JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Rencana Presiden Prabowo yang akan memaafkan koruptor dengan syarat mengembalikan uang negara yang dikorupsinya, dinilai sebagai langkah yang cukup membahayakan dari sisi penegakan hukum.
Penilaian itu dilontarkan oleh peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman.
Ia menilai, rencana memaafkan koruptor dengan jalan memberikan amnesti dan abolisi sangat berbahaya terhadap penegakan hukum dan memicu ketidakadilan perlakuan antara koruptor dan pelaku tindak pidana lainnya.
“Usulan itu bukan merupakan solusi menyelesaikan akar masalah. Usulan ini sangat berbahaya,” kata Zaenur, Selasa 24 Desember 2024.
Presiden Prabowo Subianto mengemukakan rencana pemerintah untuk memaafkan koruptor dalam pidatonya di hadapan mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pekan lalu. Prabowo menyatakan bahwa ia ingin memberikan kesempatan kepada para koruptor untuk bertaubat.
Menurut Prabowo, koruptor yang bersedia mengembalikan kerugian negara akan dimaafkan oleh pemerintah, dan identitas mereka tidak akan dipublikasikan. “Kami beri kesempatan koruptor mengembalikan korupsinya supaya enggak ketahuan,” ujar Prabowo, seperti dikutip dari tayangan YouTube Sekretariat Presiden pada Rabu, 18 Desember 2024.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menjelaskan bahwa ide Presiden Prabowo untuk memaafkan koruptor tersebut dapat direalisasikan melalui pemberian amnesti dan abolisi.
“Presiden Prabowo memiliki kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apapun, termasuk tindak pidana korupsi,” ujar Yusril.
Yusril mengatakan Presiden akan meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat terlebih dahulu sebelum memberikan amnesti dan abolisi. Ia menilai rencana Prabowo itu tidak melanggar undang-undang. “Ada yang mengatakan itu bertentangan dengan undang-undang, tapi saya mengatakan begini, harus baca undang-undang lain,” ujarnya.
Ia menjelaskan, dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi memang tertuang ketentuan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan sifat pidana dari perbuatan korupsi tersebut. Namun, kata Yusril, Undang-Undang Dasar 1945 memberikan ruang kepada presiden untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.
Amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan oleh kepala negara kepada pelaku tindak pidana. Dan abolisi adalah hak presiden untuk menghentikan proses hukum maupun menghapus hukuman terhadap pelaku kejahatan.
Pasal 14 ayat 2 UUD 1945 mengatur bahwa presiden memberikan amnesti maupun abolisi atas pertimbangan DPR. Berbeda dengan amnesti yang tidak memerlukan syarat khusus, abolisi memiliki tiga syarat pengajuan. Pertama, terpidana belum menyerahkan diri kepada pihak berwajib atau sudah menyerahkan diri kepada pihak berwajib. Kedua, terpidana sedang menjalani atau telah menyelesaikan pembinaan. Ketiga, terpidana sedang di dalam penahanan selama proses pemeriksaan, penyelidikan, dan penyidikan.
Zaenur Rohman berpendapat, pemberian amnesti maupun abolisi kepada koruptor merupakan tindakan yang tidak tepat. Sebab, amnesti dan abolisi merupakan upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah pemberontakan atau separatis. Sehingga mereka yang menerima amnesti dan abolisi biasanya adalah tahanan politik yang berbeda pandangan politik dengan pemerintah pusat.
Ia mengatakan pelaku kejahatan politik bukan berbuat jahat kepada rakyat. Sedangkan pelaku tindak pidana korupsi merupakan pihak yang menjahati rakyat. Sehingga ketika pemerintah memberi amnesti dan abolisi kepada koruptor berarti pemerintah justru memberikan impunitas kepada pelaku tindak pidana korupsi.
“Ketimbang melakukan amnesti, pemerintah seharusnya melakukan penindakan hukum yang tegas dan keras, serta melakukan perampasan aset korupsi,” kata Zaenur.