JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Terpilihnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam Kongres VI pada Senin (24/2/2025) menegaskan kuatnya pengaruh trah dalam dinamika politik Indonesia. Fenomena ini menunjukkan bahwa partai politik di Tanah Air belum sepenuhnya lepas dari bayang-bayang keluarga politik yang mendominasi kepemimpinan.
Pengamat politik Adi Prayitno menilai, terpilihnya AHY untuk kedua kalinya secara aklamasi membuktikan bahwa Partai Demokrat masih sangat lekat dengan sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Suka tidak suka, Demokrat identik dengan SBY. Maka, wajar jika yang menjadi ketua umum setelah SBY adalah AHY,” ujar Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu saat dihubungi pada Selasa (25/2/2025).
Dalam Kongres VI tersebut, AHY resmi memimpin Partai Demokrat untuk periode 2025-2030, sementara SBY kembali didapuk sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat untuk periode yang sama.
Adi menjelaskan, fenomena politik trah ini tak hanya terjadi di Partai Demokrat, tetapi juga di sejumlah partai besar lainnya. Partai Gerindra misalnya, sejak berdiri pada 2008 hingga kini tak bisa lepas dari pengaruh Prabowo Subianto. Presiden ke-8 RI tersebut kembali terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra pada Kongres Luar Biasa yang berlangsung di Hambalang, Bogor, pada Kamis (13/2/2025).
Hal serupa terlihat pada PDI Perjuangan. “Semua orang tahu Megawati ya PDIP, PDIP ya Megawati. Partai ini sangat identik dengan trah politik Megawati dan Sukarno,” lanjut Adi.
Adi juga menyoroti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang masih erat dengan nama besar Muhaimin Iskandar. Hingga saat ini, belum ada sosok yang mampu menggantikan posisinya sebagai Ketua Umum.
Fenomena serupa terjadi di Partai NasDem yang tak bisa lepas dari bayang-bayang Surya Paloh. Kongres III NasDem di Jakarta Convention Center pada 27 Agustus 2024 kembali mengukuhkan Surya Paloh sebagai Ketua Umum untuk periode 2024-2029 secara aklamasi. Surya Paloh telah menjabat posisi tersebut sejak 2013.
Meski demikian, Adi menilai Partai Golkar menjadi pengecualian dalam fenomena politik trah ini. “Golkar cukup modern dalam hal regenerasi kepemimpinan. Nama ketua umumnya selalu berganti dari masa ke masa dan tak ada yang menjabat lebih dari 10 tahun,” tuturnya.
Melihat fenomena ini, Adi menyimpulkan bahwa politik Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh kekuatan keluarga politik. “Selama partai politik di Indonesia masih menjadi kendaraan politik keluarga, regenerasi kepemimpinan yang demokratis akan sulit terwujud,” pungkasnya.