Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Petani Sleman Keluhkan Jatah Pupuk Subsidi dan Biaya Tambahan

Seorang petani di Sleman sedang membajak sawah untuk memulai tanam padi, Selasa 28 Januari 2025. Petani di Kalasan Sleman mengeluhkan kurangnya jatah pupuk subsidi dan biaya administrasi per transaksi pengambilan pupuk subsidi | tempo.co

SLEMAN, JOGLOSEMARNEWS.COM Petani di Kabupaten Sleman masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan meski pemerintah telah mengubah regulasi pengambilan pupuk bersubsidi menjadi lebih sederhana.

Dengan hanya menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP), petani kini tidak perlu lagi bergantung pada kartu tani. Langkah ini menuai apresiasi karena dianggap memudahkan proses distribusi pupuk. Namun, di lapangan, persoalan lain justru mencuat, mulai dari jatah pupuk yang masih jauh dari kebutuhan hingga pungutan biaya administrasi sebesar Rp 5.000 setiap kali transaksi.

Keluhan tentang keterbatasan pupuk bersubsidi menjadi suara yang paling sering terdengar. Janu Riyanto, Ketua Forkom Petani Kalasan, mengungkapkan bahwa kebutuhan pupuk petani untuk lahan seluas 1.000 meter persegi idealnya mencapai 50 kilogram.

Namun, jatah pupuk bersubsidi yang diterima petani kerap kali tidak memenuhi angka tersebut. Kondisi ini memaksa petani untuk mencari alternatif, salah satunya dengan menggunakan pupuk organik.

“Masih kurang (alokasinya),” ujar Janu, Selasa (28/1/2025).

“Petani harus menggunakan pupuk organik, misalnya dari kandang ternak, agar kebutuhan pupuk tetap terpenuhi.”

Ia menambahkan bahwa petani di wilayah Kalasan cukup beruntung karena sudah memiliki tempat pengolahan pupuk organik, sehingga ketergantungan pada pupuk kimia dapat diminimalkan.

Namun, masalah lain juga muncul terkait pungutan biaya administrasi sebesar Rp5.000 setiap kali petani mengambil pupuk bersubsidi. Janu, yang juga Ketua Gapoktan Tirto Sembodo di Kalurahan Tirtomartani, mempertanyakan dasar pungutan tersebut. Menurutnya, pungutan itu justru menjadi beban tambahan bagi petani yang sudah menghadapi berbagai tantangan.

 

“Misalnya petani mengambil jatah pupuk bersubsidi sebanyak 12 kilogram, tetap saja dikenai biaya top-up Rp5.000. Padahal sekarang sudah tidak menggunakan kartu tani, tapi kenapa masih ada biaya seperti ini? Kami petani tidak tahu, untuk apa biaya itu,” tuturnya dengan nada kecewa.

Menanggapi keluhan tersebut, Plt. Kepala Dinas Pertanian Pangan dan Perikanan Kabupaten Sleman, Ir. Suparmono, menyatakan bahwa alokasi pupuk bersubsidi di Sleman memang terbatas. Kabupaten ini hanya mendapatkan alokasi sebesar 16.960 ton, yang terdiri dari 9.490 ton pupuk urea dan 7.470 ton pupuk NPK, untuk memenuhi kebutuhan 52.010 petani yang terdaftar berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Terkait pungutan administrasi Rp5.000 per transaksi, Suparmono menegaskan bahwa hal itu seharusnya tidak diperbolehkan. “Secara aturan, tidak boleh ada biaya tambahan seperti itu,” tegasnya.

Meski kebijakan pengambilan pupuk bersubsidi menggunakan KTP disambut baik, tantangan di lapangan menunjukkan bahwa langkah pemerintah ini masih menyisakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Petani berharap agar alokasi pupuk bersubsidi dapat ditingkatkan, sekaligus memastikan tidak ada lagi pungutan yang membebani mereka. Pemerintah diharapkan lebih tegas dalam mengawasi praktik distribusi pupuk agar hak-hak petani dapat terjamin.

 

Exit mobile version