Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Gaji Dibawah UMK, Buruh Pasrah Pengusaha Tak Berdaya

Buruh

Ilustrasi buruh. AI

WONOGIRI, JOGLOSEMARNEWS.COM – Realitas di dunia ketenagakerjaan Indonesia menunjukkan bahwa Upah Minimum Kabupaten (UMK), Upah Minimum Regional (UMR), maupun Upah Minimum Nasional (UMN) sering kali hanya menjadi patokan semata.

Banyak buruh mengaku menerima gaji di bawah standar ini selama bertahun-tahun. Kalangan pengusaha pun menyatakan hal yang sama karena kondisi keuangan perusahaan tidak memungkinkan untuk memenuhi ketentuan tersebut.

Buruh : Yang Penting Tetap Ada Penghasilan

Banyak buruh mengaku memahami situasi perusahaan yang kesulitan keuangan. RI seorang buruh pabrik di Wonogiri mengatakan bahwa ia sudah beberapa tahun bekerja dengan gaji di bawah UMK.

“Kami sadar, perusahaan tempat kami bekerja tidak besar. Kalau dipaksa bayar sesuai UMK, mungkin pabrik ini sudah tutup. Yang penting buat kami, tetap ada pekerjaan dan penghasilan meskipun kecil,” ungkap dia, Sabtu (14/12/2024).

Hal senada disampaikan oleh AN seorang buruh sektor tekstil.

“Daripada dipaksa bayar sesuai aturan terus kami di-PHK atau pabrik bangkrut, lebih baik kami menerima apa adanya. Meski tidak cukup untuk kebutuhan keluarga, setidaknya ada pemasukan dibandingkan tidak sama sekali,” kata AN.

Beberapa buruh bahkan merasa bersyukur karena masih bisa bekerja meskipun gaji yang diterima jauh dari layak.

“Sekarang ini, cari pekerjaan sulit. Kalau perusahaan bangkrut, kami mau kerja di mana? Jadi kami harus maklum dengan situasi ini,” ujar SR buruh konveksi di kabupaten Jateng tenggara.

Pengusaha: Kami Tidak Memiliki Pilihan

Di sisi lain, pengusaha juga mengeluhkan tekanan yang dihadapi akibat kewajiban membayar gaji sesuai UMK. HO, pemilik usaha kecil di sektor manufaktur, mengaku bahwa usahanya hanya mampu membayar buruh sebesar 70% dari UMK.

“Ini bukan karena kami tidak mau mengikuti aturan, tapi keuangan kami tidak memungkinkan. Kalau kami paksakan, perusahaan ini akan kolaps,” jelas dia.

Serupa, YA pengusaha di bidang kuliner, menyebut bahwa biaya operasional yang tinggi dan daya beli masyarakat yang menurun membuatnya kesulitan membayar karyawan sesuai standar.

“Kami sudah berusaha bertahan sebaik mungkin. Tapi kalau dipaksa membayar UMK, tidak mungkin. Bahkan kami sering harus mengorbankan keuntungan untuk tetap bisa menggaji karyawan,” tutur YA.

Bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), perbedaan kondisi finansial dengan perusahaan besar menjadi tantangan tersendiri.

UMK itu sebenarnya dirancang untuk perusahaan besar yang sudah mapan. Sementara kami, pelaku UKM, kondisinya jauh berbeda. Kalau aturan ini diberlakukan sama rata, banyak dari kami yang tidak akan mampu bertahan,” sebut DE.

Buruh dan pengusaha sama-sama berharap pemerintah memberikan solusi untuk masalah ini. Buruh meminta agar pemerintah tidak hanya menetapkan standar upah, tetapi juga memberikan perlindungan bagi karyawan di perusahaan kecil.

Pengusaha juga berharap pemerintah memberikan insentif atau subsidi bagi perusahaan kecil agar tidak terlalu terbebani. Pengusaha tidak menolak aturan UMK, tapi butuh dukungan. Kalau ada bantuan dari pemerintah, pengusaha tentu lebih mampu untuk membayar gaji sesuai standar.

Kondisi ini menunjukkan bahwa meski UMK, UMR, dan UMN dirancang untuk melindungi hak buruh, penerapannya masih jauh dari ideal. Diperlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan realistis agar kebijakan ini tidak menjadi beban yang terlalu berat bagi pengusaha, sekaligus tetap memberikan kesejahteraan bagi buruh. Aris Arianto

Exit mobile version