Beranda Umum Nasional Tak Setuju Pilkada Lewat DPRD, PDIP Usulkan Perbaikan Momral Politikus

Tak Setuju Pilkada Lewat DPRD, PDIP Usulkan Perbaikan Momral Politikus

Juru Bicara PDI Perjuangan, Chico Hakim | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM –  Metode pemilihan langsung dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah atau Pilkada, dinilai sebagai bentuk maksimal dari partisipasi publik.

Hal itu diungkapkan oleh Juru Bicara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Chico Hakim. Dia mengatakan, partainya meyakini kedaulatan rakyat dalam pemilihan langsung merupakan bentuk maksimal partisipasi publik.

“Metode pemilihan langsung ini merupakan bagian dari perjuangan mahasiswa hingga aktivis untuk reformasi. Hari ini kami tentu bersikap untuk tetap mempertahankan sistem yang sudah ada,” kata Chico melalui pesan suara kepada Tempo pada Rabu (18/12/2024).

“Yang perlu diperbaiki adalah mental, moral dan etika para politikus,” ujarnya.

PDIP, kata Chico, masih menunggu pembahasan lebih lanjut mengenai wacana pilkada lewat DPRD yang dilemparkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Namun PDIP sepakat jika perubahan sistem pilkada kembali dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan langkah mundur demokrasi.

Mahkamah Agung Tata Usaha Negara (PTUN) dijadwalkan akan membacakan putusan gugatan PDIP pada Rabu (19/12). Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md, meminta semua pihak untuk bersabar menunggu hasil keputusan tersebut.

“Harapan kami tentu masyarakat sipil tetap lantang menyuarakan pendapatnya. Dan kami meyakini presiden yang berjanji akan menjunjung nilai-nilai demokrasi tentunya akan mendengar suara dari masyarakat,” ujar Direktur Eksekutif Perludem, Chico Hakim.

Sementara itu, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menyatakan bahwa usulan Presiden Prabowo Subianto terkait evaluasi sistem pilkada didasari aspirasi kuat dari masyarakat. Bima mengungkapkan, biaya politik dalam pilkada sangat tinggi, mencapai puluhan miliar rupiah untuk tingkat kabupaten/kota, dan di atas Rp 1 triliun untuk tingkat provinsi.

Baca Juga :  Jokowi Tak Hadir di HUT ke-60 Partai Golkar, Ini  Reaksi Partai Golkar

“Jelas ini tidak sehat dan merusak sistem politik dan demokrasi kita. Harus ada evaluasi menyeluruh. Namun evaluasi ini harus terarah, termasuk mengatasi akar dari politik biaya tinggi,” kata mantan Wali Kota Bogor itu, Senin (18/12).

Ia menambahkan, Kementerian Dalam Negeri akan membuka ruang diskusi publik untuk membahas opsi sistem pilkada yang lebih efektif. Salah satu opsi yang muncul adalah pilkada melalui DPRD atau pilkada asimetris, di mana pilkada langsung hanya diterapkan di daerah yang memenuhi indikator tertentu.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa perubahan sistem pilkada akan menjadi bagian dari revisi Undang-Undang Pilkada. Perubahan ini juga akan dikaitkan dengan revisi Undang-Undang Pemilihan Umum. Supratman mengatakan bahwa saat ini pemerintah masih menunggu DPR menyusun naskah akademik dan draf revisi undang-undang tersebut.

“DPR yang menyiapkan naskah akademik dan draf revisinya. Kami masih menunggu pengajuan RUU-nya,” ujar Supratman, yang juga merupakan politikus Partai Gerindra.

Namun, wacana perubahan sistem pilkada ini mendapat kritik dari berbagai pihak. Mantan Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, menilai bahwa usulan kembali ke pemilihan kepala daerah oleh DPRD bertentangan dengan konstitusi. Menurutnya, prinsip pemilihan dalam Undang-Undang Dasar adalah jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia, baik untuk pemilu maupun pilkada.

Baca Juga :  Tahu Jokowi Resmi Dipecat PDIP, PKS Pasang Pagar: Mantan Presiden Sekalipun Harus dari Bawah Kalau Mau Masuk PKS

“Salah satu alasan mengapa sistem pilkada dulu diubah ke pemilihan langsung adalah untuk menghindari jual-beli suara di parlemen. Saat itu, proses pemilihan di DPRD cenderung tertutup dan tidak transparan, sehingga rakyat tidak dapat mengikuti prosesnya,” jelas Hadar.

Ia juga menyoroti adanya perbedaan aspirasi antara rakyat dengan anggota DPRD atau partai politik. Hal ini seringkali membuat keinginan rakyat tentang calon kepala daerah tidak sejalan dengan kehendak para wakil rakyat.

Hadar menyarankan agar fokus evaluasi lebih diarahkan pada pembenahan perilaku buruk peserta pilkada dan partai politik. Selain itu, sistem pilkada langsung juga perlu disederhanakan agar lebih hemat anggaran.

Dengan berbagai masukan dan pandangan, wacana perubahan sistem pilkada ini diharapkan dapat menghasilkan keputusan yang tidak hanya sesuai konstitusi, tetapi juga mendukung demokrasi yang sehat dan transparan.

www.tempo.co