Beranda Umum Duga Pengajuan HGB-SHM di Pagar Laut Tangerang Pakai Girik Palsu,  Polisi Lakukan...

Duga Pengajuan HGB-SHM di Pagar Laut Tangerang Pakai Girik Palsu,  Polisi Lakukan Pemeriksaan

Pagar laut di Pantai Anom, Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, Banten | tribunnews

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM  Borok-borok mengenai pagar laut di perairan Tangerang, perlahan tapi pasti mulai terkuak ke permukaan. Salah satunya, Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri menduga pengajuan sertifikat hak guna bangunan (HGB) dan sertifikat hak milik (SHM) pada area tersebut di Kabupaten Tangerang, Banten, menggunakan girik palsu.

 

“Dugaan tindak pidana pemalsuan surat dan atau menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik,” kata Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro di Jakarta pada Jumat (31/1/2025).

 

Pihaknya juga mengaku sudah meminta keterangan Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang sebagai salah satu upaya dalam tahap penyelidikan kasus tersebut.

Informasi yang didapatkan, area pagar laut di Tangerang sudah memiliki sertifikat HGB dan SHM dengan rincian 234 bidang HGB atas nama PT Intan Agung Makmur, 20 bidang SHGB atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, 9 bidang atas nama perseorangan, serta 17 bidang SHM yang berasal dari girik.

 

Djuhandhani menuturkan Dittipidum menduga pengajuan sertifikat HGB dan SHM tersebut menggunakan girik serta dokumen bukti kepemilikan lainnya yang diduga palsu. Saat ini, Dittipidum Bareskrim Polri masih menyelidiki di balik adanya pagar laut di perairan laut Tangerang ini.

 

Dia mengatakan surat perintah penyelidikan telah dikeluarkan pada 10 Januari 2025. “Ketika mulainya pemberitaan di awal Januari adanya pagar laut Tangerang, kami diperintahkan Bapak Kapolri (Jenderal Listyo Sigit Prabowo) melalui Bapak Kepala Bareskrim Polri (Komjen Wahyu Widada) untuk melaksanakan penyelidikan,” ucapnya.

 

Dalam penyelidikan, kata dia, pihaknya sudah mengecek di lokasi pagar laut serta berkoordinasi dengan beberapa kementerian/lembaga terkait, di antaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dan pemerintah kelurahan. “Sampai saat ini kami masih melaksanakan penyelidikan dengan mengumpulkan berbagai barang bukti ataupun keterangan,” ucapnya.

 

Menurut dia, nantinya hasil penyelidikan itu akan didalami untuk mengetahui ada atau tidaknya dugaan perbuatan yang melanggar hukum, terutama mengenai dugaan pemalsuan sertifikat HGB dan SHM pada bagian laut yang ditanami pagar.

 

Adapun, kata dia, pasal yang telah disiapkan adalah Pasal 263 KUHP, Pasal 264 KUHP, dan undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang (TPPU). “Saat ini, kami sudah melaksanakan penyelidikan dan semoga kita bisa mengungkap apakah ini juga merupakan tindak pidana,” ujarnya.

Baca Juga :  UMKM Antusias, Pemerintah Seleksi 30.000 Pendaftar Program MBG

 

Dia mengatakan, selain Polri, Kejaksaan Agung juga tengah menyelidiki dugaan korupsi dalam penerbitan sertifikat HGB atau SHM pada bagian yang ditanami pagar bambu di perairan laut Tangerang.

 

Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung ) Harli Siregar mengatakan, dalam proses penyelidikan, Kejagung hanya mengumpulkan data dan keterangan (pulbaket).

 

“Kami tentu akan secara proaktif sesuai kewenangan kami, melakukan pengumpulan bahan data keterangan. Karena ini sifatnya penyelidikan, pulbaket (pengumpulan bahan dan keterangan), jadi tidak mendalam seperti katakanlah proses penyidikan dan seterusnya. Kami hanya mengumpulkan bahan data keterangan,” ucapnya pada Kamis, 30 Januari 2025.

 

Namun Harli menegaskan kejaksaan tetap mendahulukan kementerian/lembaga dalam hal pemeriksaan pendahuluan. Apabila dalam pemeriksaan pendahuluan ditemukan dugaan tindak pidana, Harli mengatakan Kejagung akan menindaklanjutinya. “Kalau misalnya terindikasi ada tindak pidana korupsi, katakanlah dalam penerbitannya dan seterusnya ada suap gratifikasi, tentu ini menjadi kewenangan kami,” ujar dia.

 

Adapun Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid telah mencabut 50 sertifikat HGB dan SHM di area pagar laut Tangerang. “Sisanya sedang berjalan, kita masih on progress, kita cocokkan. Mana yang di dalam garis pantai, mana yang di luar garis pantai,” kata Nusron pada Jumat, 31 Januari 2025.

 

Dia memerinci ada ratusan sertifikat yang terbit di dua desa dari 16 desa yang terbangun pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di Kabupaten Tangerang. Kedua desa tersebut, yakni Desa Kohod di Kecamatan Pakuhaji dan Desa Karang Serang di Kecamatan Sukadiri.

 

Di Desa Kohod, terbit sebanyak 263 sertifikat HGB dan 17 bidang SHM. Dari 263 SHGB itu, jika ditotal jumlah luasnya mencapai 390,7985 hektare. Sedangkan SHM 17 bidang memiliki luas 22,934 hektare. Dari jumlah itu, Kementerian ATR/BPN telah membatalkan 50 sertifikat.

Baca Juga :  Talud Setinggi 4 Meter Longsor, Ganggu Akses Jalan di Tirtomartani, Sleman

 

Menurut Nusron, sertifikat pagar laut yang terbit di Tangerang merupakan konversi dari girik ke SHGB dan SHM alias tidak ada sertifikat yang bersifat baru. Sertifikat-sertifikat itu berasal dari girik yang dimiliki masyarakat, lalu dikonversi menjadi sertifikat HGB dan SHM. Rata-rata girik tersebut terbit pada 1982. “Jadi ini tidak pemberian hak baru. Ini adalah konversi, dari hak girik,” ujarnya.

 

Sementara itu, untuk di Desa Karang Serang, Nusron menyebutkan terbit sertifikat tiga bidang sejak 2019. Meski begitu, Nusron belum menyebutkan sertifikat tersebut apakah SHGB atau SHM.

 

Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (Dirjen PHPT) Kementerian ATR/BPN Asnaedi menjelaskan girik awalnya merupakan bukti kepemilikan tanah lama berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam UU tersebut, pemilik tanah diberikan waktu mendaftarkan tanah mereka. Namun, dengan berjalannya waktu dan beberapa peraturan tambahan, hak atas tanah yang bersumber dari girik seharusnya sudah tidak berlaku.

 

Menurut Asnaedi, selama ini banyak sengketa dan konflik tanah yang berawal dari girik. “Bahkan, girik sering kali menjadi celah yang dimanfaatkan oleh mafia tanah melalui dokumen palsu,” ujarnya.

 

Karena itu, ia berujar penghapusan girik bertujuan mencegah konflik di masa depan. Girik atau bukti kepemilikan tanah lama tidak akan berlaku lagi pada 2026, mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021.

www.tempo.co