Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Pendidikan Keuangan pada Anak Usia Dini: Membangun Dasar Literasi Finansial untuk Masa Depan  

Ilustrasi literasi keuangan kepada anak usia dini | tribunnews

Novedi Risanti Langgi Dosen Pendidikan Administrasi Perkantoran Universitas Sebelas Maret Surkarta

Salah satu komponen dari literasi dasar yang sangat penting untuk dikuasai di abad 21 adalah literasi keuangan. Merujuk pada Organisation for Economic Co-operation Development (OECD) literasi keuangan merupakan pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep dan risiko keuangan, serta keterampilan dan sikap untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam pengambilan keputusan keuangan yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan individu dan masyarakat. Perubahan dalam landskap keuangan dan maraknya penipuan mengharuskan seseorang memiliki literai keuangan yang baik.

Anak usia dini didefinisikan sebagai manusia dengan rentang usia antara 0 sampai 6 tahun yang sedang tumbuh dan berkembang dengan pesat, baik dari segi fisik maupun pikiran. Usia dini adalah periode di mana perilaku, kebiasaan, dan karakter seseorang dibentuk. Anak pada masa ini akan mengamati lingkungan maupun perbuatan orang-orang di sekelilingnya dan akan membentuk perilaku serta kebiasaan yang akan mereka bawa hingga mereka dewasa. Lebih lanjut, periode ini juga menentukan cara berpikir dan menghadapi masalah di masa yang akan datang. Kemampuan kognitif dan linguistik yang terbentuk di usia dini sangat menentukan kesuksesan seseorang di sekolah, tempat kerja, dan lingkungannya.

Pendidikan keuangan dapat didefinisikan sebagai proses yang mencakup dan memperhitungkan berbagai kebutuhan individu dalam konteks sosial-ekonomi yang berbeda. Sementara itu menurut Otoritas Jasa Keuangan pendidikan keuangan merupakan penanaman nilai-nilai pengelolaan keuangan serta kemampuan untuk mengakses produk-produk keuangan yang dibutuhkan, dalam rangka meningkatkan taraf hidup individu. Pemahaman mengenai literasi keuangan sangat penting untuk diajarkan pada usia dini karena akan melekat pada diri seseorang menjadi sebuah budaya untuk mengelola keuangan yang baik seperti mengutamakan kebutuhan daripada keinginan, kebiasaan menabung, minat berinvestasi, dan lain sebagainya.

Namun, fakta di lapangan membuktikan bahwa masih banyak orang tua yang memiliki tingkat literasi keuangan yang rendah (Organisation for Economic Co-operation Development, 2020:14; Otoritas Jasa Keuangan, 2019) sehingga kurang siap untuk mengajarkan pengetahuan keuangan kepada anak-anak mereka di rumah. Oleh sebab itu, pendidikan keuangan perlu diajarkan di sekolah. Penerapan pendidikan keuangan di sekolah akan menjangkau seluruh siswa dalam memberikan pemahaman tentang pengelolaan keuangan pribadi maupun rumah tangga yang benar. Pendidikan keuangan juga membantu perkembangan kognitif siswa dan sebagai bekal dalam memasuki jenjang pendidikan selanjutnya.

Materi pendidikan keuangan yang dikeluarkan oleh OJK diantaranya adalah mengetahui konsep dan jenis uang, fungsi uang dalam kehidupan, perbedaan kebutuhan dan keinginan, pentingnya kebiasaan menabung, dan kesadaran untuk berbagi kepada orang yang lebih membutuhkan. Sementara itu media yang dapat digunakan untuk menyalurkan materi pendidikan keuangan pada siswa diantaranya adalah media berbasis digital (ebook, media visual seperti seperti foto, gambar, atau ilustrasi) dan media interaktif (permainan, simulasi, dan aplikasi). Adapun model dan strategi pembelajaran yang cocok digunakan untuk melaksanakan pembelajaran pendidikan keuangan pada anak usia dini diantaranya adalah permainan sosio-dramatis, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis proyek (project based learning), bermain peran (role playing), dan problem solving.

Pendidikan keuangan harus menjadi bagian dari kurikulum sekolah. Hingga saat ini masih terdapat sekolah yang tidak memberikan materi pendidikan keuangan dalam pembelajaran, disebabkan pendidikan keuangan tidak termuat dalam kurikulum. Sedangkan sekolah yang sudah menerapkan pendidikan keuangan memiliki susunan materi yang berbeda-beda antar satu sekolah dengan sekolah lainnya. Hal ini dikarenakan kebanyakan guru tidak mengetahui adanya anjuran materi pendidikan keuangan yang dikeluarkan pemerintah melalui OJK. Oleh sebab itu, pemerintah harus menggabungkan pendidikan keuangan sebagai bagian dari kurikulum yang dilaksanakan sekolah. Pendidikan keuangan tidak perlu menjadi tema atau sub tema yang berdiri sendiri karena akan membuat beban kurikulum semakin berat (overload). Namun pendidikan keuangan dapat diintegrasikan pada tema atau sub tema tertentu yang relevan.

Kedua, pendidikan keuangan harus memiliki kerangka kerja yang jelas. Sekolah yang mengimplementasikan pendidikan keuangan dalam pembelajaran belum melaksanakan proses pembelajaran secara optimal. Hal ini dikarenakan tidak adanya bahan bacaan, acuan pelaksanaan pembelajaran, dan standar evaluasi yang dapat dijadikan sebagai acuan. Oleh sebab itu, harus terdapat kerangka kerja yang memuat secara jelas sasaran tujuan, outcome yang ingin dicapai, sumber daya yang profesional, serta panduan pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran. Konten pembelajaran harus menyasar ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif. Selain itu diperlukan juga landasan hukum sebagai dasar aturan implementasi pendidikan keuangan pada anak usia dini.

Ketiga, pelaksanaan pendidikan keuangan harus didukung oleh semua pihak. Setidaknya terdapat tiga pihak yang berperan dalam implementasi pendidikan keuangan anak usia dini. Pihak pertama adalah pemerintah dan institusi pendidikan. Pemerintah sebagai perumus kebijakan harus membuat kebijakan yang jelas mengenai implementasi pendidikan keuangan di PAUD. Pemerintah harus bersinergi bersama dengan institusi pendidikan untuk membentuk payung hukum yang melandasi aturan pendidikan keuangan pada anak usia dini.  Selain itu ketersediaan dukungan pendanaan, fasilitas, dan sumber belajar yang memadai juga sangat dibutuhkan.

Pihak kedua adalah orang tua dan guru. Guru harus memiliki kompetensi yang profesional dan menguasai konsep literasi keuangan. Orang tua harus mendukung peran guru dengan tetap memberikan pemahaman mengenai literasi keuangan di rumah. Namun sayangnya masyarakat Indonesia masih menganggap membahas masalah keuangan kepada anak adalah hal yang tabu. Budaya ini harus diubah agar Indonesia tidak tertinggal dalam hal literasi keuangan. Selanjutnya pihak ketiga adalah media masa, komunitas, pemerhati/pengamat pendidikan, perusahaan, atau organisasi yang peduli terhadap anak juga dibutuhkan dalam menyajikan konten-konten edukasi pendidikan keuangan anak usia dini baik melalui platform offline maupun online. [*]

Novedi Risanti Langgi
Dosen Pendidikan Administrasi Perkantoran
Universitas Sebelas Maret Surakarta

 

Exit mobile version