka korupsi, tidak harus ditemukan aliran dana ke rekening tersangka.

“Ketika unsur-unsur bahwa ia menguntungkan orang lain atau korporasi dengan perbuatan melawan hukum telah terpenuhi, maka yang bersangkutan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana,” kata Qohar.

Kejaksaan Agung menyatakan bahwa kebijakan impor gula yang dikeluarkan oleh Tom Lembong berpotensi merugikan negara, karena memberikan keuntungan kepada pihak swasta yang seharusnya tidak memiliki izin untuk impor tersebut.

 

 

Exit mobile version