Beranda Umum Opini Marketplace Fotografi & Hak Privasi di Ruang Publik

Marketplace Fotografi & Hak Privasi di Ruang Publik

Event lari di Solo. Foto:dejoo/fotoyu

Oleh: Niken P. Satyawati, M.I.Kom
Pemerhati literasi digital, dosen lmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Karanganyar

Beberapa tahun terakhir masyarakat makin sadar olahraga. Lari pun kini bukan sekadar olahraga. Lebih dari itu telah menjadi gaya hidup. Komunitas lari tumbuh pesat di berbagai tempat bak jamur di musim hujan. Garmin Indonesia mengungkap jumlah pelari di Indonesia pada 2024 meningkat tiga kali lipat.

Per Mei 2024, jumlah pelari di Tanah Air yang mencatatkan perkembangan larinya melalui aplikasi Garmin, sebanyak lebih dari 80.000 orang, naik dua kali lipat dari tahun lalu sebanyak 35.000 orang. Asosiasi lari Indonesia mencatat jumlah peserta event lari mengalami peningkatan 30%. Tercatat 257 event lari digelar di Indonesia sepanjang 2024.

Hadirnya marketplace fotografi turut ambil bagian dalam hingar bingar dunia lari. Para fotografer yang bernanung di platform Fotoyu, siap memenuhi kebutuhan para pelari dalam urusan dokumentasi. Marketplace fotografi berbasis artificial intelligence (AI) ini siap mengabadikan setiap momen lari. Selain menawarkan dokumentasi foto berkualitas tinggi, sejumlah fotografer juga memproduksi video.

Di stadion dan sudut kota yang menjadi rute pelari di kota-kota besar maupun kecil, para fotografer hadir. Pada event-event lari, puluhan fotografer berjejer di sepanjang rute untuk memotret para peserta. Pengguna tinggal men-download aplikasi di ponsel masing-masing dan membuat akun. Untuk membuat akun di aplikasi ini, setiap calon pengguna wajib setor foto wajah dari beberapa sisi. Di aplikasi, penjual dan pembeli foto bertemu.

Pengguna yang merasa kena jepret fotografer bisa mengecek apakah fotonya tersedia di aplikasi, lalu memilih foto yang dikehendakinya. Kadang ada puluhan foto. Semua boleh ditebus. Ditebus satu saja tidak masalah. Tidak ditebus sama sekali juga tidak apa-apa. Harga tebusan setiap foto tidak mahal tapi juga tidak murah. Masih relatif terjangkau oleh kantong kaum mendang-mending. Di kota kecil seperti Solo, kisaran harganya Rp 15 ribu-Rp 40 ribu per foto. Di Jakarta harganya pada kisaran Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per foto.

Foto yang belum dibayar masih penuh watermark. Begitu pengguna melakukan pembayaran, watermark hilang dan pengguna langsung memperoleh foto versi preview. Tak lama kemudian fotografer akan mengirimkan foto versi resolusi tinggi. Bila dalam waktu dua hari fotografer tidak mengirimkan foto dengan resolusi tinggi maka dana yang sudah dibayarkan pengguna akan dikembalikan.

Banyak yang gembira dengan kehadiran mas-mas fotografer Fotoyu di arena lari. Biasanya pengguna menebus foto untuk diunggah di media sosial mereka. Namun tak sedikit pula yang keberatan difoto saat lari di ruang publik. Tidak semua orang suka dan pede difoto. Kehadiran mas-mas fotografer dianggap mengancam privasi. Pro-kontra pun terjadi.

Apabila pengguna mengatur ketat privasi, sebenarnya relatif aman. Teknologi pengenalan wajah memungkinkan pengguna hanya akan terpapar foto yang mengenali wajahnya. Namun apabila pengguna tidak mengatur ketat privasi pada aplikasinya, lain ceritanya. Di sini potensi masalahnya. Pengguna bisa saja mengakses membeli foto orang lain dan menyalahgunakannya. Belum lagi ada yang terganggu ketika menyadari fotografer banyak memotret dan kemudian menyimpannya. Sebenernya orang bisa mengajukan keberatan secara langsung kepada fotografer. Namun bagaimana teknisnya? Apakah harus menempelkan tulisan di dadanya saat berlari di ruang publik?

Ada yang bilang kalau tidak mau kena jepretan, ambil jalur alternatif yang tidak ada fotografernya. Namun tentu ini bukan solusi. Ini usulan yang kurang arif dan juga tidak adil, karena semua juga berhak mendapatkan jaminan privasi di ruang publik. Di sejumlah negara Amerika, Eropa dan Asia, fotografer atau siapapun bisa didenda apabila kedapatan memotret orang tanpa izin bahkan di tempat umum. Ini adalah contoh implementasi yang ketat dalam penegakan hukum privasi di ruang publik. Hukum Indonesia bagaimana?

Mengambil foto tanpa izin menurut hukum yang berlaku di Indonesia bisa melanggar berbagai regulasi. Ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-Undang Hak Cipta hingga hukum pidana yang bisa menjeratnya. Namun entah ini kabar baik atau kabar buruk, implementasi penegakan hukum di negara ini masih lemah. Banyak pelanggaran terjadi namun pelakunya aman-aman saja. Namun orang tak tahu kapan apes, tahu-tahu ada yang mempermasalahkan dan menuntut. Maka pengambil foto rawan terkena jerat hukum.

Satu kenyataan lagi, tingkat literasi digital masyarakat kita masih rendah. Tidak ada jaminan setiap pengguna aplikasi marketplace fotografi memiliki tingkat literasi digital yang memadai, yang memungkinkannya aman dan privasi dirinya maupun orang lain tetap terjaga. Kalau aplikasi digunakan dan pengaturannya diterapkan secara ketat, ketika fitur pencarian diperkecil, aplikasi hanya akan menampilkan foto pengguna yang ditawarkan oleh para fotografer. Sebaliknya apabila pengaturannya serampangan, memang tetap dimungkinkan pengguna mengakses foto-foto orang lain dan membelinya. Ketika foto telah dibeli, ada opsi apakah pengguna memperbolehkan fotonya tampil di laman platform aplikasi marketplace, selain opsi tidak memperbolehkan fotonya ditampilkan.

Bagaimanapun, memotret tanpa izin memang tidak dibenarkan sekalipun itu di ranah publik. Ada privasi dan bagian tubuh yang seharusnya tidak menjadi bahan konsumsi publik. Bayangkan foto-foto itu tersimpan di hardisk orang lain yang tidak ada hubungan keluarga, apalagi kalau sampai diunggah si fotografer untuk sekadar menunjukkan eksistensi. Semoga tidak terjadi. Fotografer yang baik tahu memotret orang itu memang harus ada izin, sehingga mereka biasanya sewa model atau hanya memotret anggota keluarga dan teman-teman dekat.

Sepertinya semua sisi harus ditinjau. Aplikasi mungkin perlu dibenahi karena ada ada beberapa pihak yang tidak nyaman proses kerjanya. Pastikan lebih aman bagi pengguna biasa maupun fotografer. Teknologi pengenalan wajah pada aplikasi seperti Fotoyu bisa menyaring namun tidak sempurna sehingga wajah yang prototipenya mirip pengguna tetap bisa diakses. Foto serupa namun beda orang masih bisa dilihat oleh pengguna lain, dan bisa dibeli oleh pihak lain, hingga berpotensi disalahgunakan.

Para fotografer harus paham etika. Walau sekarang masih aman, belum ada pengguna keberatan dan menggugat ke jalur hukum karena fotonya yang bermasalah di aplikasi marketplace, tak menutup kemungkinan ada saat apes karena hal itu memang berpotensi terjadi. Fotografer harus berhati hati sekali karena sekali tersangkut urusan hukum, pendapatan yang mungkin terlihat banyak dari foto yang terjual tak ada artinya dibanding keribetan yang akan terjadi. Tapi mungkin saja muncul pertanyaan, pejabat dan penegak hukum saja banyak yang tidak beretika, kenapa fotografer wajib beretika?

Ketiga, pengguna aplikasi wajib meningkatkan literasi digital. Atur privasi dengan ketat pada fitur pengaturan aplikasi. Pelari berhak lari di manapun. Maka beri saja kode kepada fotografer bila tidak mau difoto. Bisa berupa gestur lambaian jari atau tangan menyilang. Bisa juga menandai jersey bahwa dirinya tidak bersedia difoto. Apabila mendapati foto diunggah di aplikasidan kita tidak berkenan, boleh-boleh saja minta foto itu dihapus fotonya dengan sopan.

Pada satu sisi, salah satu hal yang membuat tren lari makin marak adalah kehadiran para fotografer. Nyatanya banyak warga yg tiba tiba berbondong mau ikut lari karna berharap dapat foto yang bagus. Namun semua pihak perlu mengetahui bahwa setiap orang mempunyai hak atau privasi, termasuk hak untuk tidak difoto. (*)