Beranda Umum Nasional Kabulkan Gugatan 4 Mahasiswa UIN Jogja, MK Hapuskan Presidential Threshold  20%

Kabulkan Gugatan 4 Mahasiswa UIN Jogja, MK Hapuskan Presidential Threshold  20%

Rizki Maulana Syafei dan Faisal Natsirul Haq (kanan dan kiri), dua dari empat mahasiswa UIN Yogyakarta yang menggugat syarat presidential threshold (PT) di Mahkamah Konstitusi, ditemani penasihat ahli, Yance Arizona | tribunnews

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menunjukkan sikap dan respons positif, dengan keputusan menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, yang biasa disebut presidential threshold (PT).

Usulan penghapusan presidential threshold itu, diajukan oleh empat orang mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mereka adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna.

Pada intinya, MK memutuskan menghapus presidential threshold yang sebelumnya menyaratkan hanya parpol atau gabungan parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif yang bisa mengajukan capres dan cawapres.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

Putusan itu memungkinkan bagi setiap partai peserta Pemilu nantinya dapat mencalonkan presiden maupun wakil presiden. Diketahui, ini adalah putusan MK dalam perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.

Enika Maya Oktavia dkk tentu saja menyambut gembira putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden tersebut.

“Dikabulkannya permohonan penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) oleh Mahkamah Konstitusi hari ini adalah sebuah kemenangan bersama, bukan hanya bagi kami, tetapi juga bagi setiap warga negara yang peduli terhadap keberlangsungan demokrasi di Indonesia,” ungkap Enika saat dihubungi Tribunnews, Kamis.

Enika menyebut, perjuangan dimulai dari kekhawatiran mendalam sebagai pemilih. Menurutnya, ambang batas yang ada sebelumnya justru membatasi ruang pilihan pemilih untuk memilih pemimpin sesuai preferensi mereka.

“Dalam demokrasi, setiap suara seharusnya dihormati dan diberikan kesempatan untuk memilih tanpa hambatan artifisial yang tidak relevan,” ungkapnya.

“Sebagai mahasiswa hukum yang tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi, kami merasa terpanggil untuk memperjuangkan hak-hak konstitusional pemilih,” ujar Enika.

Baca Juga :  Sebanyak 149 Orang Meninggal Dunia  Akibat Lakalantas di Bantul Selama 2024

Keyakinan Enika dkk untuk melayangkan judicial review bertambah besar setelah melihat kenyataan pasal ini sudah 33 kali diuji dan sebagian besar ditolak karena alasan legal standing.

“Ini seolah-olah menempatkan pemilih sebagai objek demokrasi, bukan sebagai subjek yang memiliki hak penuh untuk menentukan arah bangsa.”

Enika meyakini, putusan ini akan membuat demokrasi di Indonesia menjadi lebih terbuka dan inklusif.

“Pemilih kini dapat benar-benar menjadi subjek dalam demokrasi, bukan hanya sekadar pelengkap prosedural. Kami berharap ini menjadi awal bagi pembenahan sistem politik dan hukum kita menuju demokrasi yang lebih substantif,” urainya.

MK Minta DPR Revisi UU Pemilu

Berkenaan dengan putusan ini, MK mengusulkan kepada pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu dapat merekayasa konstitusional.

MK memberi rambu-rambu, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.

Pengusulan paslon oleh parpol atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Dalam mengusulan paslon presiden dan wakil presiden, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi parpol atau gabungan parpol sehingga menyebabkan terbatasnya paslon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya

Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggara pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

“Telah ternyata ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil,” kata Hakim Konstitusi, Saldi Isra.

Baca Juga :  PDIP Sudah Lakukan Pembahasan Internal untuk Ganti Sekjen, Pasca Hasto Ditetapkan Tersangka oleh KPK

Komisi II DPR akan Tindak Lanjuti Putusan MK

Terkait putusan MK ini, Komisi II DPR RI akan menindaklanjuti ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

Hal tersebut, disampaikan Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (2/1/2025).

“Tentu pemerintah dan DPR akan menindaklanjutinya dalam pembentukan norma baru di Undang-Undang terkait dengan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden,” katanya.

Menurut Rifqi, putusan MK ini menjadi babak baru bagi perjalanan demokrasi Indonesia.

Sehingga pencalonan presiden dan wakil presiden bisa lebih terbuka terhadap semua partai politik.

“Saya kira ini babak baru bagi demokrasi konstitusional kita, di mana peluang mencalonkan presiden dan wapres bisa lebih terbuka diikuti oleh lebih banyak pasangan calon dengan ketentuan yang lebih terbuka,” ucapnya.

“Apa pun itu, Mahkamah Konstitusi keputusannya adalah final and binding. Karena itu kita menghormati dan kita berkewajiban menindaklanjutinya,” lanjut Rifqi.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden.

www.tribunnews.com