Hampir semua masyarakat Indonesia mengenal pencak silat. Pencak silat dikenal sebagai olahraga tradisional asli ciptaan leluhur bangsa Indonesia yang mana ini diakui sebagai budaya, aspek pencak silat meliputi seni bela diri dan tari. Gerakan pencak silat sendiri terinspirasi dari alam, leluhur kita belajar dari alam dengan cara melihat gerakan hewan seperti harimau menerkam mangsanya, ular mematuk buruannya, ikan yang melompat keluar dari air, rusa yang menendang ke belakang dan sebagainya.
Saat ini pencak silat diminati oleh kalangan muda khususnya di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, pencak silat menjadi budaya yang populer, setiap tahun berbagai perguruan pencak silat akan mengadakan kenaikan tingkatan baru bagi anggota pencak silat karena di dalam pencak silat terdapat tingkatan tersendiri yang menunjukkan tahapan ilmu yang dikuasai.
Di Kabupaten Lamongan digelar rutin kenaikan tingkatan atau istilah populernya pengesahan, yang biasannya dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu yang mana, hal ini dirayakan dengan cara berkonvoi di jalanan menggunakan kendaraan bermotor.
Kegiatan konvoi di jalanan mengakibatkan kemacetan lalu lintas dan terganggunya ketenangan pengguna jalan akibat motor yang digeber-geber, tak sampai di situ para anggota pencak silat terkadang juga melakukan aksi vandalisme seperti melempari jendela warga dengan batu, melempari kaca mobil dengan alasan yang tidak jelas, menggambar logo perguruan di fasilitas umum dan tembok-tembok di tepi jalan, ditambah lagi kerusuhan-kerusuhan yang terjadi antar perguruan pencak silat yang merugikan warga karena mengancam keamanan dan mengganggu ketenangan. Hal itu terjadi karena adanya persaingan yang tidak sehat dan sifat arogan dimana perguruan satu menganggap perguruannya lebih unggul daripada yang lain.
Lantas bagaimana hal ini bisa terjadi? Penulis berpendapat ada beberapa faktor yang menjadi alasan fenomena ini terjadi. Alasannya yaitu emosi para anggota yang masih labil, anggota pencak silat banyak yang berusia di bawah umur, ini berarti mereka belum cukup dewasa untuk mengontrol emosi mereka sehingga mereka sering bertindak sesuka hati tanpa memikirkan dampak kedepannya.
Itu dibuktikan dengan penangkapan yang dilakukan polisi kepada para anggota pencak silat yang melakukan kerusuhan, pihak kepolisian memeriksa identitas pelaku dan menemukan bahwa mereka masih di bangku sekolah. Alasan kedua yakni penanaman nilai-nilai pencak silat yang kurang tersampaikan dengan baik kepada para anggota, kurangnya kualitas pengajar dan struktur organisasi yang buruk menjadi alasan mengapa hal-hal tersebut dapat terjadi.
Lalu apa solusi dan peran pemerintah? Penulis menyarankan pemerintah mengambil kebijakan untuk mengubah seleksi penerimaan anggota tetap atau warga menjadi lebih ketat dan dikenai batasan usia. Sejauh ini individu yang masih di bawah umur sudah ada yang mencapai tahap warga dan tentu saja pemikiran mereka belum dewasa, alasan mereka mengikuti pencak silat pun karena gengsi, mereka mencari ketenaran di balik nama perguruan yang mereka ikuti.
Selanjutnya memperbaiki kualitas pengajar pencak silat agar dapat menyampaikan nilai-nilai pencak silat secara efektif, mengadakan sosialisasi kepada setiap perguruan untuk menanamkan nilai moral dan sikap saling merhargai sesama pesilat.
Saat ini nama pencak silat memiliki stigma buruk di masyarakat, bahkan di media sosial pun pencak silat dianggap sebagai budaya yang merugikan karena lebih sering menciptakan pertikaian daripada perdamaian. Tujuan pencak silat yang awalnya melindungi diri dan orang lain serta menciptakan rasa aman dengan cara menyebarkan belas kasih, berbalik menjadi sesuatu yang ditakuti masyarakat.
Pencak silat saat ini lebih mirip gangster daripada kesenian bela diri, dibuktikan dengan adanya istilah satire di media sosial seperti “sharelok tak parani” atau berikan lokasimu, akan kami datangi. [*]
Syamsuddin Nizar, Mahasiswa Hubungan Internsional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Malang