Beranda Umum Opini Keadilan untuk Orang Papua

Keadilan untuk Orang Papua

Mahasiswa papua mengikuti Aksi Kamisan 811 di seberang Istana Negara, Jakarta, Kamis 28 Maret 2024. Dalam aksinya mahasiswa Papua mengecam penyiksaan yang dilakukan TNI kepada warga Papua yang belakangan menjadi sorotan publik karena videonya tersebar di media sosial. Mereka menuntut pelaku dipecat dan dihukum sesuai perbuatannya | tempo.co
Farah Qurrota Ayuni, pemerhati masalah sosial budaya, Magister Antropologi Universitas Gadjah Mada, tinggal di Sleman, DIY

Sejak zaman kolonial sudah banyak terjadi kasus rasisme di Indonesia. Hal itu akibat superioritas antarras. Orang kulit putih dianggap lebih superior dibandingkan orang kulit hitam. Bentuk rasisme, di antaranya berupa diskriminasi dan penindasan melalui kekerasan, pembatasan akses, dan cemoohan. Rasisme tidak hanya terjadi antara orang Barat dengan pribumi, namun juga antarorang Indonesia, bahkan pascakemerdekaan. Kasus rasisme antarorang Indonesia yang masih dan sering terjadi adalah kasus rasisme terhadap orang-orang yang berasal dari Indonesia bagian Timur, terutama orang-orang Papua.

Ada banyak kasus rasisme terhadap orang Papua, baik di luar maupun di tanah Papua. Kasus rasisme yang terjadi di luar Papua umumnya dialami orang Papua yang tinggal di luar Papua. Beberapa kasus di antaranya adalah kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta pada 2016, kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 2019, ancaman intimidasi terhadap mahasiswa aktivis yang memperjuangkan hak orang Papua di Lampung pada 2020, dan masih banyak lagi kasus lainnya.

Sedangkan kasus yang terjadi di tanah Papua umumnya berupa konflik antara pihak aparat dengan warga Papua, seperti pembunuhan yang tidak sesuai dengan proses hukum, penangkapan dan penahanan tanpa surat keterangan, dan kekerasan fisik.

Kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 2019 bermula dari tuduhan atas perusakan bendera Indonesia di depan asrama mahasiswa, yang tidak terbukti kebenarannya. Pada  17 Agustus 2019, sekitar 43 orang mahasiswa Papua dikepung di asrama oleh masyarakat dan aparat, dicemooh dengan sebutan “monyet”, ditembakkan dengan gas air mata, ditangkap, dan ditahan di kantor polisi.

Tak hanya itu, penyebaran berita hoax terkait perusakan bendera Indonesia juga marak dilakukan di internet pada saat itu. Kasus ini membuat banyak orang merasa marah, terutama orang Papua. Gerakan Papuan Lives Matter pun dilakukan di berbagai kota di Indonesia sebagai bentuk protes dan kecaman terhadap kasus rasisme yang berlangsung. Namun, di beberapa kota, pihak aparat justru melakukan kekerasan terhadap warga yang melakukan gerakan tersebut, dan menangkap orang-orang yang mengibarkan bendera Bintang Kejora.

Sedangkan, yang terjadi di Yogyakarta adalah pengepungan mahasiswa Papua di asrama mahasiswa oleh pihak kepolisian dan organisasi Masyarakat. Pemicunya, para mahasiswa Papua yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat berencana menggelar media untuk penyampaian pendapat pada 13-16 Juli 2016. Ketika pengepungan dilakukan, para mahasiswa mendapatkan cemoohan yang rasis (Tama, 2016). Bahkan, pihak aparat turut menangkap orang-orang yang mendukung pembebasan Papua Barat (Charity, 2023). Tak hanya itu, banyak pula mahasiswa Papua yang tidak diizinkan untuk tinggal di kost karena stigma dan pengalaman buruk pemilik kost, seperti suka berbuat onar, telat membayar sewa, dan melanggar peraturan (Ulya, 2016).

Kasus yang terjadi di Lampung pada 2020 juga berawal dari teror yang didapat oleh mahasiswa Universitas Lampung yang berencana menggelar diskusi mengenai isu rasisme terhadap orang Papua. Teror tersebut disampaikan melalui aplikasi WhatsApp oleh orang tak dikenal, yang berisikan ancaman terhadap orang tua mereka dan tuduhan bahwa mereka telah memprovokasi dengan mengadakan diskusi. Tak hanya itu, akun aplikasi Gojek mereka juga diretas sehingga mereka menerima pesanan makanan yang sebenarnya tidak pernah mereka pesan (Siddiq, 2020).

Di balik kasus-kasus yang diberitakan, tentunya masih ada banyak kasus rasisme terhadap orang Papua yang tidak diberitakan. Berdasarkan pengalaman beberapa mahasiswa Papua di luar Papua, ungkapan-ungkapan rasisme masih mereka dapatkan, contohnya anggapan bahwa orang Papua kanibal, dekil, kotor, tidak mampu secara ekonomi, bau, terbelakang, dan masih banyak lagi. Anggapan seperti ini merupakan bentuk prejudice atau prasangka yang kemudian menjadi stereotip dan stigma orang Papua. Prasangka seperti ini berdampak buruk karena dapat menimbulkan perpecahan, kebencian yang ekstrim, dan konflik, yang tentunya sangat bertentangan dengan semboyan Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”.

Tak hanya prasangka, stereotip, dan stigma, bentuk rasisme juga dapat berupa perampasan hak dan pembatasan akses. Keduanya umum ditemukan dalam sistem, di mana pihak berwenang menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk menindas kelompok minoritas, dalam kasus ini orang Papua. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa Papua memiliki potensi sumber daya alam yang sangat tinggi dan dianggap memiliki nilai yang menguntungkan bagi negara. Oleh karena itu, pemerintah pun mengupayakan pembangunan di Papua.

Sayangnya, dalam proses pembangunan itu pun terjadi penindasan. Banyak orang Papua yang telah kehilangan lahannya karena digusur untuk pembangunan pertambangan dan perkebunan sawit. Tak hanya itu, luas lahan hutan dan tanah adat juga semakin berkurang, yang sangat memprihatinkan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan. Di sisi lain, orang Papua juga memiliki akses yang sangat terbatas ke sumber daya alam, karena pembangunan infrastruktur di Papua masih terbilang rendah.

Rendahnya pembangunan infrastruktur di Papua seharusnya tidak hanya menjadi tamparan bagi kita, namun juga bagi pemerintah. Indonesia mampu melihat potensi yang dimiliki Papua, namun pembangunan yang dilakukan di sana juga dilakukan dengan melakukan penindasan dan berorientasi pada profit. Keadilan untuk orang Papua pun menjadi sangat dipertanyakan. Padahal, dalam sila kelima Pancasila tersebut ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Jadi, di manakah letak ‘keadilan sosial’ yang dimaksud itu?

Jika kita menilik pada sejarah, rasisme terhadap orang Papua tidak serta-merta muncul begitu saja. Pada awalnya, ketika mempersiapkan kemerdekaan, mayoritas anggota BPUPKI ingin agar semua tanah bekas jajahan Hindia Belanda menjadi bagian negara Indonesia setelah merdeka, termasuk Papua, kecuali Moh. Hatta yang menyerahkan keputusan ikut Indonesia atau tidak kepada orang-orang Papua. Hal tersebut diupayakan agar tanah Papua tidak kembali dijajah oleh Belanda. Bahkan, sempat ada rencana penggantian nama dari Papua menjadi Irian yang berarti ‘Ikuti Republik Indonesia Anti Nederlands’. Konflik antara Indonesia dan Belanda mengenai hak otoritas Papua pun masih berlanjut pasca kemerdekaan, terutama di Konferensi Meja Bundar pada 23 Agustus 1949, di mana Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, namun menolak penggabungan Irian ke dalam wilayah Indonesia. Alih-alih, Belanda mengakui Irian atau Papua sebagai negara merdeka tersendiri dan sudah didaftarkan di PBB.

Konflik antara Belanda dan Indonesia terus berlanjut, hingga akhirnya Belanda bersedia untuk menyerahkan Papua kepada Indonesia di Perjanjian New York pada 1962, dengan syarat Indonesia harus melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). PEPERA adalah sebuah pemilihan umum khusus rakyat Papua untuk menentukan apakah mereka akan mengikuti Indonesia atau merdeka sebagai negara sendiri, dan dilaksanakan mulai 14 Juli hingga 2 Agustus 1969. Hasil PEPERA menunjukkan bahwa sekitar 1.026 orang memilih untuk bergabung dengan Indonesia. Namun, para peserta PEPERA itu sebenarnya dipilih untuk menjadi ‘representasi’ orang Papua dari total populasi satu juta orang, karena orang Papua dianggap terlalu ‘primitif’. Pihak militer Indonesia juga turut mengintimidasi dan mengancam akan melakukan tindak kekerasan kepada orang Papua jika tidak memilih untuk mengikuti Indonesia (Free West Papua Campaign, 2014).

Pasca penggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia, pemerintah Indonesia pada saat itu justru gencar mengeruk dan mengeksploitasi sumber daya alam di Papua demi keuntungan, sehingga banyak warga Papua yang kekurangan sumber daya alam untuk bertahan hidup. Bahkan, banyak orang Papua yang dibunuh dan ditindas oleh pihak militer hanya demi pembangunan pertambangan dan perkebunan sawit di Papua. Ada pula orang Papua yang dipekerjakan secara tidak layak karena tidak dibayar upah yang setara (Free West Papua Campaign, 2014).

Salah satu suku yang mengalami gizi buruk yang paling parah adalah suku Asmat. Meski beberapa upaya sudah dilakukan untuk mengatasi masalah ini, masih banyak orang Asmat yang mengalami gizi buruk, bahkan angka orang yang meninggal masih sangat tinggi, terutama di daerah pedalaman yang sulit dijangkau karena harus melewati sungai dan hutan, sedangkan tidak semua warga memiliki perahu. Sementara itu, jumlah puskesmas yang masih beroperasi di Kabupaten Asmat hanya ada 46 dari total 68 puskemas, yang masih sangat terbatas mengingat ada 225 desa di Kabupaten Asmat (Narasi, 2024).

Kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan orang Papua, penindasan yang dilakukan oleh pihak berwenang kepada orang Papua, dan banyaknya jumlah kasus rasisme terhadap orang Papua yang tidak diproses secara hukum inilah yang menyebabkan orang-orang mulai menormalisasikan rasisme terhadap orang Papua. Hal tersebut juga dikarenakan perasaan superior yang ada di dalam diri seseorang, atau bisa disebut rasialisme, di mana seseorang merasa bahwa hidupnya sebagai ras tertentu jauh lebih baik daripada ras lain (Haryono, 2022, p. 404).

Selain itu, faktor latar belakang dan interaksi sosial juga sangat berpengaruh. Seseorang yang tinggal di lingkungan plural sangat mungkin memiliki tingkat toleransi yang tinggi. Kesalahan dalam suatu informasi mengenai suatu kelompok juga dapat menimbulkan prasangka dan stigma terhadap kelompok tersebut.

Di sisi lain, Indonesia sebagai negara plural dan demokratis tentunya memiliki hukum yang mengatur kasus rasisme dan diskriminasi antarras dan etnis. Hukum yang mengatur, di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024. Dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008, disebutkan bahwa bagi pelaku rasisme akan dikenai hukuman penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta, sebagaimana disebutkan di bawah ini.

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Selain itu, disebutkan juga pada Pasal 16 dan Pasal 17, sebagai berikut.

“Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 4, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari masing-masing ancaman pidana maksimumnya.”

Tindakan-tindakan diskriminatif terhadap ras dan etnis tertentu yang dimaksud dalam Pasal 4 adalah sebagai berikut:

“Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa :

  1. memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau
  2. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:
  3. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;
  4. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
  5. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau
  6. melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.”

Sedangkan, dalam Pasal 45a ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, disebutkan sebagai berikut.

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Kendati demikian, masih banyak kasus rasisme yang tidak diproses secara hukum, bahkan ironinya pelakunya adalah pihak berwenang itu sendiri. Seperti yang telah disampaikan, bahwa rasisme terhadap orang Papua masih banyak terjadi hingga sekarang. Bahkan, pada Aksi Kamisan yang dilakukan setiap hari Kamis juga telah beberapa kali menyoroti isu rasisme terhadap orang Papua. Banyak orang yang membawa poster berisi kecaman dan protes terhadap kasus rasisme kepada orang Papua. Bahkan, ada beberapa orang Papua yang datang dari Papua ke kota-kota di Jawa untuk menyuarakan diskriminasi yang mereka alami di sana, karena Aksi Kamisan dilarang untuk dilakukan di Papua.

Protes tersebut masih sering terjadi karena pihak pemerintah masih mengabaikan kasus-kasus diskriminasi terhadap orang Papua. Ketika Indonesia menginginkan agar Papua bergabung menjadi bagian negara, seharusnya hal tersebut disertai dengan penyejahteraan rakyat Papua. Namun, kenyataannya, banyak suku di Papua yang masih mengalami gizi buruk dan masalah kesehatan lainnya, seperti Suku Asmat. Bahkan, setelah tumbangnya pemerintahan Soeharto dan hasil PEPERA ditolak oleh Kongres, pihak militer Indonesia masih mengintimidasi, membunuh, dan menangkap orang Papua di tengah perjuangan mereka atas kemerdekaan Papua (Free West Papua Campaign, 2014).

Terlepas dari berbagai kasus rasisme yang dialami orang Papua, kurangnya ketegasan dalam proses hukum juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan normalisasi terhadap tindak rasis terhadap orang Papua. Tak hanya masyarakat, pihak pemerintah pun seharusnya membuka mata dan bertindak lebih serius dalam mengatasi permasalahan yang dialami oleh orang Papua, jika masih ingin menganggap Papua sebagai bagian dari Indonesia. Kita sebagai bangsa Indonesia juga memiliki tugas untuk tidak mendiskriminasi orang Papua atas dasar apa pun, serta memberikan ruang bagi mereka untuk bersuara mengenai ketidakadilan yang mereka alami. [*]

 

Farah Qurrota Ayuni, pemerhati masalah sosial budaya, Magister Antropologi Universitas Gadjah Mada, tinggal di Sleman, DIY.