SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Perayaan Imlek di Kota Solo ikut dimeriahkan dengan kegiatan jelajah dan diskusi sejarah yang dihelat Solo Societeit. Komunitas nirlaba yang diprakarsai oleh sejarawan Solo, Heri Priyatmoko ini, menyajikan acara berjudul “Menapak Cokronegaran – Pecinan – Kali Pepe”.
Sebelumnya, dari riset lapangan, tim Solo Societeit terperangah bercampur kagum. Pasalnya, ada sejumlah titik baru yang dipenuhi cerita sejarah. Hidden gem alias spot yang jarang diintip dan dimengerti publik itu bersemayam di kawasan Tjokronegaran, Pecinan dan Kali Pepe.
Lembaga yang getol melakukan diseminasi sejarah lokal itu juga mereproduksi pengetahuan untuk lepentingan jagad/kalangan pers. Ada 50-an peserta diajak menyambangi rumah jurnalis legend Solo era kolonial: Soedarjo Tjokrosisworo. Juru pena koran Darmokondo tersebut sungguh pintar dan keranjingan di masa hidupnya. Lelaki lahir tahun 1902 itu tak bakal bisa mengayunkan jemari di mesin ketik bila tidak menenggak ciu bumbon (Jenewer Jawa) lebih dulu.
Bahkan, tak jarang dia malah “kemendemen” (terlalu mabuk). Redaktur yang pernah dicap “Kiri” dan “Merah” itu ikut membidani lahirnya Perdi (Persatuan Jurnalis Indonesia) di Surakarta. Rumah wartawan kondang tersebut sekarang kosong. “Pengetahuan historis ini penting untuk diketengahkan ke publik, sebab belum banyak diungkap,” ungkap Heri yang juga dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta ini.
Tak hanya itu, di awal perjalanan, peserta disuguhkan dengan peninggalan masa klasik yang masih berada di sekitar Cokronegaran berupa lingga dan yoni. Selanjutnya peserta juga diajak untuk menjamahi bekas ndalem dan keluarga Cokronegaran. Lalu, rombongan diajak mempelajari beberapa jejak Pecinan yang masih ada di Cokronegaran. Ada makam Tionghoa yang beraksara Jawa di dalam suatu rumah. Selain itu, ada beberapa rumah Tionghoa yang masih berdiri dan sekarang ini menjadi toko penjual minyak, Rumah HK.
Setelahnya kita menjejaki wilayah tepi Kali Pepe, wilayah yang banyak mengandung kisah di dalamnya. Ada secuil kisah mengenai renovasi jembatan yang orang lebih mengenalnya dengan jembatan Sar Gedhe. Jembatan ini mengambil nama dari seorang Residen Surakarta yang dekat dengan Sinuhun Pakubuwana X. Sunan menggunakan nama beliau sebagai kenang-kenangan bagi sang Residen.
Berikutnya, para pemburu cerita sejarah ini disodori kisah tentang Kali Pepe. Ada kisah sungai sebagai sarana transportasi dan perdagangan, ada yang menggunakannya sebagai tempat mandi. Selain itu, ada kisah kelam di sana. Banyak orang hilang/hanyut, ada kapal yang hilang entah ke mana, dan tentu saja banjir musiman yang kerap melanda di sekitar wilayah tersebut.
Acara ini ditutup dengan diskusi di bekas rumah Tionghoa yang masih banyak menunjukkan keaslian. Rumah tua berumur dua abad lebih itu sekarang dipakai sebagai kedai kopi kekinian. Di sana para peserta disuguhi berbagai makanan khas Pecinan. Mulai dari bakpao, siomay, dan olahan tahu yang lezat sekaligus mengenyangkan. Tidak lupa dibahas sejarah kuliner Tionghoa.
“Inilah strategi kami mengenalkan sejarah-budaya ke publik dng penuh kreatifitas dan banyak terobosan. Kami tidak mendamba profit, karena ini bagian dari ‘tapa ngrame’. Terbukti, kawula muda dan tua tidak jemu dengan sajian yang digarap oleh komunitas yang berdiri tahun 2018 ini. Bahkan, mereka nagih,” pungkas Ketua Societeit, Dani Saptoni. Suhamdani