JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Undang-Undang Cipta Kerja di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menuai kritik tajam, terutama terkait potongan pesangon yang dianggap merugikan kaum buruh.
Dalam UU No. 13 tentang Ketenagakerjaan, pekerja yang sudah puluhan tahun bekerja bisa mendapatkan pesangon maksimum hingga 32 kali upah. Namun, setelah berlakunya UU Cipta Kerja, pesangon maksimum dipangkas menjadi 19 kali upah dengan tambahan berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari BPJS Ketenagakerjaan.
Saat itu, melalui PP No. 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), pekerja yang di-PHK hanya mendapatkan 45 persen dari upah dalam 3 bulan pertama dan 25 persen dari upah untuk 3 bulan berikutnya. Selain itu, diberikan manfaat tambahan berupa pelatihan-pelatihan untuk beralih ke bidang pekerjaan lain.
Namun, pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, PP No. 6 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang mulai berlaku 7 Februari 2025 dinilai lebih manusiawi dan pro buruh dibandingkan aturan sebelumnya.
Menurut Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Moh Jumhur Hidayat, aturan yang baru memberikan kepastian penerimaan uang tunai sebesar 60 persen dari upah terakhir selama 6 bulan penuh.
“Ya alhamdulillah karena pastinya lebih menguntungkan buruh bila dibandingkan PP sebelumnya. Artinya kan selama 6 bulan sejak di PHK para pekerja bisa menerima uang tunai 60 persen dari upah selama 6 bulan,” kata Jumhur, Minggu (16/2/2025).
Jumhur menilai bahwa kebijakan ini lebih berpihak kepada kaum buruh dan dapat membantu menjaga daya beli masyarakat sebagai penyumbang utama dalam pertumbuhan ekonomi.
“Ini jelas pro buruh dan akan bermanfaat juga untuk menjaga daya beli masyarakat sebagai penyumbang utama dalam pertumbuhan ekonomi,” tegasnya.
Lebih lanjut, Jumhur menyoroti bahwa pemerintahan Prabowo Subianto menunjukkan keberpihakan yang jelas kepada kaum lemah, termasuk buruh. Menurutnya, momentum seperti ini harus dijaga agar kebijakan yang pro rakyat tetap berjalan konsisten.
“Membela kaum yang lemah itu bukan berarti menafikkan dunia usaha. Justru sebaliknya, bersama-sama dunia usaha kita bisa membangun kegiatan ekonomi yang menguntungkan dan memberi manfaat untuk banyak orang,” ujar Jumhur.
Ia juga menekankan bahwa yang perlu disingkirkan bukanlah dunia usaha, melainkan parasit-parasit ekonomi yang menghambat pertumbuhan, seperti korupsi, importir ilegal, dan sifat serakah.
“Yang harus disingkirkan itu ya parasit-parasit ekonomi yang membuat dunia usaha sulit berkembang seperti korupsi, importir ilegal, dan sifat serakah,” pungkasnya.
Dengan hadirnya PP No. 6 Tahun 2025, diharapkan perlindungan terhadap buruh yang di-PHK semakin kuat, sekaligus menjadi fondasi bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan lebih berkeadilan.