JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Partai Buruh mengapresiasi langkah Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian uji materi Undang-Undang Cipta Kerja. Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menyebutkan bahwa keputusan ini menunjukkan keadilan masih hadir di tengah masyarakat.
“Kami sangat terharu dan mengapresiasi para hakim MK. Tidak ada dissenting opinion (pendapat berbeda) pada hari ini,” ungkap Said Iqbal di Gedung I MK, Jakarta, Kamis (31/10/2024).
MK menyetujui sebagian pengujian konstitusional terhadap 21 norma dalam UU Ciptaker yang diajukan oleh Partai Buruh bersama sejumlah serikat pekerja. Said menyoroti bahwa seluruh sembilan hakim konstitusi bulat dalam keputusan ini, termasuk perintah MK kepada DPR dan pemerintah untuk segera menyusun undang-undang ketenagakerjaan yang baru, yang berdiri sendiri dan terpisah dari UU Ciptaker.
Said Iqbal menekankan, DPR harus mematuhi sepenuhnya putusan MK tanpa tafsir yang berbeda. Ia juga mengharapkan Presiden Prabowo Subianto mendukung keputusan ini demi kepentingan rakyat.
Pada amar putusannya, MK memerintahkan pembentuk undang-undang untuk menyusun UU Ketenagakerjaan yang baru dan memisahkannya dari UU Ciptaker, dengan waktu maksimal dua tahun.
Hakim MK Enny Nurbaningsih menyebutkan bahwa dengan adanya UU baru yang berdiri sendiri, ketidakharmonisan aturan yang berpotensi mengancam hak pekerja dan pemberi kerja bisa dihindari. Ia juga menekankan agar proses penyusunan melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja dan buruh.
Terkait beberapa norma spesifik, MK menetapkan jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maksimal lima tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan. Ketentuan ini, menurut MK, harus diatur dalam undang-undang untuk melindungi posisi pekerja yang lebih lemah dalam perjanjian kerja.
Pada aspek alih daya (outsourcing), MK menggarisbawahi bahwa pekerjaan dengan tenaga alih daya hanya boleh diterapkan pada pekerjaan bukan inti, seperti kebersihan, keamanan, katering, dan pengemudi. MK menilai bahwa aturan ini lebih sesuai dengan UU Ketenagakerjaan lama.
MK juga menilai bahwa alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam UU Ciptaker terlalu beragam dan membolehkan PHK atas dasar efisiensi yang berpotensi merugikan pekerja. Dalam putusannya, MK memerintahkan agar pengaturan alasan PHK kembali mengacu pada UU Ketenagakerjaan sebelumnya untuk perlindungan yang lebih adil.
Dalam hal besaran pesangon, MK mengembalikan nilai perhitungan sesuai UU Ketenagakerjaan lama, termasuk menghapus pengurangan nilai penggantian hak sebesar 15% dari pesangon. Hal ini dilakukan untuk memastikan pekerja mendapat perlindungan yang lebih memadai.
Secara keseluruhan, MK menyoroti bahwa tumpang tindih antara norma di UU Ketenagakerjaan dan UU Ciptaker dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang berdampak buruk pada perlindungan hak pekerja. MK mengingatkan bahwa jika persoalan ini tidak segera diselesaikan, tata kelola hukum ketenagakerjaan di Indonesia dapat terjebak dalam ketidakadilan yang berkepanjangan.